12. Kematian Vino
Seseorang membuka pintu dan terkejut mendapati Faris sudah berdiri di depan pintu.
"Mau apa lu?"
"Gue mau minta rokok, kehabisan lupa beli tadi." jawabnya.
"Mabuk lu ya. Gue ga punya rokok."
"Ayolah Fidel, berbagilah sedikit pada adik lu ini," ucap Faris dengan mencondongkan wajahnya pada Fidel.
"Ahh, habis berapa sloki sih lu minum." Fidel mencoba mendorong tubuh Faris.
Tapi Faris semakin maju dengan terhuyung dan menyandarkan kepalanya pada bahu Fidel.
"Beri gue rokok," Racau Faris.
Fidel yang masih kaget dan tidak menyangka akan sikap Faris, mendorongnya hingga jatuh ke lantai.
Namun Faris tidak bergeming, ia diam dan tertidur di lantai. Fidel kesal dan membiarkannya. Ia melepas sepatu dan hodie yang belum sempat dilepasnya tadi. Lalu menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Di depan kaca, ia tersenyum puas.
Saat keluar dari kamar mandi, Faris masih tidur di lantai. Fidel semakin terlihat kesal. Tapi dia tidak bisa membiarkan Faris tetap di lantai.
Fidel membopong Faris ke ranjangnya. Ia menatap wajah Faris yang tertidur lelap. Ia menapaki wajah Faris mulai dari mata, hidung dan bibir.
Matanya yang tajam dan sedikit licik, mirip dengan matanya. Lalu hidung dan garis wajahnya mirip dengan Papinya. Fidel sudah lama tahu, Faris adalah anak kandung Papinya. Fakta yang ditutupi oleh keluarganya, bahkan mungkin Faris pun tidak tahu dan belum menyadarinya.
Faris berhak untuk masuk perusahaan, dan menjadi pewaris, karena ia juga adalah anak sah. Itu yang membuat Fidel membencinya.
Bukan karena perebutan harta, yang membuat Fidel marah. Tapi karena Papi Radit telah membuat sakit hati Maminya dengan masih mencintai Ibu Faris.
Sampai sekarang Fidel tahu, betapa menyesal dan kehilangan Papinya atas kematian ibu Faris. Ia beberapa kali memergoki sang papi menatap foto ibu Faris dengan sedih. Dan itu membuat Fidel muak dan marah.
"Mungkin ada baiknya, Emak lu mati saat itu. Meski Papi tahu siapa yang nabrak emak lu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa." Fidel terkekeh sambil memandang wajah adik tirinya.
***
Faris menggeliat, kepalanya masih terasa sedikit berat. Ia membuka mata perlahan, dan pandangannya menyapu pada langit kamar dan ruangan tempat ia berada. Faris merasa asing, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Ia memijit keningnya.
Saat akan bangun, tangannya tidak sengaja menyenggol sesuatu di sebelah kirinya. Dan seketika ia terperanjat saat mengetahui, Fidel tertidur pulas disampingnya.
Faris akhirnya mulai teringat kejadian semalam. Ia mengetuk pintu kamar Fidel hanya untuk memastikan bahwa sosok berpakaian hitam semalam adalah memang Fidel.
Nyatanya, ia memergoki Fidel masih memakai hodie dan sepatunya saat Faris masuk ke kamarnya. Tapi setelah itu, Faris tidak ingat apa-apa. Mungkin karena dia terlalu banyak minum.
Jam di nakas sudah menunjukkan pukul 06.30 wib. Itu artinya, dia akan terlambat masuk sekolah. Faris segera melompat dari ranjang, dan akan keluar dari kamar Fidel. Namun langkahnya terhenti, ia berbalik lalu menatap Kakaknya itu.
"Fidel, bangun. Mau sekolah ga lu. Fidel!" Faris memutuskan untuk membangunkannya.
Fidel mengerang dan menggeliat.
Dia sempat kaget saat membuka mata, di depannya ada Faris.
"Ngapain, lu," tanya Fidel sambil mengusap matanya.
Faris hanya tersenyum simpul, dan meninggalkan Fidel yang masih heran dengan sikap Adiknya itu. Selama tinggal bersama, baru kali ini melihat Faris tersenyum tulus seperti itu.
Faris segera turun ke bawah setelah mandi dengan super kilat. Ia meminum susu yang sudah tersedia di meja makan dengan terburu-buru, lalu menyambar roti keju dan langsung berlari menuju mobil.
Deri yang sudah menunggunya lama, langsung meluncur menuju sekolah.
"Masih berantakan sekali penampilan Anda, Tuan." Deri meliriknya dari kaca.
Mulut Faris penuh dengan roti, sedang tangannya sibuk membenarkan letak dasi, lalu beralih ke tali sepatu.
"Anda baik-baik saja, Tuan? Tidak biasanya bangun kesiangan seperti ini."
"Semalam aku terlalu banyak minum," sahut Faris pendek.
Sudah berulang kali Faris menyuruh Deri untuk tidak bicara formal dan memanggil namanya dengan sebutan Tuan muda. Namun Deri selalu menolak, entah apa alasannya.
Faris ingin menceritakan kejadian semalam pada Deri, tapi setelah menimbangnya, Faris memutuskan untuk menyimpan dulu kejadian semalam. Karena ia tidak tahu apa yang sebenarnya di lakukan Fidel.
Mobil meluncur masuk gerbang sekolah. Di saat bersamaan, mobil mereka berpapasan dengan mobil polisi dan ambulan.
Faris dan Deri tentu saja sangat heran. Sampai di depan pintu masuk, banyak siswa dan guru di luar memasang wajah cemas.
Faris segera turun ingin mencari tahu apa yang terjadi. Tapi belum sempat bertanya, Alvren sudah berlari menghampirinya.
"Apa yang terjadi?"
"Itu ... Vino." Alvren tergagap dan terlihat sangat syok.
"Vino kenapa?" tanya Faris tidak sabar.
"Vi-Vino, bu-bunuh diri," jawab Alvren dengan badan bergetar dan muka pucat.
Faris dan Deri saling berpandangan. Lalu secara bersamaan, ke duanya menoleh pada mobil sedan silver yang baru saja berhenti tidak jauh dari mereka.
Kaca mobilnya diturunkan, terlihatlah Fidel melepas kaca mata hitamnya, dan berganti menatap tajam Faris dan Deri. Ada kilat lagi di matanya.
Alvren menyenggol bahu Faris, lalu berbisik padanya.
"Apa kamu tidak merasa ada yang aneh?"
"Aneh apa?" sahut Faris.
"Kemarin Vino habis berantem sama Fidel, tapi kenapa sekarang Vino yang mati?" Alvren bergidik ngeri. Ia melirik pada Fidel yang baru saja turun dari mobil dan menghampiri mereka.
"Ada apa nih rame-rame." Fidel berdiri tepat di depan Faris.
Mata Deri menyipit. Ia tampak curiga pada Fidel. Tidak biasanya dia bersikap sok akrab begini pada Faris.
"Bos, Vino bunuh diri. Dia meninggalkan surat permintaan maaf buat lu." Bryan dan beberapa anggota geng yang lain menghampiri Fidel.
"Apa? Bunuh diri." Fidel tampak terperanjat. Lalu dengan terburu ia pergi masuk ke dalam sekolah.
Alvren dan Faris hanya memandang kepergian mereka. Faris merasa ada yang aneh. Ia menangkap mata Fidel telah mengatakan yang lain, seolah ia hanya pura-pura terkejut. Gestur tubuh Fidel sangat santai dan tidak menampakkan orang yang benar-benar terkejut.
Sedang Alvren, semakin merasa takut pada Fidel. Ia mempunyai firasat, kematian Vino ada hubungannya dengan Kakak sahabatnya itu.
Di belakang mereka, Deri tersenyum penuh arti. Ia berkali menggelengkan kepalanya. Netranya menyipit tanda ia merasa kagum.
'Sang pemangsa sudah beraksi.' Deri bergumam dalam hatinya.
'Siapa yang akan menjadi korbanmu selanjutnya, Tuan muda Fidel.'