11. Mimpi aneh
"Di mana alamat rumah Anda, Nona?" Deri melirik lewat kaca pada gadis itu.
"Jangan panggil aku Nona, namaku Almeera. Aku bukanlah seorang Nona. Rumahku jalan kelinci." jawab gadis itu yang membuat Faris ingin sekali menerkamnya karena tidak suka.
Panggilan Nona adalah untuk seorang gadis dari kalangan orang kaya, dan panggilan Tuan muda untuk anak laki-laki.
Deri tersenyum geli melihat raut wajah Faris yang menahan kesal. Mobil meluncur menuju rumah Almeera.
Jalan kelinci merupakan area padat penduduk. Almeera meminta untuk diturunkan di depan sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati dua buah motor.
"Terima kasih untuk tumpangannya, dan ...." Ia berhenti sejenak menatap Faris.
"Apa." ucap Faris sengak.
"Sebagai permintaan maaf dan terima kasih, tolong lepas kemeja Tuan muda untuk saya cuci." kata gadis itu yang membuat Faris kaget.
"Apa maksudmu?"
"Bukankah tadi saya sudah menumpahkan minum di baju Tuan?" jawabnya sopan dan memakai bahasa formal.
"Nggak, nggak usah." timpal Faris.
"Ya ini bentuk rasa bersalah dan pertanggung jawaban saya," Gadis itu tidak menyerah.
"Berikan saja. Niatnya tulus lho," ujar Deri sambil tersenyum penuh arti.
Akhirnya Faris menurut dan melepas seragam sekolahnya dengan malas. Almeera segera membalikkan badan agar tidak melihat tubuh Faris.
"Nih, dan nggak usah bicara formal ma gue." ucap Faris sambil memberikan kemejanya pada Almeera.
Almeera menerimanya dengan tersenyum lalu pergi. Faris mendengkus kesal.
Deri keluar mobil dan mengambilkan Faris kaos dari dalam bagasi.
Sedangkan Almeera yang berjalan menjauh dan masuk dalam gang, dihadang seorang wanita.
"Diantar pulang siapa lu? Udah dapat gebetan anak orang kaya, lu. Jangan lupa bayar sewa, kalau dapat duit banyak!" Seorang wanita berperawakan gendut dan memakai daster lusuh berteriak pada Almeera. Tapi gadis itu tidak acuh dan langsung masuk ke dalam sebuah rumah petak.
Faris hanya melihat dari balik kaca mobil. Ada rasa prihatin yang menelusup dalam hatinya.
Ketika mobil akan pergi, tiba-tiba ada seorang preman yang mengetuk kaca mobil Faris dan menyuruhnya keluar.
"Ada apa?" tanya Faris saat ia keluar dari mobil.
"Yang berhenti di sini, harus bayar uang keamanan sama pajak." ujar si preman, lalu datang beberapa temannya lagi.
"Keamanan apa? Kami di sini hanya mengantar seorang teman." jawab Faris tidak gentar.
Mereka tertawa.
"Mengantar Meera, si gadis jutek itu? Tapi kalian berhenti di sini."
"Tidak mengerti juga, Tuan muda yang satu ini. Mengantar kok melepas baju dan memberikan pada gadis menyebalkan itu." Timpal temannya yang lain dengan tertawa.
Faris tampak marah dan akan menghajar mereka, ketika Deri langsung mencegahnya. Ia membuka dompet dan mengambil beberapa lembar uang merah lalu memberikannya pada para preman itu.
"Sopirnya saja malah lebih pengertian. Duit lu banyak, cuma jadi sopir aja, mau gue kayak lu." Si preman berkata sambil tertawa.
"Nanti kalau ada kerjaan, gue akan hubungi kalian." jawab Deri dengan tenang, lalu mengajak Faris masuk ke dalam mobil.
"Siiaapp bos!" jawab mereka serempak dan mempersilakan mobil meluncur pergi.
"Kenapa lu kasih tadi?" Faris terlihat tidak suka.
"Suatu hari nanti kita bisa memanfaatkan mereka. Berbaik hatilah pada orang seperti itu, Tuan muda. Mereka pengangguran yang mau menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Kelak, kita akan membutuhkan jasa dan tenaga mereka." Deri menatap lurus jalanan dan seringai muncul di senyumnya.
***
Sependar cahaya mulai terlihat di kejauhan. Dalam keremangan malam yang dingin dan langit gelap tanpa kerlip satupun bintang, Faris melangkah pada jalan setapak yang lurus. Netranya memicing oleh sebuah cahaya di ujung sana.
Jalan yang di lalui terasa lurus dan aneh. Kiri kanan terdapat deretan pohon yang seakan seperti tangan bergelantungan ingin meraih. Kegelapan menyelimuti.
Cahaya itu mulai tampak dekat. Dihadapannya terhampar tanah lapang yang tidak begitu luas. Dan di situlah sumber cahaya terdapat. Seseorang berdiri menghadap cahaya itu dan membelakangi Faris.
Dia tertegun, tengkuknya berdiri dan keringat dingin mulia membanjiri tubuhnya. Entah apa yang membuatnya takut. Ia ingin tahu siapa orang itu. Terdengar isakan dari sosok itu. Faris ingin merengkuh, tapi tangannya tak kuasa karena bergetar. Kakinya seperti terpaku dalam tanah tak bisa digerakkan. Bibirnya kelu.
Faris berusaha menggapai bahu sosok itu, saat tiba-tiba orang itu berbalik dan menghadap Faris.
Faris terlonjak kaget dan hampir terjatuh ketika mengetahui orang bermua pucat itu adalah Vino.
Faris terbangun dengan napas memburu. Tubuhnya kuyup oleh keringat. Ia menghidupkan lampu diatas nakas sebelah ranjangnya, meneguk segelas air putih yang memang sudah tersedia. Ia mengusap wajahnya kasar.
Mimpinya tadi terasa sangat nyata. Tatapan mata Vino yang seakan memohon padanya, membuat ia bergidik.
Kenapa ia bisa bermimpi tentang Vino? Padahal untuk memikirkannya saja tidak pernah. Atau karena rasa penasarannya , apa sebab Vino bisa menyerang Fidel, dan Kakaknya itu tidak membalas sama sekali? Dan di mana teman-temannya saat kejadian?
Mungkin rasa penasaran itu yang membawanya pada mimipi seram barusan.
Faris bangun dan membuka pintu balkon kamarnya. Ia mengambil sebotol white wine dari dalam nakad dan menuangnya dalam gelas kecil.
Dia menikmati wine itu sambil mengisap sebatang rokok. Langit tampak cerah dengan banyak kerlip bintang di angkasa. Ia selalu menyukai kesendirian ini. Seakan pikirannya menyatu dengan alam semesta.
Faris telah menghabiskan setengah botol wine. Ia merasa tubuhnya mulai panas dan kepalanya agak berat. Dia berdiri dan akan melanjutkan tidur, saat tidak sengaja netranya menangkap seseorang di bawah sana sedang mengendap-endap.
Kamar Faris di lantai dua memang langsung menghadap ke taman dan kebun belakang.
Faris melihat dengan jelas sosok itu mengendap masuk lewat pintu belakang. Ia berusaha untuk tetap sadar, dan keluar dari kamar.
Dengan mengendap juga, ia bermaksud untuk turun ke bawah dan melihat siapa orang itu. Tapi sampai di ruang keluarga, ia cepat-cepat bersembunyi di balik sofa kursi karena mendengar ada suara orang datang sedang menaiki tangga.
Orang itu memakai hodie hitam yang menutup kepala, dan berjalan terus menuju sebuah kamar. Ia masuk dan segera menutupnya.
Faris tertegun di balik persembunyiannya. Ia tahu siapa sosok itu.
Tapi apa yang ia lakukan dan dari mana, ditengah malam buta begini?
Sikapnya tampak mencurigakan, karena saat di atas balkon tadi, ia melihat sosok itu memegang sebuah pisau. Faris tahu, saat pisau itu berkilat terkena cahaya lampu.
Faris keluar dari persembunyiannya. Ia menatap kamar yang baru saja dimasuki sosok itu. Ia menghampiri kamar itu, dan mengetuk pintunya.