Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Sekolah baru

Bab 4

Faris menatap gedung sekolah yang besar dan megah di depannya. Beberapa kendaraan mewah keluar masuk gerbang tinggi hitam mengantar siswa dari kalangan orang kaya.

Dia merasa ragu dan minder untuk turun dan masuk ke dalam. Meski ia juga diantar dengan sebuah mobil sedan mewah, namun ia menyadari bahwa ia hanyalah anak biasa dari keluarga miskin yang tiba-tiba berubah derajatnya menjadi seorang anak 'Sultan'.

"Anda tidak turun, Tuan muda?" Deri sopir pribadi untuknya sudah berdiri membukakan pintu mobil untuknya.

Faris terlihat gelagapan dan canggung. Ia keluar dari mobil dengan ragu.

"Anda juga seorang tuan muda sekarang. Jadi tidak usah ragu. Tegakkan badan, busungkan dada dan mata menatap ke depan."

"Apakah aku bisa menyesuaikan diri di tempat ini?" tanya Faris dengan ragu.

"Jadilah seorang pemangsa agar tidak di mangsa oleh yang lain,"

"Apa maksudmu?"

"Nanti Anda akan mengerti, Tuan. Jadilah seorang pemangsa, agar Anda bisa menguasai dunia." Deri berbisik parau di telinga Faris, yang membuatnya bergidik.

Deri memang bukan seorang pemuda biasa. Badannya yang kekar dan wajahnya yang lumayan tampan, sangat tidak cocok untuk menjadi seorang sopir, menurut Faris.

Tapi Tuan Radit, yang sekarang meminta Faris untuk memanggilnya dengan sebutan 'Ayah', mempercayakan segala urusan Faris kepada Deri.

Faris menelan ludah, getir. Sekilas ia menangkap seringai di senyum Deri saat berbisik padanya tadi. Ia lalu bergegas melangkah masuk tanpa menatap sang sopir lagi.

Beberapa anak memperhatikan ketika dia masuk pintu utama. Ia bingung harus kemana, dan canggung untuk bertanya. Tidak lama terdengar suara pengumuman agar murid baru berkumpul di aula belakang sekolah.

Setelah penyambutan kepala sekolah dan pembagian kelas bagi siswa, untuk hari pertama siswa kelas satu masih di bebaskan dari pelajaran.

Faris berjalan menuju kantin. Ia bertekad akan menjadi seperti apa yang di katakan Deri.

'Seorang pemangsa.'

Kalimat itu terngiang dan berdengung bak lebah di telinganya. Entah kenapa, meski agak ngeri dengan kalimat itu, tapi Faris menyukainya. Ia tersenyum simpul. Senyum pertama setelah kematian emaknya.

Memesan semangkuk bakso dan segelas es teh lemon tea yang membuatnya takjub dengan harganya, yang bisa di belikan empat potong sekaligus ayam bakar di kotanya. Faris teringat dengan Fatih.

Seandainya ia punya uang seperti sekarang, pasti ia bisa membelikan ayam bakar untuk Fatih setiap hari. Dia menatap bakso di depannya. Fatih juga sangat suka bakso.

Tiba-tiba ada seorang anak yang datang dan duduk di depannya.

"Boleh duduk di sini? Oh ya, namaku Alvren singkatan dari Albert Einstein. Tidak nyambung, ya. Tapi orang tuaku sangat ingin aku seperti si jenius yang legendaris itu. By the way, kita satu kelas lho. Aku duduk di depanmu. Tadi ku lihat kamu saat di kelas," ucapnya tanpa jeda membuat Faris tertegun.

Penampilan Alvren yang sedikit berantakan, dengan kaca mata tebal dan rambut kaku berdiri seperi sapu lidi, dengan tinggi yang mungkin hanya sepundak Faris, senyum yang ramah dan sedikit cerewet terlihat dari bibirnya yang tipis, membuat Faris langsung menyukainya.

Faris hanya tersenyum sedikit untuk menanggapinya. Lalu dengan tidak acuh, memakan lahap baksonya. Memang tadi pagi ia sengaja tidak sarapan meski Mbok Darmi sudah merayunya. Karena ia enggan satu meja dengan keluarga barunya.

Ibu angkatnya tetap hanya mau di panggil nyonya oleh Faris. Dan selalu menunjukkan raut tidak suka terhadapnya. Sedang ke tiga saudara angkatnya juga tidak pernah menganggap Faris. Bahkan mungkin mereka sudah lupa jika di rumah mewah itu sekarang sudah ada anggota baru yang bisa disebut, Adik. Hanya ayah Radit, Mbok Darmi dan Pak Tikno sopir pribadi Tuan Radit, yang baik dan ramah padanya. Dan satu lagi, Deri. Asisten lain hanya berpura-pura baik.

"Oh ya, namamu siapa?" tanya Alvren sambil mengunyah sandwich. Faris tahu nama makanan ini juga dari Mbok Darmi. Dan agak meringis aneh saat pertama memakannya.

"Faris," jawabnya tetap tidak acuh.

"Nama keluarga?"

Faris menghentikan suapannya. Ia terdiam. Teringat ucapan ayah angkatnya saat malam itu.

"Namamu sekarang Faris Wicaksono. Kamu sudah jadi bagian dari keluarga Wicaksono. Sebut nama itu jika ada yang bertanya padamu."

Faris meneguk es lemon teanya.

"Wicaksono," jawabnya lagi datar.

"Apa? Uhuk ... huk ...." Alvren tersedak dan mencoba menggapai minumnya. Faris membantunya dan memberikan minum pada Alvren.

"Kamu putra, Wicaksono? Jadi kamu adik ...." Kalimat Alvren terpotong ketika terdengar riuh suara siswi putri.

"Fidel datang ...."

"Ah, Fidel. Woaaa ...."

Seorang pemuda tampan yang sangat dikenal Faris berjalan masuk kantin di sertai beberapa anak lelaki lain di belakangnya, di iringi dengan sorak takjub para siswi.

Faris hanya mengamati dari tempat duduknya. Melihat betapa populernya Kakak angkatnya di sekolah ini.

Fidel tersenyum dan mulai tebar pesona. Ia berhenti di tengah ruangan kantin, dan memperhatikan sekeliling.

Netranya terhenti di bangku paling ujung. Dan mata mereka bertemu. Saling menatap dan berkilat.

Mata pemangsa.

Faris dan Fidel Wicaksono.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel