Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

23. Mabuk berat

"Lu mau turun?" teriak Fidel agar terdengar, karena suara bising musik yang keras.

"Nggak. Gue pengen sendiri, pergi sono!" usir Faris.

"Mau gue carikan cewek?"

Faris tidak menanggapi, dan menyandarkan tubuhnya pada sofa. Ia memejamkan matanya, terlihat ia sudah mulai mabuk berat.

"Sepuluh menit lagi, lu bawa dia pulang," perintah Fidel pada Engga.

"Nggak usah sok baik, lu ma gue. Gue akan tagih janji lu, lima tahun lagi," teriak Faris mulai meracau.

Fidel mendekatkan wajahnya pada telinga Faris.

"Justru itu, selama lima tahun ke depan, gue harus jaga lu. Supaya, kelak, kita berdua bisa bertarung sampai mati," bisik Fidel parau.

Faris tertawa terbahak-bahak. Lalu Fidel meninggalkannya dengan memberi isyarat pada Engga untuk membawanya pulang.

Engga memapah Faris menuju mobil. Ia menidurkan majikannya ke jok belakang. Lalu mobil meluncur pergi.

"Gue nggak mau pulang. Gue nggak mau pulang ke rumah neraka itu ...." Faris mulai berteriak dan meracau.

Engga hanya diam dan sesekali melirik lewat kaca.

"Gue nggak mau pulang. Berhenti!" Faris berteriak, ia bangun dan membentak Engga agar menghentikan mobil.

Engga menepikan mobil, dan Faris segera keluar sambil terhuyung. Engga cepat mengejarnya dan mencoba menopang tubuh Faris yang limbung.

Faris mencoba berontak, ia akan pergi dengan berjalan kaki. Tapi sekuat tenaga, Engga menahannya.

Bersamaan dengan itu, Almeera yang baru pulang dari butik, melihat Faris yang berusaha meronta sambil terhuyung dari seberang jalan. Gadis itu mendekati mereka.

"Ada apa ini?"

"Tuan muda tidak mau pulang ke rumah," sahut Engga cemas.

Meera mendekati Faris, dan menepuk ke dua pipinya.

"Hei, kenapa? Ah, kamu mabuk?" Gadis itu menoleh pada Engga yang berdiri tertegun karena kelakuan Tuannya.

"Kenapa bisa sampai seperti i … aahhh ... syalan!" umpat Meera saat Faris muntah di bajunya.

Meera sangat geram, ingin sekali ia memukul pemuda itu.

"Bawa aku pergi. Aku nggak mau pulang, bawa aku pergi ...." Faris terus meracau dan menyandarkan kepalanya pada bahu Meera.

Meera marah dan mencoba mendorongnya, tapi Faris memeluk erat tubuh Meera.

"Sebaiknya kita masuk mobil dulu, Nona." Engga membukakan pintu mobil untuk mereka berdua.

Dengan kesal, Meera memapah Faris masuk. Lalu Engga segera menjalankan mobil.

Faris masih memeluk pinggang Meera dan menyandarkan kepalanya di bahu Meera. Ia masih saja meracau tidak mau pulang.

Meera merasa sangat risih. Ia ingin muntah dengan bau alkohol dari mulut Faris yang menyengat. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena ia juga merasa kasihan pada Faris. Ternyata orang kaya tidak semua bisa bahagia, dan mereka melampiaskannya dengan cara seperti ini.

"Kita bawa ke mana, Nona? Kalau pulang, saya yang di marahi habis-habisan sama Tuan Radit. Beliau ada di rumah saat ini," keluh Engga.

Meera berpikir sejenak.

"Kita cari motel aja. Tapi aku nggak punya uang, padahal kita harus bayar di muka," ujar Meera bingung.

"Di dompet Tuan muda pasti banyak uang. Tadi dia menghabiskan jutaan untuk membayar minumannya," ujar Engga.

"Ok, kamu cari motel dekat-dekat sini saja."

Lalu mereka menemukan sebuah motel, setelah berkeliling sebentar.

Engga memapah Faris masuk ke dalam motel, sedangkan Meera menuju resepsionis.

"Satu kamar seratus lima puluh, aku pesan satu kamar, mana uangnya?"

Engga memberikan dompet Faris. Meera membukanya dan ....

What the ….

"Hei cuma sisa lima puluh ribu!" teriaknya gemas.

"Ya ampun, Tuan menghabiskan uangnya untuk membeli semua minuman?" Engga merasa kecewa.

Resepsionis yang mendengar pembicaraan mereka, menyela.

"Uang muka dulu lima puluh ribu, nggak papa."

"Ya udah, nih." Meera memberikan uang lima puluh ribu itu.

"Kamu bantu angkat ke dalam kamar ya. Saya mau ambil baju Tuan di bagasi dulu," ucap Engga pada si resepsionis.

Si resepsionis memapah Faris, diikuti dengan Meera dibelakangnya.

Faris dibaringkan pada ranjang kamar motel.

"Aku mau pulang dulu, kamu jaga dia ya," ucap Meera pada Engga.

"Ini udah tengah malam, tidak apa-apa pulang sendiri?" tanya Engga prihatin.

Meera baru menyadari jika ini sudah terlalu larut, dan jarak motel ini ke rumahnya lumayan jauh. Meera bimbang, ia menatap Engga putus asa.

"Nona di sini aja, tidur di sofa. Saya akan tidur di mobil," usul Engga.

"Apa? Berdua ma dia? Aku setiap ketemu dia selalu sial, sekarang kamu menyuruhku satu kamar ma Tuan mudamu yang sombong ini!" seru Meera kesal pada Engga.

Engga menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kalau berani pulang, ya pulang saja. Maaf, ikut komentar. Tapi benar kata dia, ini sudah larut malam. Dan ibu kota, rawan buat seorang gadis." Si resepsionis ikut bicara.

Meera diam tampak berpikir. Kalau ia nekat pulang, nanti di depan gang kompleknya juga pasti buat nongkrong 'gerombolan si berat' ( sebutan Meera untuk preman di kompleknya). Mereka pasti akan mengganggu Meera, bahkan bisa juga berbuat tidak senonoh padanya.

Tapi kalau tetap di sini ... ia memandang Faris.

"Lagian aku juga tidak punya baju ganti. Kamu kan tahu, Tuanmu tadi muntah di bajuku," ujar Meera sendu.

"Ini bisa pakai kaos Tuan dulu, Nona. Tuan selalu membawa ganti beberapa pakaian dan kaos di bagasinya." Engga memberikan kaos pada Meera.

Akhirnya dengan pasrah, Meera menerimanya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk ganti.

Sedangkan Engga mengganti pakaian dan celana Faris dibantu si resepsionis.

"Besok pagi kalau Tuanku ini sudah sadar, aku mintakan tip karena kamu sudah membantunya," tukas Engga pada si resepsionis dan mendapat anggukan dan senyum menawan darinya.

Setelah semua beres, Ennga dan si resepsionis keluar kamar, dan tinggalah Meera dan Faris.

Meera memandang Faris yang tergolek di tempat tidur.

"Orang kaya, uang jutaan cuma buat minum-minum. Nah gue, uang satu juta buat hidup satu bulan, di cukup-cukupin," gerutunya.

Lalu ia menuju sofa dan merebahkan dirinya di sana. Belum lama Meera terlelap, ia mendengar Faris meracau lagi. Tapi kali ini ia berteriak.

"Kembalilan nyokap gue. Nyokap lu dah bunuh nyokap gue. Fidel, Fidel!"

Meera melompat bangun dari sofa dan menghampiri Faris. Ia melihat dahi Faris berkeringat dan tidurnya gelisah.

"Ah, dia demam." Meera memegang kening Faris.

Lalu dengan cepat, ia mengambil handuk kecil dan mengompres dahi Faris dengan air hangat dari termos yang di sediakan oleh pihak motel di atas nakas.

Dengan sabar Meera merawat Faris. Sesekali ia meracau memanggil Fidel. Meera merasa prihatin. Entah apa yang terjadi pada dua saudara itu, tapi melihat Faris meracau sampai demam seperti ini, berarti Faris memang menyimpan beban yang berat. Tiba-tiba ada sesuatu yang berdesir di hatinya saat menatap Faris yang terpejam. Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan mencoba mengusir pikiran kotor dalam otaknya.

"Orang sombong begini, mana ada cewek yang bisa tahan ma dia," guman Meera menatap sinis pada Faris.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel