15. Satu rahasia terkuak
Hujan deras mengguyur bumi sejak sore tadi, membuat hawa menjadi dingin. Fidel memainkan sebuah pisau lipat sambil meneguk red wine kesukaanya.
Meski ia seorang laki-laki, tapi kamarnya selalu bersih dan rapi. Ia tidak mengijinkan siapapun untuk masuk dan membersihkan kamarnya. Karena dia tidak suka barang pribadinya terusik.
Fidel baru saja menyulut sebatang rokok, saat terdengar pintunya diketuk. Seorang pelayan memberi tahu bahwa, Fidel ditunggu Papinya di ruang kerja.
Sampai di ruang kerja sang Papi, Fidel terkejut karena sudah ada Faris yang sedang berbincang dengan papinya.
"Kemarilah, Nak. Ada yang mau papi bicarakan dengan kalian berdua," panggil Tuan Radit ketika melihat Fidel datang.
"Kau habis minum?" tanya Tuan Radit pada Fidel dan hanya di jawab dengan anggukan kepala.
"Putra Papi, ke duanya sudah semakin dewasa. Sudah saatnya menentukan masa depan." Tuan Radit menjeda sejenak.
"Fidel, sebentar lagi kamu lulus. Seperti harapan Papi sebelumnya, kamu melanjutkan sekolah ke LN. Kamu bisa memilih, ingin melanjutkan di mana."
Fidel menatap papinya, bimbang.
"Tidak bolehkah, Fidel melanjutkan di sini saja?" tanya Fidel ragu.
Tuan Radit tersenyum dan memegang lembut pundak putranya itu.
"Ini sudah jadi tradisi keluarga kita. Di mulai dari ke dua Kakakmu."
Fidel menunduk, ia sudah tahu jawabannya seperti ini. Selalu tradisi keluarga tak tertulis alasan orang tuanya.
"Satu tahun lagi, Faris juga akan meyusul. Kamu juga berhak memilih, mau meneruskam di mana. Cuma kalau saran papi, USA pilihan yang tepat."
Faris juag hanya diam. Dia tidak peduli akan melanjutkan sekolah atau tidak setelah lulus SMU nanti. Yang ada di pikirannya hanya mencari keberadaan Fatih.
Beberapa wejangan diberikan Tuan Radit pada ke dua puteranya. Setelah merasa cukup, ia menyuruh mereka berdua untuk kembali ke kamar.
Saat berada di luar ruang kerja, Faris menatap Kakaknya itu.
"Apa!" sahut Fidel ketus.
"Dari mana lu, malam saat Vino tewas?"
"Oh, jadi malam itu lu pura-pura mabuk biar bisa masuk kamar gue, dan nyelidikin gue, gitu." Fidel tertawa.
"Iya, emang kenapa? Sayangnya gue keburu tertidur sebelum sempat mengetahui kebenarannya," tukas Faris sengit.
Fidel mencodongkan wajahnya ke arah Faris, lalu ia berbisik.
"Kalau lu mau tahu, gue atau bukan yang udah bunuh Vino, sekarang lu tidur lagi di kamar gue seperti saat itu. Gue akan ceritakan semuanya."
Fidel terkekeh saat Adiknya itu hanya bisa menatap dingin padanya.
"Gue tunggu di kamar," teriak Fidel sambil berjalan pergi meninggalkan Faris.
Faris hanya menatap Fidel hingga ia masuk ke dalam kamarnya.
Sementara itu, Nyonya Rinta menemui suaminya di ruang kerja. Ia menanyakan perihal tanggapan Fidel tentang sekolahnya di luar negeri.
"Fidel sepertinya kurang setuju, Mi. Ia ingin kuliah di sini."
"Anak itu terlalu mencintai rumah ini," gumam Nyonya Rinta.
"Padahal rencana papi, Fidel akan papi kirim ke Amerika. Dan setahun lagi, Faris akan menyusul."
"Lhoh, Pi. Kenapa bisa sampai Faris? Anak itu mau papi kirim ke LN juga." Suara Nyonya Rinta mulai meninggi.
"Dia kan berhak juga. Mami tahu itu," ucap Tuan Radit lembut.
"Tinggal di rumah mewah, sekolah bergengsi, mobil dan sopir pribadi. Masih uang jajan setiap bulan yang jatahnya sama seperti Fidel. Enak benar anak itu. Dan terhadap aku dan anak-anakku, tidak ada sopan santunnya sama sekali." Nyonya Rinta meluapkan emosinya yang sudah terpendam lama.
Tuan Radit mengusap rambut kepalanya kasar.
"Jangan mulai, Mi. Kita udah bahas ini ratusan kali."
"Jangan-jangan papi juga sudah memasukkan namanya menjadi ahli waris? Sekalian aja semuanya papi kasih ke anak itu!" ketus Nyonya Rinta.
"Di mana salahnya? Harta ini milik Faris. Dia yang berhak. Selama ini papi masih mengingat kalian, dan ingin membagi juga untuk kalian semua." Tuan Radit mulai terpancing emosi.
"Yang membuat besar perusahaan siapa? Aku yang berjuang agar keluarga kita bisa jadi seperti ini. Lalu papi ingin memberikan semua ini untuk dia?!" jerit Nyonya Rinta.
"Mi, dia anak papi juga. Anak kandung papi, dan mami tahu dengan pasti semua ini milik siapa," ucap Tuan Radit frustasi.
"Iya. Anakmu bersama Devira, wanita jalang itu. Sudah kutabrak hingga mampus, tapi kamu tetap saja tidak bisa melupakannya!"
"Mi! Cukup."
Pertengkaran mereka semakin menjadi, tanpa mereka sadari Faris menguping pembicaraan itu. Tangannya mengepal saat mengetahui fakta emaknya dibunuh oleh Nyonya Rinta.
Dengan penuh emosi, Faris akan masuk ke ruangan itu dan meminta pertanggung jawaban Nyonya rumah.
Tapi sebelum ia sempat menendang pintu ruangan, seseorang menarik dan membekap mulutnya.
Faris mencoba berontak. Tapi orang itu begitu kuat. Ia menyeret Faris keluar menuju taman.
"Deri! Apa-apaan kamu." Faris sangat marah saat Deri melepas bekapan dan menghalanginya membunuh Nyonya Rinta.
"Tuan, dengarkan saya."
"Lepaskan! Aku akan membunuhnya. Lepas!" Faris berontak dan mencoba lari masuk ke dalam rumah.
Tapi Deri terlalu kuat memegangnya. Lalu pergumulan diantara mereka tidak dapat dihindari. Berkali-kali Deri meninju wajah Faris. Hujan semakin deras, hingga suara mereka tidak terdengar.
"Tuan muda, dengar. Bukan begini caranya membalas dendam. Percaya dan ikuti saran saya. Hancurkan keluarga ini, secara perlahan, mulai dari satu-persatu anaknya. Itu cara membunuh mereka!" teriak Deri saat ia berhasil menindih tubuh Faris.
Faris tergugu. Deri melepaskannya, karena merasa Faris sedikit tenang. Di bawah derasnya hujan, Faris bersimpuh di tanah, menangis dan menjerit sejadi-jadinya.
Sekarang ia mengerti, kenapa Radit mengangkatnya anak. Sekarang ia mengerti, emaknya sengaja ditabrak saat membelikan ayam bakar untuk Fatih. Semua pertanyaan yang selama ini terpendam, terbuka malam ini. Rahasia keluarga Wicaksono, mulai terkuak satu-persatu.
Hatinya sakit dan pilu. Ia bukan anak Abahnya selama ini. Entah bagaimana masa lalu ke dua orang tuanya, sehingga Faris hadir di antara orang-orang serakah ini.
Sedangkan dari balik pintu kaca, Mbok Darmi ikut menangis.
"Non Vira ... putramu sekarang pasti akan membalas dendam akan kematianmu," ucap Mbok Darmi di sela isak tangisnya.