Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

21. Tugas sekolah

Sarapan pagi yang membosankan. Paling tidak itu yang dirasakan Faris dan Fidel. Karena orang tua dan Kakak mereka hanya membicarakan bisnis.

Tapi kali ini, Nyonya Rinta terlihat ceria. Ia banyak mengobrol dengan Cintya, gadis pirang itu.

Namun Cintya sering melirik pada Fidel dan Faris yang mengunyah makanan mereka dengan tidak acuh. Ia tertarik pada ke duanya.

Selain wajah yang mirip, ia menyukai dua bersaudara itu karena tatapannya yang dingin dan tajam.

"Cintya di Indonesia berapa lama?" tanya Tuan Radit sambil meminum segelas susu putih.

"Rencananya dua minggu, Om."

"Oh ya, kamu belum kenal Faris. Ia anak angkat, Om." lanjut Tuan Radit.

Faris yang merasa namanya disebut, lalu memandang Cintya dengan datar. Sedangkan gadis itu tersenyum manis padanya.

Nyonya Rinta melirik jengah.

Sarapan pagi itu di warnai dengan senda gurau seluruh anggota keluarga, kecuali Faris dan Fidel. Seperti biasa mereka hanya diam dan tidak acuh.

Faris menyandarkan tubuhnya dengan malas pada jok mobil, setelah sarapan pagi yang seperti neraka baginya itu berakhir.

Lagi, yang menyetir bukan Deri, karena ia harus pergi keluar kota lagi. Oleh sebab itu, Faris malas untuk berbicara.

Sopir yang menggantikan Deri juga masih muda, ia orang baru.

Berkali-kali pemuda itu melirik pada Faris melewati kaca yang sedang memejamkan mata.

"Sudah sampai, Tuan muda." Pemuda itu membangunkan Faris.

Faris membuka mata malas. Lalu sedikit merapikan rambutnya.

"Siapa namamu?" tanya Faris pada si sopir baru.

"Engga, Tuan."

"Jemput gue nanti jam 2," ucap Faris lalu turun dari mobil.

"Prince Fariiss ... ahh kamu masuk sekolah juga." Alvren menyambutnya sambil berlari kegirangan. Ia merangkul bahu Faris.

Engga memandang anak majikannya itu dengan tatapan iri. Ia harus putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu. Dan ia bisa bekerja di rumah keluarga Wicaksono karena rekomendasi dari Bibinya. Ini hari pertamanya bekerja.

Ia harus menghapal rute jalan tadi sebelum berangkat mengantar Faris sekolah. Tapi ia beruntung, karena Bibinya akhirnya bilang, ia harus mengekor saja dibelakang mobil Surya. Jadi dia bisa sampai di sekolah tanpa bertanya pada Faris.

"Satu sekolah, tapi mobil dan sopir berbeda. Enak sekali kehidupan mereka. Masih muda tapi sudah bergelimang harta," gumam Engga.

Sedangkan Alvren yang senang Faris berangkat sekolah, banyak bertanya pada Faris.

"Tiga hari nggak masuk sekolah, kemana aja?"

"Di rumah. Males aja," jawab Faris cuek.

"Bisa bolos bareng sama Fidel. Dia juga ga berangkat tiga hari." Alvren semakin penasaran.

"Males juga mungkin dia," jawab Faris sekenanya.

Alvren tampak jengkel. Ia tidak melanjutkan pertanyaannya karena melihat wajah Faris yang tampak enggan dan seperti sedang banyak pikiran.

Almeera melirik Faris sinis saat mengetahui ia datang.

Pelajaran di mulai. Miss Erna, guru Biologi mereka memberi tugas yang harus dikerjakan oleh dua orang. Dan Miss Erna yang menentukan nama setiap pasangan.

Dan sialnya, Faris harus berpasangan dengan Almeera. Mereka saling bersitatap tidak suka. Tapi mereka juga tidak membantah karena Miss Erna termasuk guru yang tegas.

Bel pulang sekolah berbunyi. Faris berjalan melewati koridor kelas sendirian. Alvren harus mengerjakan tugas bersama dengan Bety.

"Hei, kita kan satu team. Di mana mau mengerjakan tugasnya?" Meera mengejar Faris dengan muka masam dan terpaksa. Namun Faris hanya diam dan tidak acuh.

Meera sangat jengkel pada Faris yang mengacuhkannya. Sedang Faris tetap berjalan dengan santai menuju tempat parkir. Dan Meera tetap mengekor dibelakangnya.

Dia masuk mobil dan duduk di depan disamping Engga. Meera masih berdiri mematung dengan muka masam.

Faris menurunkan kaca jendela mobilnya.

"Mau sampai kapan berdiri di situ? Cepat naik," serunya pada Meera. Dan untuk ke dua kalinya, ia naik mobil Faris.

Mobil meluncur meninggalkan sekolah.

"Mau kemana, Tuan?" tanya Engga.

"Terserah lu, mau bawa kita kemana," jawab Faris datar. Engga mulai kebingungan dengan jawaban majikannya itu.

Faris membuka dashbord dan mengambil sebungkus rokok di sana. Ia tahu, Deri selalu menyimpannya di sana. Ia membuka kaca jendela sedikit dan menyulut sebatang.

Meera yang dari tadi diam, pura-pura batuk sambil tangannya mengipas asap dari rokok Faris. Ia menatap kepala Faris dengan gemas.

Sedangkan Engga, bingung harus ke mana. Berkali-kali ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia ingin bertanya tapi tidak berani. Karena ia merasa Faris berbeda dengan kebanyakan anak muda yang lainnya.

Meera yang sepertinya mengerti, mulai mengarahkan Engga.

"Depan belok kir, Bang. Nah nanti ada Masjid besar belok kanan." Dia memberi intruksi pada Engga.

Sedang Faris masih tidak acuh dan terus mengisap rokoknya.

"Nah, stop berhenti di sini," ujar Meera.

Dia bersiap akan turun, ketika Faris tiba-tiba bertanya.

"Ngapain berhenti di sini? Mau apa."

"Katanya mau mengerjakan tugas. Gimana sih," jawab Meera jutek.

"Ini warung makan. Mau makan atau mengerjakan tugas?" Faris memutar tubuhnya dan menatap Meera.

"Terus mau di mana? Di kafe? Atau restoran mahal. Maaf, saya tidak punya uang Tuan muda. Uang saya hanya cukup untuk membeli segelas es lemon tea," ketus Meera lalu membuka pintu mobil dan turun.

What the ....

Faris jengkel setengah mati pada gadis itu.

"Shit ...." Ia mengumpat, dan ikut turun dari mobil.

Engga yang melihat hanya menggelengkan kepala.

Faris duduk di depan Meera dan memesan segelas es jeruk.

Meera membuka bukunya, ia tampak berpikir keras dengan soal dihadapannya. Faris hanya diam memperhatikan.

"Ah, ini golongan darah. Jika A bertemu B, maka anaknya hanya memiliki golongan darah ...." Meera berpikir sambil mengaduk gelas esnya.

Tanpa diduga, Faris merebut buku Meera dan mengisi semua jawabannya dengan cepat. Lalu ia menyodorkan buku itu pada Meera.

Meera tampak tersinggung dengan perbuatan Faris.

"Kita di sini untuk diskusi. Kenapa Anda mengerjakannya sendiri?" ketus Meera.

"Kelamaan. Soal begitu saja hanya mikirnya sampe mo lebaran monyet," ledek Faris.

"Iya, yang paling pintar, paling cerdas. Jadi sok ...."

"Kamu mau aku cium lagi," bisik Faris tepat di telinga Meera. Hembusan napas Faris membuat Meera merinding.

Meera menarik wajahnya dengan cemberut. Dia tidak mau kejadian fatal tempo hari terulang lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel