Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

13. Sakit hati Almeera

SMU Pelita Jaya sedang berduka, dengan kematian salah satu siswa terbaiknya. Banyak yang tidak menyangka, Vino akan mengakhiri hidupnya dengan tragis.

Dan karena kejadian itu, maka seluruh siswa dipulangkan lebih cepat.

Faris berjalan seorang diri sepanjang koridor. Pikirannya melayang entah kemana. Hatinya merasa tidak tenang.

Sepanjang koridor, banyak siswi yang berbisik dan melirik padanya. Mereka menyukai Faris yang pintar, tampan dan cool. Namun sayangnya, Faris tidak pernah menanggapi mereka.

Lamunan Faris terhenti saat ada yang menabraknya dengan tidak sengaja.

"Ma-maaf, Kak." Seorang anak berpenampilan culun terlihat ketakutan ketika tahu siapa yang ditabraknya.

Sudah menjadi rahasia umum, jika Faris mempunyai temperamen yang tinggi.

Faris menatapnya. Anak itu memejamkan mata bersiap untuk menerima pukulan darinya. Tapi sedetik kemudian, tidak terjadi apa-apa. Anak itu membuka mata, dan ternyata Faris sudah pergi, tanpa berbuat apa-apa.

Dia menghela napas lega. Baginya ini sebuah keberuntungan besar karena Faris tidak melakukan apa-apa padanya.

Faris tetap berjalan dengan tak acuh. Dia sedang memikirkan banyak hal, hingga tidak peduli dengan hal remeh temeh lainnya.

"Hai, Tuan muda." Seorang gadis menepuk bahunya. Faris menoleh, dan menatapnya dingin.

"Jutek amat. Ini baju Anda kemarin, sudah bersih," ujar Almeera dengan tersenyum.

Faris merebut baju yang dimasukkan dalam tas hitam itu, dan berlalu pergi.

"Dingin banget jadi orang. Ga ada basa-basinya sama sekali. Bilang terima kasih, kek." Repet Almeera sambil memonyongkan bibir ke arah Faris yang hanya terlihat punggungnya.

"Meera, kamu kok berani sih nyapa Faris?" tanya seorang teman.

"Ngapain ga berani ma dia?" sahut Meera cuek.

"Kamu dekat ya ma Faris? Terus terang aku suka sama dia sejak kelas satu. Kamu bisa bantu aku dekatin dia ga?"

Almeera langsung melotot. Apa dikira dia ini mak comblang?

"Haisshh, dekatin aja sana sendiri. Cowok ga punya perasaan gitu aja di sukain," sahut Meera dan berlalu pergi.

Faris menghampiri mobil Deri yang masih menunggunya dengan setia di tempat parkir.

Dia menyandarkan tubuhnya, duduk disamping Deri. Menghela napas panjang, melonggarkan dasinya, lalu memejamkan mata.

Deri hanya diam melihatnya. Ia sudah hapal, jika Faris seperti ini, itu tandanya ia sedang tidak ingin diganggu. Maka tanpa banyak bicara, Deri menjalankan mobilnya.

"Gue pengen jalan-jalan bentar. Ada yang mau gue beli. Kita ke Mall, Der."

Mobil meluncur membelah jalanan padat ibu kota. Deri memasuki kawasan Mall di daerah Jakarta Barat. Mobil meluncur ke parkiran baseman.

Setelah berganti pakaian, Faris turun dan masuk lift menuju ke atas.

Dia berjalan-jalan seorang diri. Deri sengaja membiarkannya tanpa menemani, karena tahu majikannya itu butuh waktu untuk sendiri.

Faris selalu diperlakukan sama oleh Tuan Radit dengan anak-anaknya yang lain. Dia diberi fasilitas lengkap dan mewah, juga uang yang banyak. Setiap bulan, sudah otomatis, uang puluhan hingga pernah ratusan juta masuk ke rekeningnya. Karena itu, ia bisa dengan bebas membeli apa saja yang diinginkannya.

Dia masuk ke sebuah butik sepatu, dan seorang pelayan menghampirinya.

"Ada yang bisa dibantu, Kak?" sapanya dengan ramah.

Tapi Faris hanya diam dan tidak acuh, ia melihat deretan sepatu di depannya. Dan itu membuat sang pelayan kesal.

"Sok banget sih, cuma lihat-lihat doang juga." Bisik si pelayan pada temannya.

Lalu ia mengambil beberapa pasang sepatu dan melemparkannya tepat di bawah kaki si pelayan.

"Bungkus," ucapnya lalu menuju meja kasir.

Si pelayan kaget, lalu cepat-cepat membereskan sepatu-sepatu itu, lalu membungkusnya di kasir.

"Gue minta dikirim sepatu ini." kata Faris sambil menulis alamat rumahnya.

Sang kasir mengangguk dan tersenyum manis. Ia senang karena customer tampan di depannya ini, membeli tiga pasang sepatu yang totalnya hampir dua puluh juta.

Setelah meninggalkan butik sepatu yang bikin para pelayan melongo karena tidak menyangka dengan belanjaannya, Faris menuju ke area food court.

Dia memilih duduk dekat jendela yang terbuka dan area boleh merokok setelah memesan makanan dan minuman.

Dia menghembuskan asap rokoknya, sambil memandang ke bawah, di mana lalu lalang kendaraan semakin membuat jalan macet dan semrawut.

Berkali ia menghembuskan napas. Entah kenapa saat ini ia sangat merasa tidak tenang. Dia berpikir, apakah Fidel ada hubungannya dengan kematian Vino. Ia ingin tidak memikirkannya, tapi entah kenapa pikiran itu berseliweran masuk ke dalam kepalanya.

Tanpa disadari, Faris menjulurkan kakinya ke samping. Bersamaan dengan itu, seorang pelayan lewat membawa segelas minuman, tersandung kaki Faris. Dan minuman itu jatuh menyiram mukanya.

Si pelayan cepat-cepat bangun karena jatuh tertelungkup. Sedang Faris terlihat sangat geram. Ia berdiri dan memandang si pelayan, yang mencoba berdiri.

Pelayan itu berbalik, dan ....

"Kamu!"

"Kamu!"

Mereka berdua terkejut karena bertemu kembali di waktu yang tidak tepat.

"Setiap ketemu kamu, aku pasti sial." Hardik Faris pada Meera.

"Kakimu yang bikin aku jatuh, kok nyalahin orang?" sahut Meera tidak terima.

"Makanya kalo jalan pake mata, ga pake mulut," teriak Faris dengan geram. Hancur sudah moodnya.

Meera melotot marah, ingin sekali ia memukul mulut Faris yang pedas. Ia bersiap memukulnya dengan nampan yang masih dipegangnya ketika seseorang datang.

"Maaf, apa yang terjadi? Saya manager restoran ini."

"Oh, bagus managernya keluar. Ajari dengan baik, pelayan Anda ini," ketus Faris lalu membuka dompet dan meninggalkan berlembar-lembar uang berwarna merah di meja.

Dia berlalu pergi meninggalkan mereka menuju toilet. Membasuh wajahnya dan beberapa minuman yang tumpah di bajunya. Ia sangat kesal karena minuman itu terasa lengket ditubuhnya.

Saat ia keluar dari toilet, Meera menghampirinya dengan geram.

"Kamu keterlaluan. Aku susah payah mencari pekerjaan ini, tapi kamu menghancurkannya dengan sekejap," ucap Meera menahan tangis.

Faris hanya menatapnya dingin, lalu meninggalkan Meera.

Meera semakin marah, ia mengejar Faris yang masuk ke sebuah butik pakaian.

"Hei, Tuan muda. Mungkin uang tidak berarti bagimu. Tapi pekerjaan ini sangat berarti bagiku." Meera mengekor Faris yang tetap tidak acuh sedang memilih pakaian.

"Kamu tahu, aku bisa masuk Pelita Jaya karena beasiswa. Dan aku harus tersisih dan selalu dibully oleh kalian, para orang kaya!" teriak Meera yang membuat semua orang menoleh padanya. Matanya berkaca-kaca, dan wajahnya terlihat sendu juga geram.

Faris masih saja tidak acuh, ia memegang sebuah kemeja, lalu masuk ke dalam kamar ganti.

Meera tidak menyerah, ia berdiri di depan kamar ganti dan masih memaki Faris.

"Kami bisa hidup hanya dengan aku bekerja sebagai pelayan setiap pulang sekolah. Dan sekarang, aku dipecat. Itu semua karena Anda, Tuan muda yang terhormat."

Faris keluar dari kamar ganti dengan sudah mengenakan kemeja baru. Ia berjalan dengan tenang menghampiri Meera yang masih saja marah-marah padanya. Tiba-tiba ....

Cup

Faris mendaratkan ciumannya pada bibir Meera, di depan banyak orang.

"Mulutmu itu cerewet sekali," ujar Faris setelah melepas pagutannya dan berhasil membuat Meera diam membeku tidak berkutik.

Faris lalu berjalan menuju meja kasir, membayar kemejanya lalu membuang kaos yang tadi dipakainya ke dalam tempat sampah, lalu tanpa merasa bersalah, ia pergi meninggalkan Meera yang masih diam terpaku.

Air mata Meera mengalir tidak terkendali. Hatinya sakit, dan ia sangat membenci Faris, saat ini. Yah dia membencinya. Sangat membencinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel