Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Perkelahian Fidel dan Vino

Alvren berlari sepanjang koridor. Napasnya terengah-engah dan berkali kaca mata melorot di hidung.

Dia masuk dalam kelas dan langsung menabrak meja, di mana Faris sedang menulis.

"Faris ... Hhhh ...." Alvren terengah-engah lalu menyerobot botol minum milik Faris, meneguknya hingga kandas.

Faris memandang dengan tatapan aneh. Sedang Alvren berusaha untuk mengatur napasnya.

Beberapa siswa yang ada di kelas hanya memandang Alvren dengan heran.

"Kek dikejar setan, lu." Faris mengambil botol minumnya yang sudah habis dan menyimpannya ke dalam tas.

"Kamu tahu Vino kan? Anak IPA 3. Vino sainganmu dalam kompetisi fisika."

"Hmmm ... Mang kenapa? Bunuh diri dia?" jawab Faris tidak acuh dan tetap melanjutkan menulisnya.

"Haisshh, nih orang, asal nyablak aja kalo ngomong. Dia berantem sama Kakakmu, Fidel." ujar Alvren yang langsung membuat Faris tertegun dan menghentikan menulisnya.

"Apa urusannya ma gue?" Sedetik kemudian Faris kembali tidak acuh.

"Masalahnya, Fidel kalah. Dia babak belur, dan tidak ada satupun anggota gengnya yang membantu dia." Kembali Faris tertegun.

Kali ini Faris benar-benar merasa heran dengan cerita Alvren. Ini sungguh di luar logika. Seorang Fidel kalah sama Vino? Meski Faris tidak pernah melihat Fidel bela diri, namun ia tahu bahwa Kakaknya itu juga jago bela diri.

"Aneh kan?" Bisik Alfren.

Faris masih tertegun cukup lama. Setelah itu dia berdiri dan beranjak pergi meninggalkan Alvren.

"Faris! Prince Faris, mau ke mana?"

Faris tidak peduli dengan teriakan Alvren. Ia keluar kelas dengan terburu-buru, hingga tidak sengaja menabrak seorang siswi yang sedang membawa segelas minuman. Alhasil minuman itu tumpah mengenai seragam Faris.

"Ah, maaf." Gadis itu berusaha untuk membersihkan baju Faris.

Faris melotot padanya. Ia hendak marah ketika Alvren muncul dan menenangkan gadis itu.

"Tidak apa-apa Meera. Santai saja." Alvren tersenyum sangat manis pada Meera lalu menarik lengan Faris untuk menjauh.

Faris menepis tangan Alvren dengan kasar.

"Apa-apaan sih lu. Baju gue basah, lu bilang santai saja." ucap Faris marah.

"Makanya ga punya pacar ya gitu. Ma cewek juga kasar." jawab Alfren tidak acuh dengan berjalan meninggalkan Faris.

Faris merasa gemas sekali. Temannya ini seorang Don Juan mental tempe. Banyak menyukai wanita, tapi tidak satupun yang berani dia tembak.

Faris berjalan melewati ruang kesehatan. Pintu ruang terbuka sedikit dan tampak dari luar, Fidel sedang diobati oleh dokter sekolah. Faris mengintip dari balik pintu.

"Tidak perlu diperpanjang, Miss." ucap Fidel pada seorang guru yang sedang mengawasi dokter mengobatinya.

"Tapi bagaimana nanti pihak sekolah menjelaskan pada Ayahmu? Paling tidak ada mediasi antara ke dua orang tua, supaya tidak salah paham." Timpal sang guru.

"Tidak usah. Orang tua saya sedang ke luar negri, jadi tidak akan tahu luka yang saya alami. Mungkin tadi Vino terlalu emosi," jawab Fidel bijak dan tersenyum.

"Ah, kamu sungguh anak yang baik, Fidel. Sebentar lagi ujian kelulusanmu, semoga kamu dapat nilai yang baik. Sepadan dengan sifatmu yang baik pula." Puji sang guru.

Faris ingin muntah mendengarnya. Lalu ia cepat-cepat pergi dari tempat itu. Dia berpikir keras, apa yang sebenarnya di rencanakan Fidel. Dan apa yang membuat Vino emosi lalu menghajarnya.

Setau Faris, Vino anak yang baik dan santun juga pandai. Vino selalu menyabet juara umum sekolah berkejaran dengan Faris. Jika Faris rangking satu, maka Vino rangking dua. Begitu juga sebalikanya di semester-semester sebelumnya.

Dan bulan depan, mereka berdua akan maju berkompetisi dalam mata pelajaran Fisika untuk bisa maju ke tingkat nasional.

Faris menuju belakang sekolah, tempat favoritnya, karena di sana sepi.

Dia duduk dan bersandar di bawah sebatang pohon, lalu mulai menyulut rokoknya. Ia merasa tenang dan nyaman di tempat ini. Matanya terpejam menikmati semilir angin dan senandung daun yang bergesekan tertiup angin.

Tanpa ia sadari, sepasang mata mengawasi dari kejauhan. Ia menatap Faris dengan ekspresi yang aneh.

***

Mobil Deri sudah terparkir manis di pelataran parkir khusus penjemput. Bersebelahan dengan mobil Surya, sopir Fidel. Surya ini berperawakan tinggi besar, berkulit hitam dan berwajah culas. Lebih pantas menjadi preman.

Deri dan Surya tidak akrab, sama seperti ke dua majikan mereka. Karena itu mereka jarang bicara jika tidak perlu.

"Kita pulang, Deri." ucap Faris yang cepat-cepat masuk mobil untuk menghindari berpapasan dengan Fidel. Deri menurut.

Mobil meluncur meninggalkan halaman sekolah. Faris banyak merenung dalam mobil, sehingga membuat Deri heran.

Deri hendak bertanya pada Faris, ketika ia tiba-tiba menghentikan mobil dengan mendadak.

"Deri, ada apa?"

Tanpa dijelaskan, akhirnya Faris tahu apa yang terjadi. Deri hampir saja menabrak seseorang. Mereka berdua turun dari mobil.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Deri gusar pada orang itu.

Sedang orang itu berjongkok dengan wajah menghadap ke bawah, ditutupi dengan rambut yang terurai. Ia mendongak ketakutan.

"Kamu!" Faris kaget, ternyata orang yang hampir ditabrak Deri adalah gadis yang menumpahkan minumannya tadi di sekolah.

"Kamu gila ya. Ngapain kamu ditengah jalan seperti ini?" seru Faris marah.

Deri hanya diam memperhatikan mereka berdua. Lalu gadis itu berdiri. Ia tampak kacau dan ketakutan.

"Cin-cincin Ibuku jatuh tadi, dan menggelinding ke jalan." jawabnya terbata.

Faris mengusap wajahnya gemas. Ia seperti tidak sabar terhadap gadis itu.

"Demi sebuah cincin, kamu sampai hampir mati." ucap Faris manahan marah.

"Cincin itu sangat berarti bagiku. Kamu orang kaya, tahu apa?" Gadis itu mencelos dan hampir menangis.

Faris semakin ingin marah. Mungkin jika dia seorang laki-laki, maka Faris sudah menghajarnya.

"Sudah, sudah. Di mana rumahmu Nona? Kami akan mengantarmu pulang." ujar Deri menengahi.

"Mengantar dia pulang? Yang benar saja, Deri." Faris tampak tidak terima.

"Siapa juga yang mau diantar pulang sama kamu?" ucap gadis itu mencebik.

Faris semakin gemas padanya. Ia ingin sekali menampar mulutnya, tapi itu tidak mungkin karena ia seorang wanita. Pantang bagi Faris menyakiti seorang wanita, meski ia sangat menyebalkan di mata Faris.

"Anggap saja ini permintaan maaf saya, karena hampir menabrak Anda tadi." Bujuk Deri sambil memberi isyarat lewat mata pada Faris.

Akhirnya Faris mengalah, ia membiarkan Deri membujuk gadis itu. Dan gadis itu menurut lalu masuk ke dalam mobil. Faris yang masih enggan, tidak mau ikut duduk di belakang bersama gadis itu, Ia duduk disamping Deri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel