Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Sebelum meninggalkan Bintang sendirian di dalam apartemen miliknya, Felix menekan sederet nomor untuk mematikan sistem alarm dalam apartemen. Sistem alarm yang secara otomatis akan berbunyi dalam waktu lima belas detik jika tidak dimatikan.

Lalu dia berjalan menuju tempat dimana dia menumpukkan pakaian mereka dan tas tangan milik Bintang di koridor tadi. Lalu Felix memungut semua barang-barang itu, menutup dan mengunci pintu lalu menyalakan sistem penerangan dalam ruangan apartemennya sambil mengatur intensitas cahaya. Ruangan apartemen itu sekarang sudah diterangi dengan cahaya yang pucat keemasan.

Kini Felix melangkahkan kakinya menuju sofa tempat dimana Bintang direbahkan. Dia berlutut di depan sofa itu sambil memegang tangan Bintang dan berkata, “Bintang!”

Kedua mata Bintang masih terpejam, tetapi langsung membuka matanya begitu mendengar ada yang memanggil namanya. Tetapi, kondisi Bintang masih dalam keadaan setengah sadar.

“Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah sudah merasa agak baikan?” Tanya Felix dengan cemasnya.

Bintang hanya bisa menatap Felix dengan pandangan mata yang kosong. Air mata Bintang mengalir menetes ke bawah pipinya yang sedang memerah. Bintang menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Kemudian mulai menangis sambil berkata, “Aku benar-benar takut. Aku tahu! Sifatku ini memang konyol dan seperti kekanak-kanakan. Claustrophobia…..” Ujarnya dengan nada terisak-isak.

“Sssssshhhhh………!” Seru Felix sambil menaruh jari telunjuknya pada mulut Bintang.

Segera Felix bangun dan duduk di sebelah Bintang. Lalu dia memeluk Bintang dengan sangat erat dan menaruh wajah Bintang ke lehernya. Sambil membelai-belai rambut Bintang, lalu dia berkata, “ Tenanglah! Semua sudah berakhir. Kamu sudah aman sekarang, Bintang.”

Dengan lembutnya, Felix mengecup kening Bintang. Dan mengecupnya lagi. Berulang-ulang dia mengecup kening Bintang untuk menenangkan hati Bintang yang sedang gelisah.

Kemudian dia mengusap-usap punggung Bintang. Sementara Bintang semakin merapatkan diri pada Felix.

Tiba-tiba Felix menjauhkan diri dari Bintang dan berkata dengan keras, “Yang kamu butuhkan saat ini mungkin segelas Wine, yang bisa menghangatkan tubuhmu dan menghilangkan rasa ketakutanmu, Bintang.”

Setidaknya, Felix juga sangat membutuhkan minuman itu. Dengan perlahan-lahan, Felix melepaskan diri dari pelukan Bintang dan beranjak menuju bar kecil yang terletak di salah satu sudut ruangan apartemen miliknya.

Dia mengawasi Bintang sambil menuangkan minuman yang beraroma harum itu ke dalam dua buah gelas kaca, yang disebut red wine glass.

Sepertinya tangisan Bintang tadi, tidak hanya menghapuskan kepanikan yang baru saja dilanda, tetapi juga sangat menguras tenaganya.

Felix menghampiri kursi sofa dimana Bintang sedang merebahkan dirinya, lalu Felix duduk di bawah sofa dengan posisi menyamping ke arah sofa sambil menyandarkan pipinya pada kursi sofa.

Felix tersenyum sambil berkata dalam hatinya, “Tidak menyangka seorang Felix Dirgantara bisa juga menyelamatkan seorang wanita dalam lift.”

Dalam hatinya, dia tidak menyangka bisa menyelamatkan seorang wanita yang amat sangat cantik, tetapi tidak berdaya, sehingga digendong sampai ke dalam apartemennya. Dan sekarang nasib wanita itu ada di tangannya. Dia menggelengkan kepalanya sambil melangkahkan kakinya kembali ke sofa. Pasti tidak akan ada orang yang akan percaya dengan apa yang sudah dialaminya saat ini.

“Lalu sekarang apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mencampakkannya ke jalanan? Apa yang harus aku lakukan terhadap wanita ini?” Tanya Felix dalam hatinya.

Tidak sedikit pun terlintas di benak Felix untuk menghubungi para penghuni apartemen lainnya untuk mengupayakan menemukan teman-teman yang baru saja dikunjungi oleh Bintang.

“Ini, Bintang. Minumlah sedikit saja.” Kata Felix sambil duduk kembali di samping Bintang.

Lalu Felix membangunkan tubuh Bintang dengan sebelah tangannya dan di dekatkannya gelas itu ke bibir Bintang. Kedua mata Bintang terbuka. Mata coklat Bintang menatap tajam ke arah Felix.

Bintang masih terlihat sangat kebingungan melihat Felix, namun tidak lagi tampak ketakutan seperti tadi.

Dengan perlahan-lahan bibir Bintang mulai meneguk minuman yang diberikan Felix padanya.

Raut muka Bintang tidak mengisyaratkan penghargaan terhadap minuman mahal yang diberikan Felix barusan padanya. Tetapi, malah mengerutkan wajahnya dengan ekspresi yang aneh.

Felix yang melihat wajah Bintang berubah menjadi seperti itu, diam-diam Felix tertawa. Ternyata Bintang yang tidak biasa meneguk minuman seperti itu, langsung terbatuk-batuk setelah meminumnya.

Sepertinya Bintang bukanlah tipe seorang wanita yang terbiasa dengan hidup mewah. Meskipun dari segi penampilannya, Bintang mempunyai selera yang cukup tinggi. Tampak dari penampilan Bintang, dia bisa dikatakan adalah wanita yang tergolong dari kalangan elit.

“Kamu mau lagi?” Tanya Felix pada Bintang sambil tersenyum.

Bintang mengganggukkan kepalanya. Bintang sempat membuat Felix tercengang saat dia meraih tangan Felix untuk meletakkan gelas yang dipegang Felix itu ke arah bibirnya. Dia menarik tangan Felix untuk meneguk pelan isi gelas hingga habis.

Setelah itu, Felix lalu menyandarkan kepalanya pada bantal sofa sambil mengambil napas dalam-dalam. Tindakan yang dilakukan Bintang barusan terkesan sangat polos.

Meskipun Felix sempat melihat ada lekukan gunung kembar Bintang yang berada di balik kemejanya yang ketat itu, sangat menggugah gairah Felix.

Setelah meletakkan gelas di atas meja, lalu Felix meneguk minumannya sendiri. Mengingat keadaan Bintang saat ini, rasanya tidak adil jika Felix menatapnya seperti itu. Meskipun reaksi Felix sejauh ini sebenarnya bisa dikatakan sangat manusiawi.

Felix mengawasi Bintang saat Bintang sedang berbaring di atas bantal sofa dengan kepala yang mendongak ke atas, leher yang melengkung, dan tampak sangat menggairahkan di mata Felix.

Kedua mata Bintang yang masih terpejam serta bibir Bintang yang terlihat indah, hidungnya yang mungil serta wajahnya yang cantik, sangat menggugah gairah Felix. Felix menatap bibir merah Bintang dengan penuh gairah.

Leher Bintang yang jenjang memperlihatkan tulang selangka yang halus. Sementara di pangkal leher Bintang tampak denyut nadinya yang sedikit cepat, namun teratur. Gunung kembar Bintang terlihat jelas di balik kemeja putih yang terkesan lembut, alami dan mengundang selera. Felix sempat melihat pola renda dan tali satin pada bra yang dipakai Bintang.

Lalu dia beralih dan memandang ke arah pinggang Bintang yang tampak ramping bak pinggang gadis-gadis model. Begitu juga dengan paha dan pinggulnya. Dia juga sempat memperhatikan bentuk kaki Bintang yang indah dan mulus yang terbungkus stoking senada dengan warna kulitnya. Tangannya terasa sangat gatal ingin membelai kaki Bintang yang sangat mulus itu.

Bintang mengenakan sepatu pantofel hitam yang terbuat dari bahan kulit sintetis berhiaskan sulaman kupu-kupu dari benang emas.

Sementara mata Felix mengawasi Bintang yang mati tidak sadarkan diri, Felix dengan perlahan-lahan mendorong dan melepaskan sepatunya. Sepatu Bintang jatuh di atas karpet lantai apartemen Felix yang tebal dan tidak menimbulkan suara sedikit pun.

Felix melayangkan pandangannya menelusuri tubuh Bintang dari mulai ujung kaki yang ramping sampai dengan wajah Bintang.

“Aku tadi tidak bisa bernapas.” Ucap Bintang setengah sadar.

Lalu Felix menyentuh rambut dan membelai kepala Bintang. “Kejadian yang kita alami tadi itu memang mengerikan. Tetapi sekarang sudah berakhir.” Ujarnya sambil terus membelai kepala Bintang dengan lembutnya.

“Tadi itu sangat gelap sekali. Dan aku sangat takut.” Kata Bintang dengan suara yang lemah. Kemudian Bintang memejamkan kedua matanya kembali.

Apa yang selanjutnya terjadi pada pada mereka berdua di dalam apartemen? Nantikan jawabannya pada bab selanjutnya...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel