22. Perjanjian
Faris berdiri dan meninggalkan selembar uang merah di meja itu, lalu dengan santai ia kembali ke mobil.
"Hei, Tuan muda." Meera mengejar Faris dengan sebal.
"Cepat masuk!" perintahnya pada Meera. Tapi gadis itu masih bergeming.
"Rumahmu masih jauh bukan dari sini? Apa kamu mau terlambat kerja?"
Dengan wajah masih masam, Meera menurut. Ia juga berpikir uangnya hanya cukup untuk dua kali lagi naik angkot. Jika dari tempat ini ke tempat kerjanya, ia harus naik angkot lagi tiga kali.
"Kalau semua mau dikerjakan sendiri, untuk apa ada kerjasama?" sungut Meera kesal.
Faris tidak menanggapinya. Ia memilih diam dan mengisap rokoknya.
"Barang yang bikin penyakit kok diisap terus. Ngabisin duit, pemborosan," sindirnya pada Faris.
"Kamu mau diantar kemana? Bilang sama Engga," ujar Faris tiba-tiba agar gadis itu diam.
Setelah itu yang keluar dari mulut Meera hanya menunjukkan jalan pada Engga. Namun sesekali nada bicaranya di perkeras untuk menyindir Faris. Dendamnya pada Faris belum sirna. Tapi dia tidak tahu bagaimana caranya membalas Tuan muda yang sombong itu.
"Iya, berhenti di depan situ," kata Meera pada Engga.
Meera lalu turun dari mobil, "terima ka ...."
"Jalan," perintah Faris lalu mobil langsung melesat pergi.
Meera menghentakkan kakinya di tanah. Ia sangat kesal luar biasa. Bagaimana ia bisa berurusan dengan makhluk sombong luar biasa itu? Ia menyumpah serapahi Faris dalam hati.
Tapi tiba-tiba Meera tertegun. "Dari mana Faris tahu kalau ia sudah bekerja? Bukankah waktu itu, dia tahu kalau aku sudah dipecat? Dan setelah itu, Faris ga masuk sekolah selama tiga hari." Meera bergumam pada dirinya sendiri.
Lalu ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, dan berpikir masa bodoh.
Sedangkan Faris meminta Engga untuk mengantarnya ke sebuah kafe. Ia duduk sendiri di kafe itu dan merenung. Engga hanya memperhatikan dari balik kemudi mobilnya, sikap Faris yang hanya diam di kafe itu, sendirian.
Faris memikirkan semuanya. Dia yang sebenarnya anak kandung Raditya, dan dia juga seharusnya pemilik sah dari perusahaan yang saat ini dikelola oleh Radit dan ke dua anaknya.
Satu-persatu teka-teki mulai bisa dipahaminya. Lalu, ibunya meninggal karena ditabrak oleh Surya, atas suruhan Rinta.
Dia menyeruput cappucinonya. Surya yang akan menjadi target pertama. Netranya menyipit, dan seringai muncul di senyumnya.
***
Fidel menghampiri papinya yang sedang membaca berkas laporan.
"Pi, Fidel mau bicara."
Papinya melepas kaca mata baca, lalu menatap putranya dan tersenyum hangat.
Fidel duduk di hadapan sang Papi.
"Fidel mau sekolah di LN," ujar Fidel yang langsung mendapatkan sambutan hangat dari Radit.
"Kamu mau di mana?" tanya Radit antusias.
"USA, mungkin," sahut Fidel sedikit enggan.
"Ok, nanti biar Kakakmu Farrel yang akan mencarikannya."
"Tapi Fidel punya syarat, Pi."
"Ya, Nak."
"Satu tahun lagi Faris juga lulus, biarkan ia juga sekolah dekat sama Fidel. Tidak satu universitas tidak apa-apa, tapi setidaknya kami satu kota," ucap Fidel.
Papinya tertawa dan mengangguk senang. Ia berpikir bahwa ke dua putranya ini mulai akrab.
Fidel tersenyum.
Dia teringat perjanjiannya dengan Faris siang itu di kafe.
"Kalo gitu, lu balikin nyokap gue, dan gue lepas nyokap lu." Faris menatap tajam Fidel.
Rahang mereka mulai menegang. Mata mereka sama-sama berkilat.
"Pertarungan kita dimulai detik ini juga, tapi ...." Fidel menjeda kalimatnya.
"Gue minta, lu nunggu gue sampai lulus kuliah. Tahun depan, lu juga ikut kuliah di Amerika. Kita harus satu kota. Supaya gue bisa ngawasin lu agar ga macem-macem ma nyokap gue. Setelah kita kembali ke negara ini, lu ... harus langkahi mayat gue dulu sebelum bunuh nyokap gue."
Faris tertawa serak.
"Omong kosong macam apa ini?"
"Faris ... darah nyokap lu juga ngalir ke tubuh gue. Bagaimana gue bisa balas air susu dengan air tuba? Tapi dia, dia juga nyokap gue. Yang mengandung dan melahirkan gue. Pertarungan kita yang sesungguhnya dimulai saat kita kembali dari Amerika. Karena saat itu, kita sudah sama-sama dewasa dan matang."
Mereka saling bersitatap.
"Apa keuntungan buat gue, jika setuju dengan lu," tantang Faris.
"Lu, boleh bunuh Surya," jawab Fidel dingin.
Fidel tersenyum hambar, mengingat perjanjian itu. Ia segera undur diri dari ruang kerja Radit.
Sedangkan Radit sendiri, merasa bahagia, ke dua putranya bisa akur. Tanpa ia sadari, ia telah merawat dua anak singa, yang sewaktu-waktu bisa menerkamnya.
Setidaknya Fidel masih punya waktu sampai ia mendapat gelar sarjana. Entah apa rencana Fidel untuk mengulur waktu. Tapi satu yang pasti Fidel tahu, Faris dan Deri tidak akan melepaskan keluarganya, terutama maminya.
Dan sampai sekarang, ia belum mengetahui siapa Deri sesungguhnya. Apa motifnya, dan kenapa dia bisa tahu semua tentang rahasia keluarganya.
Karena merasa bosan di kamar, Fidel keluar untuk mencari angin. Di tangga, ia bertemu dengan Cintya.
"Mau ke mana?"
"Cari angin," jawab Fidel singkat.
Cintya adalah putri dari sahabat papinya. Dulu, waktu mereka Sekolah Dasar, mereka tumbuh bersama. Tapi saat masuk Sekolah Menengah Pertama, Cintya pindah bersama keluarganya ke New York.
Mobil Fidel yang dikendarai Surya meluncur menuju ke sebuah night club. Setelah ini, dia tidak memerlukan Surya lagi untuk menjadi pengawalnya. Dia hanya menunggu, Faris membunuhnya.
Fidel bertemu dengan anggota gengnya di night club itu. Mereka adalah sekumpulan anak-anak pengusaha kaya yang mendewakan uang di atas segalanya.
"Bos, adik lu di sini tuh," Abi salah satu teman Fidel memberitahu.
Fidel menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Abi. Terlihat Faris sedang minum ditemani oleh sopir barunya.
Fidel menghampirinya, dan menuangkan vodka ke dalam shot Faris.
Faris hanya menoleh, lalu bersikap tidak acuh. Fidel duduk disebelahnya. Mereka diam, dan hanya menikmati minuman dan suara musik yang menghentak.
Engga yang melihat kakak adik itu tampak heran dengan sikap mereka yang dingin.
Engga sendiri baru kali ini masuk ke dalam sebuah night club. Dan itu membuat dia heran dengan suasananya. Dia hanya menemani Faris, dan tidak berani menyentuh apapun minuman di atas meja.
Karena ia sendiri belum pernah minum-minuman keras. Bahkan merokokpun tidak, karena ia benar-benar berasal dari keluarga kurang mampu. Jadi, sedikit punya uang hanya habis buat makan.