17. Dilema Fidel
Fidel meninju tembok berkali-kali, hingga buku-buku jarinya terluka dan mengeluarkan darah.
Netranya semerah darah, air mata jatuh bercucuran tidak terkendali. Hatinya terluka dan patah.
Dia menggeram, wajahnya tampak sangat menakutkan. Kenyataan yang diterimanya, jauh lebih sakit dari yang dirasakan Faris.
Dia sangat membenci Devira, Ibu Faris. Namun kenyataannya, darah Devira mengalir dalam tubuhnya melewati air susu. Ia bukan lagi hanya seorang saudara tiri bagi Faris. Tapi juga saudara sepersusuan.
Berapa tahun yang lalu ia sangat senang dan puas ketika mengetahui Devira tewas ditangan maminya. Namun sekarang, hatinya berontak. Ada rasa kehilangan, luka dan nestapa yang tidak bisa diungkapkan.
Fidel membanting tubuhnya di ranjang. Dia menyesal, kenapa ia harus dilahirkan dalam kondisi seperti itu. Bukan Devira yang merusak rumah tangga orang tuanya, tapi justru maminyalah yang merebut papinya dari Ibu Faris.
Fidel sangat syok dan terpukul. Dalam hidupnya, baru kali ini ia menangis meraung, dan ia telah merasa kalah sebelum bertarung dengan Faris.
***
Sedangkan Faris mencoba menerima kenyataan dengan berpura-pura tetap tidak tahu. Deri telah menyusun rencana, dan Faris mau tidak mau harus menyetujuinya.
Dia keluar kamar hendak berangkat sekolah, ketika dilihatnya seorang pelayan mengetuk pintu kamar Fidel, tapi tidak ada jawaban.
Dia merasa tidak acuh, dan tetap berjalan menuju ke bawah. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia teringat cerita Deri, bahwa dulu, Emaknya juga sangat menyayangi Fidel. Bahkan, Fidellah yang mendapat ASI lebih dulu.
Dia berbalik menuju kamar Fidel.
"Dia belum bangun?"
"Sudah saya ketuk dari tadi, tapi tidak ada jawaban, Tuan muda. Tidak biasanya Tuan Fidel seperti ini," sahut si pelayan.
"Biar aku yang bangunin dia. Kamu pergilah."
Pelayan itu mengangguk hormat dan pergi.
Faris mencoba membuka gagang pintu, namun terkunci. Ia berusaha mendobrak, namun pintu itu terlalu kokoh. Firasatnya mulai tidak enak. Tapi ia tidak mau meminta tolong pada penghuni rumah karena hanya akan menimbulkan keributan. Perasaannya mengatakan bahwa Fidel tidak ingin ada yang mengetahui apa yang terjadi padanya.
Faris masuk kembali dalam kamarnya. Ia menelpon Mbok Darmi, bahwa ia masih ingin tidur lagi, dan hari ini tidak sekolah. Dan juga ia tidak ingin diganggu. Mbok Darmi dan Deri pasti akan mengerti.
Faris menuju balkon, lalu ia memanjat samping tembok kamarnya. Merayap dengan berpengangan apapun yang menempel pada dinding. Perlahan dengan menyandarkan tubuhnya pada dinding, kaki bertumpu pada pijakan yang hanya selebar kurang lebih tiga puluh centimeter, ia mulai berjalan pelan-pelan. Dia telah melewati satu dinding luar ruangan, satu dinding ruangan lagi maka akan sampai ke kamar Fidel.
Mungkin jika ada yang melihat aksi Faris seperti maling ini akan berteriak, karena posisi Faris sangat berbahaya, bisa sewaktu-waktu ia tergelincir dan jatuh dari ketinggian lantai dua.
Dia terus merayap pelan-pelan, sampai di dinding luar ruangan ke dua, pijakan kaki berakhir. Ia sadar tidak mungkin ia merayap pada dinding. Ia berhenti sejenak, lalu melihat ada kabel hitam tebal di sisi dinding. Maka tidak ada jalan lain, selain memanjat kabel itu. Seperti di film action, ia memanjat dan bergelantungan pada kabel hitam itu, untuk naik ke atas atap. Dengan penuh perjuangan ia sampai di atas atap. Lalu dia berjalan perlahan, karena atap terasa licin, sehabis diguyur hujan semalaman.
Sampailah ia di atas kamar Fidel. Dengan perlahan ia turun, berpegangan pada pipa pembuangan air hujan, lalu melompat ke balkon.
Faris berdiri di balkon kamar Fidel, Dia menggeser pintu kaca penghubung balkon dan kamar, ternyata pintunya tidak terkunci. Ia masuk, dan mendapatkan Fidel tidur dengan posisi tertelungkup.
Faris menghampirinya, menggoncang tubuh Fidel untuk membangunkannya. Tapi ia diam. Faris meraba kening, dan suhu tubuh Kakaknya sangat tinggi.
"Fidel, Fidel bangun." Faris menggoncang tubuhnya. Ia melihat noda darah yang sudah mengering pada jari tangan dan sprei.
Fidel mencari obat pereda demam di dalam nakas, dan menemukan hanya tinggal satu butir. Lalu ia mengambil air hangat dan handuk, untuk membersihkan tangan Fidel yang berdarah dan mengompres keningnya.
Faris ingat, ketika ia atau Fatih demam dulu, emaknya selalu melakukan itu. Dia menyeka dahi dan keringat Fidel dengan telaten dan pelan-pelan.
Fidel mengerang tidak jelas. Suhu tubuhnya masih tinggi. Faris menggerus obat di sendok karena Fidel masih tidak sadarkan diri, untuk bisa meminumnya sendiri.
Faris memangku Fidel, lalu memasukkan obat yang sudah digerus ke dalam mulutnya. Ia memandangi wajah Fidel.
Orang yang selama ini dibencinya, mengalir juga darah Ibunya dalam tubuhnya. Tapi, mengalir juga darah wanita yang telah membunuh Ibunya.
Faris gamang. Kenapa takdirnya seperti ini? Lalu apa yang akan ia lakukan pada Fidel? Wajah Faris terlihat sendu.
Dua bersaudara itu sama-sama ingin saling menghancurkan dan membunuh, pada awalnya. Tapi ternyata, kenyataan berkata lain.
Takdir telah mempertemukan dua bersaudara itu dalam keadaan waktu yang tidak tepat.
Dua jam kemudian.
Fidel menggeliat merasakan tubuhnya gerah. Tangannya meraba ke atas nakas untuk mencari remot AC. Tapi tidak sengaja ia menyentuh sebuah bungkus obat. Ia mangamati obat itu, lalu bangun dan duduk. Ia melihat bekas sendok, dan masih ada sisa gerusan obat. Pada saat itu, Fidel baru melihat Faris yang tertidur dengan posisi duduk pada kursi malas di sudut ruangan.
Fidel menghampirinya. Ia baru menyadari bahwa wajah Faris sangat mirip dengannya. Seperti tahu jika sedang diperhatikan, Faris terbangun.
"Dah bangun, lu." Faris menguap malas.
"Kenapa lu ada di sini?" tanya Fidel.
"Gue kira, lu dah mati. Ga taunya cuma sakit," jawab Faris cuek.
"Kenapa malah tidur di sini," ucap Fidel.
"Gimana bisa gue keluar, kalau kuncinya aja ga tahu di mana," sahut Faris ketus.
Fidel baru menyadari, semalam ia melempar kunci kamar sembarangan setelah menguncinya.
"Terus lu masuk dari mana?" tanya Fidel heran.
"Lu pikir dari mana? Gue merayap kek Spiderman, tahu gak?" katus Faris.
Fidel tertawa geli. Baru sekali ini, ia melihat tawa Kakaknya yang natural, tanpa seringai.
"Cepat mana kuncinya, gue mau keluar." sahut Faris tidak sabar.
Fidel memang lupa di mana ia melempar kuncinya tadi malam, tapi ia mempunyai kunci cadangan. Ia membukanya, dan tanpa sepatah katapun, Faris keluar dari kamar Fidel.
Fidel menghela napas panjang. Ia menuju balkon dan mengamati sisi-sisi dinding balkon. Ia tidak habis pikir, Faris mau melakukannya. Ada jejak sepatu di lantai balkonnya. Ia tersenyum sendu.
Adik yang sangat dibencinya, melakukan resiko tinggi dengan merayap dan memanjat dinding demi untuk mengobatinya.
Sungguh ... takdir persaudaraan yang aneh.