Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

14. Petunjuk kematian Vino

Siang yang terik, Faris duduk di mejanya sambil membaca catatan yang dibuat Alvren.

*Selasa, 10.15 wib* Vino tiba-tiba menyerang Fidel. Tidak ada yang membantunya, bahkan anggota geng raib entah di mana.

*Rabu, 05.30 wib* Vino ditemukan gantung diri di pohon belakang sekolah oleh Pak Pandi, penjaga sekolah.

*06.35* polisi dan ambulan datang.

*07.45* jenazah Vino dibawa ambulan.

Ada sebuah surat yang tergeletak di bawah pohon, yang berisi:

Aku telah memfitnah dan menghajar Fidel, maafkan aku. Papa, Mama, Adikku tersayang, aku sudah tidak kuat dengan semua ini. Maafkan aku, Vino Prayoga.

"Kamu handal kalau jadi detektif," ucap Faris sambil menepuk bahu Alvren.

"Ya aku tahu dia Kakakmu, but my feeling tetap kekeh mengatakan ada yang aneh." Alvren menatap langit biru

melewati jendela.

"Apa kamu ga bisa menyelidikinya, Faris? Misal masuk kamarnya diam-diam dan mencari sesuatu gitu. Biasanya seorang pembunuh akan meninggalkan jejak di kamar atau rumahnya." lanjut Alvren yakin.

"Haiss ... kebanyakan baca Conan, lu." Faris tertawa sambil menoyor kepala sahabatnya itu.

Brak!

Faris dan Alvren seketika menoleh pada sumber suara. Terlihat Meera membanting tasnya di atas meja dengan sengaja.

Faris hanya melirik wajah Meera yang masam, sekilas. Sedang Alvren tidak berani menyapa, karena ia tahu tabiat Meera jika sedang marah atau tak enak hati, maka ia akan menyemprot siapa saja yang berani mengganggunya.

"Gue mau ke halaman belakang dulu," pamit Faris pada Alvren.

"Mau smooking ya? Itu tidak baik buat kesehatan, Prince Faris. Lagian tempat favoritmu itu, bekas Vino ...." Alvren tidak meneruskan ucapannya. Ia bergidik ngeri.

"Halah!" Faris menoyor mulut Alvren sambil tertawa.

"Kalo lu takut, tar arwah penasaran Vino datengin pas lu tidur."

"Faris ...! Syalan," jerit Alvren, yang membuat Faris tertawa berderai.

Faris berdiri di depan pohon jambu, tempat Vino gantung diri, dan juga tempat favoritnya.

Dia menyulut sebatang rokok, lalu mulai mengitari pohon yang masih terpasang police line itu, perlahan. Dengan cermat, ia mengamati setiap jengkal batang pohon.

Netranya tiba-tiba menangkap sebuah tulisan kecil dengan di pahat menggunakan pena. Dia mengambil kamera saku, lalu menjepretnya . Pahatan itu kecil dan terletak di bawah pohon, hampir menyentuh tanah. Jadi sangat bisa lepas dari perhatian orang.

Dia menggigit bibir bawahnya tanda berpikir.

"Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan muda." Seorang pria setengah baya menghampirinya.

"Hanya merokok," jawab Faris pendek.

"Siswa SMU seharusnya belum boleh merokok. Tapi mungkin itu pengecualian buat Anda," kata Pak tua itu tajam.

"Mungkin ya, mungkin tidak," sahut Faris tak acuh.

"Saya melihat seseorang dengan jaket hitam, masuk ke sekolah ini, malam itu." Pak tua itu seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Lalu kenapa tidak melaporkannya pada pihak berwajib?" sahut Faris sambil mengepulkan asap rokoknya.

"Karena itu percuma. Jika ia salah satu murid sini, maka orang itu pasti berasal dari keluarga terhormat dan kaya raya. Bukankah hukum bisa dibeli?" jelas Pak tua, penjaga sekolah.

Faris menoleh padanya.

"Kenapa bapak mengatakan itu pada saya?"

Pak tua itu menghela napas panjang, lalu ia menatap mata Faris.

"Karena hanya Anda yang bisa menghentikan orang itu, Tuan muda. Karena ini sebuah peringatan untuk Anda." Wajah Pak tua itu mengeras, kemudian ia pergi meninggalkan Faris sendiri.

Faris menatap kepergiannya. Sebenarnya ia tahu, jika selama ini Pak tua itu selalu mengawasinya, saat ia bersantai di bawah pohon.

Tapi selama ini dia hanya diam, karena Pak tua juga tidak memperlihatkan tanda-tanda yang mencurigakan.

***

Faris membasuh wajahnya di kamar mandi. Ia menatap kaca, teringat dengan ucapan Pak tua tadi. Dia yakin sekali, Pak tua pasti tahu sesuatu. Pasti jika dia langsung mencecarnya dengan pertanyaan, Pak tua itu akan mengelak. Ucapannya itu menyuruh Faris untuk menemukan sendiri siapa dalang dibalik pembunuhan Vino.

Dan jika itu Fidel, apa motifnya. Vino tidak pernah berurusan dengan Kakaknya. Yang pertama harus ia cari tahu adalah, apa penyebab Vino tiba-tiba menyerang Fidel.

Faris hendak keluar dari kamar mandi, ketika ia mendengar percakapan suara orang yang sangat dikenalnya.

"Jadi kamu mau ya, kerja di butik mamaku." ujar seorang gadis.

"Iya. Mau banget. Mulai kapan? Hari ini?" jawab gadis satunya antusias.

"Kata mama, hari ini boleh. Sepulang sekolah."

"Siiaaapp, Nona." Gadis itu melonjak kegirangan.

Faris yang mendengarkan dari balik pintu, tersenyum simpul.

Kemarin saat pulang dari Mall, Faris meminta Deri mengantarkannya ke sebuah butik langganan Ayah Radit. Dia pernah diajak ke sana tiga kali oleh ayah angkatnya.

Butik yang menjual pakaian formal pria dan wanita itu, pemiliknya merupakan teman ayahnya. Tentu saja, saat Faris ke sana, sang pemilik langsung mengenalinya dan menjamu dengan baik.

Selain ia memborong beberapa stel jas formal, ia juga merayu Tante Rista, sang pemilik untuk menerima pegawai baru. Dan ternyata, putri semata wayangnya adalah teman sekolah Faris.

Akhirnya Tante Rista menyetujui usul Faris untuk menerima Almeera menjadi pegawai baru di sana. Tapi dengan syarat, Tante Rista tidak boleh membocorkan pada Meera bahwa itu permintaannya.

Dia membayangkan sekarang pasti Meera sedang kegirangan karena dapat pekerjaan baru. Dan ia juga teringat saat mengecup bibir merah Meera. Itu ... Sebuah kecupan pertamanya. Dan ia merasakan bibir Meera manis seperti permen.

Faris tertawa sendiri, mentertawai pikiran konyolnya. Ciuman pertamanya, di muka umum, pada seorang gadis jutek, yang bahkan sekarang membencinya.

Bel pulang sekolah berbunyi. Faris dengan cepat keluar menuju tempat parkir. Hari ini, ia membawa mobil sendiri. Deri minta ijin ke luar kota karena suatu urusan.

Mobil yang dikendarai Faris meluncur membelah ibu kota. Ia menuju sebuah studio foto kecil pinggir kota. Ia sengaja memilih pinggir kota karena untuk berjaga-jaga agar tidak ada orang yang curiga akan apa yang diperbuatnya.

Faris menyerahkan kamera kecil itu pada seorang lelaki berperawakan kecil untuk di cetak. Kurang lebih lima belas menit ia menunggu.

Setelah cetakan foto itu jadi, ia mengamati gambar yang tercetak. Tertulis pahatan pada batang pohon, nama Fidel.

Faris menatap foto itu. Perasaannya menjadi tidak tenang kembali. Ia keluar dari studio foto, lalu meluncur pergi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel