Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Terjebak Dalam Hubungan Rusak

Teng! Teng! Teng!

Lonceng berbunyi, setelah dua jam mata pelajaran berlalu.

Semua anak sudah pasti bersiap menuju kantin. Begitu juga dengan Vella, setelah memasukan bukunya ke dalam tas dia juga segera beranjak dari tempat duduk.

Namun, saat dia ingin melangkah Rino terlihat menghadang di depannya.

"Kita harus bicara," ucap Rino datar.

Dengan raut wajah datar dan dingin Vella pun menyambut. "Katakan."

Rino mengela napas sejenak sebelum berucap, "Kamu tidak perlu seperti ini, Vel. Kamu tidak perlu rendah diri karena kejadian yang menimpamu seminggu yang lalu. Oke, aku minta maaf, karena saat itu aku kecewa padamu, aku syok melihatmu dalam dekapan laki-laki itu. Tapi sekarang aku tahu, kamu tidak akan pernah mengkhianatiku."

Senyum penuh ironi hinggap di sudut bibir Vella. "Rendah diri? Cih!"

Mendengar ucapan Vella yang terdengar sarkas, alis Rino pun mengernyit. "Vella, aku benar-benar minta maaf."

Perlahan kelopak mata Vella terangkat ketika menatap Rino. Manik hitam Vella berkilat indah, namun saat ini tatapan itu terasa menusuk.

Tentu saja, di saat Vella sedang membutuhkan dukungan, Rino malah pergi meninggalkannya dan bermesraan dengan adiknya.

Saat mamanya meninggal Rino juga tidak hadir sebagai sandaran.

Saat itu Vella tidak berucap apa-apa, dia masih terpukul oleh kepergian mamanya, hingga tubuhnya menjadi sangat lemah, tapi sekarang dia sudah cukup kuat untuk menghadapi segalanya, dia pun berkata mantap. "Kita sudah selesai."

"Vella, itu tidak mungkin. Kita sudah bertunangan. Hubungan kita sudah dipastikan oleh orang tua kita, kenapa kamu jadi seperti ini, Vel?" Rino mengingatkan tentang hubungan mereka.

"Aku tidak akan seperti ini jika kamu tahu di mana letak hatimu?"

Alis Rino berkerut mendengar ujaran Vella, kemudian bertanya. "Maksudmu apa?"

Vella hanya tersenyum mencela, kemudian pergi meninggalkan Rino yang masih tertegun. Tapi tidak lama kemudian Vella mendengar Rino berseru.

"Dua minggu lagi ulang tahun papa, aku harap kita masih bersama, Vel. Demi hubungan baik orang tua kita."

Vella berhenti sejenak, sungguh menyedihkan setelah mendapatkan penghianatan ternyata dia masih terjebak dalam hubungan rusak ini.

"Aku mencintaimu, Vel."

Vella tidak menjawab, lantas pergi begitu saja tanpa menoleh lagi.

Tatapan sinis semua teman-temannya pagi ini benar-benar membuat Vella kenyang.

Dia menghindari kantin dan memutuskan untuk berjalan menyusuri taman sekolah yang luas dan teduh.

Tapi setelah melihat-lihat, sungguh malang ternyata semua bangku sudah ditempati.

Sampai dia menemukan bangku panjang yang hanya di tempati satu orang. Dia tampak berpikir sejenak.

Samudera sedang duduk sembari memejamkan mata, kedua lubang telinganya juga tertutup oleh headset.

'Samudera, tentu saja tidak ada yang berani melampauinya,' gumam Vella dalam hati.

Anak yang bernama Samudera ini memang baru dua minggu berada di sekolah tersebut.

Tapi latar belakangnya yang kuat membuatnya populer secara mendadak, meski tak satupun yang berani mendekat kepadanya.

Temperamen yang dingin dan tak tersentuh membuat siswa siswi lain enggan untuk bersinggungan.

Kebanyakan mereka hanya mengagumi dari jauh.

Vella ingin berbalik meninggalkan tempat tersebut.

Tapi begitu dia kembali berpikir, dia mengurungkan niatnya untuk pergi. Lantas dia duduk perlahan di samping Samudera dengan memberi jarak.

'Dia juga manusia, apa yang harus aku takutkan?' gumam Vella dalam hati.

Sikap acuh tak acuh, Vella perlihatkan, kemudian mengambil gadget dan memainkannya.

Vella baru tahu, duduk bersama anak yang ditakuti di sekolah ternyata akan setenang ini.

"Untukmu."

Vella tersentak ketika mendengar nada rendah di sebelahnya setelah duduk dengan waktu yang lama.

Dia menoleh dan mendapati Samudera yang mengulurkan minuman kaleng kepadanya.

Cukup canggung, tapi Vella menerimanya. "Terima kasih."

Samudera mengangguk samar dan kembali meluruskan wajahnya yang penuh ketidakpedulian menghadap ke depan.

"Apa aku mengganggumu?" tanya Vella pelan.

"Tidak."

Dengan jawaban cepat Samudera, Vella cukup tahu jika headset yang tertanam di lubang telinga itu tak bersuara.

Biasanya untuk menunjukkan orang yang sedang tak ingin diganggu, tapi jawaban Samudera adalah 'tidak' ini cukup membuat Vella bingung.

"Aku akan pergi jika kamu tidak ingin aku di sini." Vella cukup tahu diri dan ingin beranjak dari tempat duduk.

"Ini tempat umum, aku tidak berhak menyuruhmu pergi," timpal Samudera dengan cepat, tapi raut wajahnya tak berubah, terlihat datar dan dingin.

"Oh ...." Hanya itu respon yang Vella tunjukkan.

Suasana menjadi hening untuk beberapa saat. Vella mendadak menjadi cemas.

Bukan karena takut pada siswa dingin di sampingnya. Vella hanya takut membuat Samudera ikut tercemar, lantaran hal buruk yang menimpanya belakangan ini.

Baru saja Vella ingin beranjak dari duduknya, tapi seseorang terlihat datang dan memanggil. "Kakak, kenapa kamu tidak makan di kantin saja sih? Apa enaknya makan di sini?"

Vella segera menoleh, seorang siswa kelas 10 datang mendekati Samudera, dia tampak terkejut melihatnya juga berada di tempat tersebut.

"Kakak, kamu sedang bersama ...."

Samudera tidak menjawab. Dia segera mengambil kantong plastik yang berada di tangan anak tersebut. Tangannya mengeluarkan makanan dari kantong plastik, kemudian yang terlihat adalah dua kotak dinsum.

Yang lebih mengejutkan, tiba-tiba Samudera berkata sembari mengulurkan salah satu kotak tersebut pada Vella.

"Untukmu," ucap Samudera datar, wajahnya pun tak berekspresi.

Vella sedikit terbengong melihat uluran tangan dari Samudera. Dia masih tidak percaya laki-laki dingin ini menunjukkan ketulusan hati untuknya.

Karena Vella tidak kunjung menerima uluran tangannya, Samudera akhirnya meletakkan kotak dinsum tersebut di pangkuan Vella tanpa berucap.

Sementara kotak dinsum yang lain dia serahkan pada anak kelas 10, yang diketahui dari nama pengenalnya adalah Samuel.

Vella semakin tak enak hati karenanya, rasanya sungguh tidak tahu diri jika dia memakan dinsum milik Samudera padahal pemiliknya tidak makan.

"Untukmu saja, aku tidak lapar kok," ucap Vella hendak mengembalikan kotak dinsum tersebut kepada Samudera.

Tapi Samudera malah memberi tatapan ketidaksenangan pada binar matanya yang tajam. Itu sedikit membuat Vella menelan saliva dengan kasar. Vella tahu raut wajah itu tidak menginginkan bantahan, meski dia tidak berucap apa-apa.

Vela mengambil inisiatif untuk menempuh jalur tengah. "Kalau begitu, kita makan bersama."

"Hmm."

Samuel masih memperhatikan Vella yang membuka kotak dinsum. Dia tidak habis pikir apa yang sedang dipikirkan kakaknya saat ini? Seumur-umur dia belum pernah melihat kakaknya berbagi bersama seseorang dengan begitu murah hati. Bukankah ini sangat mengejutkan? Tanpa sadar Samuel sedikit terbengong.

"Kamu duluan," ucap Vella sembari mengulurkan dinsum yang sudah dia sumpit menuju ke mulut Samudera.

Ketika Samudera tidak menolak, rasanya Samuel ingin berjingkrak dan berteriak, 'Astaga ... apakah ini benar-benar kakakku?!'

Samuel baru memakan satu dinsum miliknya, tapi rasanya dia sudah makan dua bungkus nasi padang secara bersamaan.

Saat terus melihat kakaknya disuapi seorang gadis dan sama sekali tak menolak, rasanya Samuel ingin mimisan.

Sambil menggigit ujung sumpit miliknya, Samuel terus membatin.

'Sejak kapan mereka dekat?'

'Sejak datang dari luar negeri, aku belum pernah melihat kakak berkenalan dengan seorang gadis.'

'Tapi ... bukankah dia gadis yang satu minggu lalu menggemparkan sekolah?'

'Bagaimana kakak begitu nyaman dengan gadis ini?'

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel