Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Halus dan Polos, Tapi Menikam Dari Belakang

"Vella, kenapa kamu terdiam? Cepat telepon Edgar," sentak nenek Lola mengejutkan Vella.

Kilat mata Vella menatap nenek Lola sekilas. Dengan tenang dia menurunkan gagang telepon dan meletakan pada tempatnya perlahan. Lantas menjawab, "Iya, Nek."

Kemudian Vella mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Edgar sesuai titah nenek Lola.

Kembali Vella berjalan dengan tenang untuk menaiki tangga, dan wajahnya mendongak ketika mendengar suara lembut Indina.

"Vella, kamu sudah pulang, Nak?"

Seketika mata Vella memicing tajam, sungguh memuakkan dua wajah yang berbeda ini.

'Menyedihkan sekali ternyata selama ini aku tertipu,' batin Vella kesal bercampur kemarahan, namun raut wajahnya masih terlihat tenang.

Indina terlihat mendekat dan menyentuh pipi Vella dengan lembut. Senyumnya merekah indah dan terlihat sangat manis, sikap ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang apa Vella dengar di balik telepon sebelumnya.

Kerutan di alis Vella memudar, wajahnya menjadi datar dan dingin, kala dia berucap, "Jangan bersikap baik kepadaku, jika sebenarnya kamu tidak menyukaiku."

Vella menurunkan tangan Indina dari pipinya, dan pergi begitu saja. Menghadirkan kilat suram di wajah Indina.

Senyum miring penuh kebencian tersungging sadis dari sudut bibir Indina setelah Vella berlalu. Mulutnya mulai bergumam sinis. "Kamu pikir aku aku senang melakukan ini? Kamu hanya Kabut Suram penghalang jalanku, Vella."

Tapi mendadak Indina berpikir dalam, dengan perubahan sikap Vella kali ini. Biasanya anak itu bersikap ramah dan lembut kepadanya.

'Ada apa dengannya malam ini?' tentu saja itu yang menggema di benak Indina sekarang.

Namun, setelah ingat sikap mendiang Vita yang juga dingin dan sangat luar biasa, Indina tak lagi mengacuhkan sikap Vella kali ini. Temperamen seorang ibu pasti menurun ke anaknya bukan?

Sementara Andin yang sejak tadi sudah sangat penasaran ketika Vella menenteng pepper bag di tangannya. Diam-diam mengikuti Vella dan masuk ke dalam kamar.

Terlihat Vella menjatuhkan diri di atas kasur dengan sangat lelah. Dia menatap langit-langit kamarnya dengan kilat mata lemah dan sedih.

'Diumpankan pada laki-laki dewasa, apakah hidupku tak seberharga itu?' batin Vella pedih.

Seandainya dia punya jakun di tenggorokannya mungkin saat ini akan terlihat bergerak-gerak lantaran Vella terus menelan saliva mengingat kejadian mengerikan saat itu.

Dia sangat jijik ketika melihat wajah pelaku yang begitu rendahan ingin menerkamnya.

Rasanya saat ini Vella ingin membakar dunia kala kenangan menjijikan itu kembali hadir. Terlebih ketika dia tahu, dalang di balik kejadian itu adalah seorang ibu yang yang selama ini sangat dia hormati.

Tapi raut wajah Vella perlahan kembali dingin dan tenang, manakala menyadari ada seseorang yang memperhatikan. Garis bibirnya melengkung tipis dan terlihat mencela.

"Apa yang ingin kamu ketahui?" tanya Vella santai dan dingin.

"Apa kamu selalu mencurigaiku? Aku hanya ingin menagih, oleh-oleh apa yang akan kamu berikan padaku setelah pergi dengan kak Rino dengan begitu lama?"

Vella tersenyum ironi mendengar pertanyaan adiknya. Terlebih ketika dia melihat kilat mata Andin terus tertuju pada pepper bag yang barusan dia letakkan.

Hatinya terus mencela. Tentu saja, selama ini Andin selalu menginginkan yang dia punya. Kali ini pun Vella yakin adiknya juga menginginkan hal yang sama.

Vella kembali terlihat santai, dia meraih ponsel dan memainkannya, tak ingin menanggapi Andin yang kian terlihat geram.

"Memalukan, sok jual mahal, tapi masih saja menguras kantong kak Rino."

Vella masih tidak menanggapi, dia asik memainkan gadget tak mengacuhkan ujaran Andin.

Namun, begitu melihat Andin bergerak menuju pepper bag di sampingnya, dengan santai Vella meluruskan kaki yang sedari tadi menggantung di tempat tidur dengan gerakan mendadak.

Sehingga, Andin yang sudah terlihat bersemangat jadi tersandung kala menabrak kaki Vella yang jenjang.

"Ah!" Andin memekik kesakitan kala tubuhnya terjungkal ke lantai dengan keras.

"Kak, kamu sengaja, ya? Lihat saja bagaimana aku akan mengadukanmu pada papa," ancam Andin setelah berhasil duduk bersimpuh di lantai sembari mengusap-usap sikunya yang nyeri.

Senyum mencela kembali muncul di sudut bibir Vella, kemudian dia berucap santai, masih dengan posisi berbaring dan tanpa menatap Andin. "Lakukan saja, memang hanya itu 'kan, yang selama ini kamu lakukan untuk merebut apapun yang aku miliki?"

"Itu adalah milikku, apa pun yang diberikan kak Rino aku juga berhak memilikinya."

Tawa ironi Vella terdengar sangat mencemooh setelah Andin menutup mulut. Tampaknya adik tirinya yang imut dan lemah lembut itu memang sangat serakah.

Perlahan Vella mengangkat tubuhnya untuk duduk. Kemudian menatap Andin yang masih terlihat menyedihkan bersimpuh di lantai.

"Kamu mengatakan tentang hak? Apa kamu tidak mengaca baru-baru ini?" tanya Vella santai.

"Kamu pikir kak Rino milikmu seutuhnya? Aku rasa kamu juga sudah tahu apa yang kami lakukan saat mama Vita kecelakaan." Andin pun bangkit dengan senyum mencibir, bahkan dia semakin puas setelah melihat raut wajah Vella menggelap.

"Menjijikkan," ucap Vella sinis, sekarang dia tahu bahwa Andin sengaja melakukannya karena dia tahu Vella akan datang.

"Akui saja, Kak. Sebenarnya kamu sama sekali tak pantas bersanding dengan kak Rino. Memang apa yang bisa kamu lakukan untuknya?" Andin memandang Vella dengan senyum imut yang tak terlihat manis di mata Vella.

Vella hanya mendengkus samar, dan berucap, "Apa kamu pikir kamu pantas?"

"Tentu saja, kak Rino mengkhianatimu saat status kalian masih bertunangan. Sudah jelas kamu memang mempunyai kekurangan untuk menyenangkannya," ucap Andin dengan suara lembut yang dia miliki.

Namun, malah membuat Vella semakin jijik, dan membatin, 'Tunggu saja sampai saatnya tiba aku akan menyatukan pasangan busuk seperti kalian.'

Andin semakin senang menatap kekalahan di raut wajah kakaknya. "Kenapa menatapku seperti itu? Akui saja, kamu benar-benar tidak layak untuk kak Rino. Jadi lebih baik putuskan saja dia."

Tapi, senyum Vella tiba-tiba mengembang indah dan berucap, "Ide yang bagus. Tapi sungguh sial, ternyata tunanganku yang menjijikan itu sama sekali tak ingin berpisah denganku, meski ada gadis rendahan yang mencoba merayunya. Ternyata benar kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya."

Seketika mata Andin melebar lantaran tersinggung. "Apa maksudmu? Tidak perlu melibatkan mama Indina dalam urusan kita."

"Sebelumnya aku memang tidak ingin, tapi setelah malam ini sepertinya itu sangat sulit," timpal Vella santai.

"Apa kamu adalah orang yang tidak tahu berterima kasih? Selama ini mama selalu merawatmu dengan baik meski kamu bukan anak kandungnya, bisa-bisanya kamu berpikiran jahat terhadap mama Indina!" Andin semakin geram.

"Cih ... kamu ini pura-pura tidak tahu, atau memang bodoh? Atau memang seperti inilah kalian. Pura-pura bersikap halus dan polos, tapi menikam dari belakang?" cela Vella tanpa menutup-nutupi lagi.

"Kamu ini bicara apa? Jangan pernah meragukan kebaikan mamaku, di saat mendiang mama Vita sibuk dengan urusan bisnis, siapa yang mengurus dan merawatmu?"

Seketika emosi memenuhi wajah Vella, dia pun segera berdiri dan menghardik, "Jangan pernah sebut nama mamaku. Orang ketiga seperti kalian, sama sekali tak pantas!"

Bruk!

Tiba-tiba Andin jatuh ke lantai tanpa sebab, membuat Vella memicingkan mata sejenak, diikuti hardikan garang di ujung pintu.

"Vella, apa yang kamu lakukan pada adikmu?!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel