Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Keluarga Wicaksono

Bab 3

Suasana sarapan pagi pertama bagi Faris, sejak ia menginjakkan kakinya di rumah besar ini tampak kaku dan dingin. Hanya terdengar pelan denting sendok yang beradu dengan piring. Semua yang berada di meja makan itu diam dan hanya menikmati makanan mereka.

Faris mengunyah pelan makanannya dan berusaha tidak menimbulkan suara pada denting sendoknya.

Netranya melirik diam-diam seantero meja makan. Om Radit yang duduk di ujung seperti kursi utama, seorang wanita setengah baya yang cantik dengan dandanan glamour yang saat Faris datang memperkenalkan diri sebagai nyonya rumah, seorang lelaki dewasa yang tampan memakai setelan jas abu-abu yang rapi, lalu duduk di sampingnya seorang wanita muda yang juga tak kalah cantik dan mempunyai wajah mirip Om Radit. Lalu di depan Faris sendiri duduk seorang lelaki muda yang mungkin usianya tidak terlalu terpaut jauh dengannya, memakai seragam Sekolah Menengah Utama.

"Farrel done."

Tiba-tiba lelaki dengan jas abu-abu itu meletakkan sendok setelah suapan terakhirnya, meminum segelas air putih, mengelap mulutnya dengan serbet putih bersih, lalu berdiri dan beranjak pergi. Semua mata tertuju padanya.

"Felice juga, done." Di ikuti wanita muda yang juga dengan tergesa pergi menyusul lelaki tadi.

Nyonya Rinta meletakkan sendoknya menimbulkan bunyi berdenting yang lumayan keras membuat Faris terlonjak kaget.

"Bahkan ke dua anakku pun untuk sarapan saja merasa tidak nyaman," ucap Nonya Rinta dengan melirik tajam ke arah Faris.

Faris menunduk karena takut dengan tatapan Nyonya rumah.

"Mi, kita sudah membicarakan ini belasan kali." Terdengar suara sengau Tuan Radit.

Nyonya Rinta membuang serbet putih di atas meja, lalu pergi masuk ke dalam kamar dengan wajah masam. Terdengar helaan berat napasnya.

"Kalian habiskan makannya. Setelah itu, Faris ke ruang kerja, Om."

Sepeninggal Tuan Radit, Faris mencoba menelan nasi goreng di hadapannya dengan cepat. Ia melirik pada lelaki muda di depannya yang tetap makan dengan cuek seakan tidak peduli akan apa yang terjadi.

Tidak lama kemudian, pemuda itu pergi tanpa sedikitpun menyapa atau melirik pada Faris.

Faris gamang menatap nasi yang hampir habis di depannya. Ia ingin menangis dengan kehidupannya yang baru. Ia tahu, Faris tidak diharapkan kehadirannya di rumah ini. Tapi kenapa Om Radit memaksanya untuk tinggal di sini? Sampai ia tega memisahkan Faris dengan adiknya.

Sebuah sentuhan lembut di kepala membuat Faris terperanjat.

"Sudah habis makannya, cah bagus?" Wanita setengah baya yang di panggil Mbok Darmi itu tersenyum hangat padanya.

Faris mengangguk dan tersenyum dengan sungkan.

"Ya sudah sana segera pergi ke ruang kerja Tuan." ujarnya lembut.

"Tapi Faris mau membereskan meja makan dulu, Mbok."

"Nggak usah. Tidak pantas kamu membersihkannya. Biar Simbok nanti, lagi pula juga banyak asisten di sini. Sudah sana pergi. Tuan Radit sudah menunggu."

Mbok Darmi mendorong pelan punggung Faris agar pergi. Ia mengangguk pada Mbok Darmi dan segera bergegas menuju ruang kerja Radit. Tentu saja Faris di antar seorang asisten wanita muda yang juga berwajah dingin karena belum tahu seluk beluk rumah besar ini.

Asisten muda itu mengetuk pintu coklat besar dan menyuruh Faris masuk ke dalam dengan isyarat.

Sebuah ruang yang tidak kalah besar dengan rak-rak buku yang penuh, dan bermacam lukisan memenuhi ruangan itu. Faris tampak takjub dengan semuanya.

"Duduk, Nak." Tuan Radit berdiri dari meja kerjanya lalu mengajak duduk Faris di sofa berwarna soft di tengah ruangan.

"Sekarang kamu kelas tiga SMP, ya. Beberapa bulan lagi lulus. Tanggung mau daftarkan kamu ke sekolah baru. Jadi lebih baik kamu home schooling saja."

Faris hanya diam menunduk karena tidak tahu apa yang di bicarakan Om Radit. Yang penting dia hanya menurut sebagai anak angkat yang tidak di harapkan di keluarga ini.

"Jangan hiraukan istri dan anak-anak, Om. Mereka semua sebenarnya baik. Mungkin karena belum terbiasa saja dengan kehadiranmu."

Dengan lembut Tuan Radit bicara sambil menepuk pundak Faris.

"Faris, dengar dan lihat, Om." Dengan ragu Faris mengangkat wajahnya menatap Tuan Radit.

"Kelak, apapun yang terjadi ... Faris tetap anak, Om. Putra Raditya Wicaksono. Jangan pernah lupakan itu." Tuan Radit menggenggam jemari Faris dengan netra berkaca-kaca.

"Suatu hari nanti, kamu akan bisa mengerti dan memahami semua ini. Dan jika hari itu tiba, jangan pernah kamu membenci, Om. Karena semua yang Om lakukan demi kamu, dan ... Emakmu."

Mereka saling menatap. Tuan Radit dengan wajah menahan duka, dan Faris dengan wajah polosnya yang menyimpan banyak tanda tanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel