Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Diangkat anak

Bab 2

Bau obat khas rumah sakit menyeruak tajam masuk indra penciuman. Netraku mengerjap pelan, dan ruangan serba putih yang pertama terlihat.

"Kamu sudah sadar, Nak?" Seorang pria paruh baya menghampiriku dan tersenyum ramah.

Aku menatapnya ragu. Mencoba mengingat wajah tidak asing didepanku ini.

"Kamu lupa? Om yang tadi siang membeli tahu baksomu."

"Ohh." Hanya erangan yang keluar dari mulutku.

Emak!

Aku melompat bangun karena langsung teringat pada emak. Namun kepalaku terasa berdenyut hebat.

Lelaki itu mendekatiku dan memegang pundakku dengan wajah sendu.

Seperti dejavu, aku mengerti maksudnya. Dengan tersedu menutup wajah dan memanggil nama emak berkali-kali.

Pemakaman berlangsung dengan cepat pada keesokan harinya. Semua sudah diurus oleh lelaki itu, yang akhirnya kutahu bernama Om Radit.

Dan di sinilah kami. Di ruang tamu kecil rumah emak.

Aku, Fatih, Om Radit dan seorang lelaki dengan pakaian parlente duduk saling berhadapan.

Fatih masih terus terisak dan menyebut nama emak.

"Fatih ga mau ayam bakar lagi. Fatih mau makan pakai ikan asin dan sayur daun singkong masakan emak."

Kugenggam tangannya untuk memberinya kekuatan. Dia menoleh ke arahku dan mengerti.

Om Radit menatap kami bergantian lalu berdehem.

"Faris. Hmm ... begini...." Om Radit seperti tidak nyaman dan beberapa kali memlirik pada lelaki parlente di sebelahnya.

"Biar saya yang menjelaskan. Begini Faris." Lelaki itu membenarkan letak kaca mata yang agak melorot turun. "Karena sekarang kalian sudah yatim piatu, maka Tuan Radit ingin mengangkat anak kamu."

Ia menjeda sejenak, "dan hanya kamu, Faris. Tidak untuk Fatih."

"Kenapa Fatih enggak? Kalau begitu biarkan kami tetap tinggal di rumah ini. Saya tidak minta untuk jadi anak angkat, Om. Maaf kami nggak bisa berpisah,"

ujarku berapi-api menahan rasa nyeri mendengar penuturan lelaki itu.

"Kalian tidak bisa bersama Faris. Setidaknya untuk saat ini, percayalah." Wajah Om Radit memelas, menatapku.

"Faris tidak akan pernah pergi tanpa Fatih!" ucapku tegas.

"Tapi itu permintaan ibu kalian," lirihnya dengan wajah menunduk.

"Apa maksudnya? Emak kenal sama Om?"

Om Radit tampak salah tingkah. Ia membenarkan letak duduknya.

"Setelah ibumu di bawa ke rumah sakit, dia sempat sadar. Dan karena saat itu hanya Om yang ada di sana, ibumu menitipkan kamu pada Om."

"Kalau begitu kenapa tidak kami berdua untuk dijadikan anak angkat,"

"Itu, karena ...."

"Istri dari Tuan Radit hanya mengijinkan satu anak saja, Faris."

Lelaki itu menyambar cepat perkataan Om Radit, diikuti anggukan kepala olehnya. Aku menatap mereka bergantian.

"Kalau begitu, Fatih saja yang Om ambil."

Om Radit tampak terkejut dengan jawabanku. Sejenak dia termenung, lalu menggeleng cepat.

"Is-istri Om tidak bisa menerima a-anak kecil," dengan terbata Om Radit menjawab.

"Lalu bagaimana dengan Fatih? Dia masih terlalu kecil." Netraku menyorot tajam pada Om Radit yang semakin bersikap salah tingkah.

Aku tidak habis pikir dengan dua orang dewasa di depanku ini. Kami tidak saling mengenal, lalu tiba-tiba dia datang ingin mengangkat anak. Tapi hanya aku. Dan kenapa dia bisa ada di rumah sakit tempat emak dan aku dirawat?

"Kami sudah mengurus surat adopsimu, Faris. Dan kami juga sudah mendapat tempat baru untuk Fatih. Jadi kamu jangan khawatir."

Lelaki parlente itu mengeluarkan beberapa berkas dari dalam tas.

"Dimana Fatih akan tinggal?"

"Waktu kita tidak banyak. Nanti kamu akan segera tahu. Mari kita segera berangkat."

Lelaki itu berdiri, menghampiri Fatih dan setengah menyeretnya.

"Hei, lepas!"

Teriakku mencoba manarik Fatih. Aku menggenggam tangannya. Lelaki itu memanggil seseorang yang berada di luar. Dua orang lelaki kekar masuk dan mencoba memisahkan kami.

Aku menjerit untuk mempertahankan Fatih. Sedang adikku itu meraung dan menangis.

Salah satu lelaki kekar itu membopong Fatih dan memasukkannya dalam mobil besar dan hitam. Seperti adegan penculikan di televisi yang sering kulihat, mereka memaksa Fatih masuk.

Sedangkan tubuhku dipeluk oleh Om Radit agar tidak bisa mengejar Fatih.

"Abang ...! Tolong Fatih!"

"Om, lepas! Setidaknya biarkan Faris bicara pada Fatih," ucapku memohon.

Om Radit melepaskanku dan memberi isyarat pada dua lelaki itu. Aku mendekati Fatih.

"Dengar, Abang. Bertahanlah sampai Abang datang menjemput. Abang janji. Bawa gelang ini, agar Abang bisa mudah mencarimu," bisikku pada telinga Fatih. Dia mengangguk masih dengan terisak. Aku memeluknya erat.

Lalu dua lelaki itu menyuruh Fatih masuk ke dalam mobil besar bersama lelaki parlente berkaca mata.

Fatih melambaikan tangan dari balik kaca mobil. Air mata terus bercucuran membuat hatiku pilu. Beberapa tetangga menangis terisak melihat semua itu. Namun, mereka hanya diam tidak bisa berbuat apa-apa.

Om Radit tampak menyalami Pak RT. Dan memberi sebuah amplop besar berwarna coklat. Tidak lama kemudian, dia berpamitan dan mengajakku pergi.

Aku pandang rumah kecil peninggalan Abah. Rumah tempat dimana kami pernah bahagia meski hidup sederhana.

Air mata semakin luruh seiring dengan mobil yang semakin menjauh pergi. Aku pergi tanpa membawa sehelaipun baju dan satupun barang.

Mobil berjalan semakin jauh meninggalkan kota. Aku hanya diam dan melihat jalan. Namun sebenarnya aku menghapal jalan. Agar bisa kembali ke kotaku dan mencari Fatih.

"Kita makan dulu, Faris. Dari kemarin kamu belum makan."

"Nggak usah, Om. Faris ga lapar," jawabku dengan terus menatap jalanan.

Terdengar hela napas Om Radit. Ujung netraku beberapa kali menangkap sopir Om Radit memperhatikanku diam-diam lewat kaca.

"Om. Boleh Faris bertanya?" kataku tiba-tiba yang membuat Om Radit agak terperanjat.

"Y-ya," jawabnya agak tergagap.

"Bagaimana Om bisa berada di rumah sakit? Dan kenapa bisa bertemu dengan Emak?"

"M-m i-itu suatu kebetulan. Setelah Om beli tahu bakso kamu, kami berniat pulang. Lalu tidak sengaja melihat ada tabrak lari di jalan. Ketika Om turun, sudah melihat kamu tidak sadarkan diri dan adikmu yang menangis terus. Lalu kami bawa kamu ke rumah sakit."

Aku mengangguk. Penjelasannya masuk akal. Meski masih ada sesuatu yang mengganjal dan jauh di luar nalarku. Tapi apa? Entahlah.

"Umurnya baru lima belas tahun. Tapi dia sangat kritis dan cerdas seperti ...."

"Tikno!" Om Radit memotong dan membentak sopirnya agar diam.

"M-maaf, Tuan." Sopir yang mungkin usianya hampir sama dengan Om Radit itu tampak salah tingkah. Ia berkali melirikku lewat kaca.

Perjalanan ini memakan waktu kurang lebih lima jam. Tidak berapa lama, sampailah kami.

Mobil berhenti di depan sebuah gerbang hitam yang tinggi dan dua kali mengklakson. Dan secara otomatis pintu gerbang terbuka sendiri. Ada sekitar empat orang di balik gerbang yang memberi hormat dengan mengangguk pada mobil kami.

Mobil terus meluncur masuk. Dan berhenti tepat di depan sebuah rumah megah bak istana.

Aku menatap takjub rumah itu. Beberapa perempuan dengan pakaian berwarna coklat tua keluar dari dalam rumah. Seakan menyambut kami.

"Selamat datang, Faris. Anggaplah rumah sendiri."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel