Chapter 4
Adriano Dante Davidde, seorang laki-laki dewasa yang sangat jenius dalam bidang seni.
Sekarang usia nya sudah menginjak tiga puluh dua tahun. Maasih berstatus lajang, dengan selalu terlihat dingin kepada wanita yang berusaha menggoda serta mendekatinya. Bahkan jika dihadapkan pada wanita tanpa sehelai benang pun pada tubuhnya di depan Adriano, tetap saja laki-laki ini tidak bergeming.
Banyak yang mengatakan dengan kesempurnaan yang dimiliki oleh putra tunggal dari pemilik kampus besar dan terbaik di benua Eropa itu, sekaligus merupakan tempat nya berkarir sekarang tidak sesempurna kisah cintanya. Banyak kabar berita menyebutkan Adriano tidak menyukai seorang wanita, ada pula yang mengatakan kalau laki-laki itu kehilangan hasrat seksualnya karena terlalu mencintai buku dan seni. Tapi, mereka salah ada yang sudah ia tunggu sejak delapan tahun yang lalu.
*****
“Uncle, apa Daddy yang menyuruh menjemput Reene ?” Tanya gadis itu, saat sedang duduk tepat di sebelah kursi kemudi.
Adriano menyibak senyum manis di wajah tampannya, sedikit kepala nya melirik ke arah Reene yang menunggu jawaban darinya.
“Iya, Tuan Torrent mengatakan agar uncle untuk membantu Reene di Firenze” Jawab laki-laki yang tampak maskulin dengan potongan rambut undercut dengan tatanan begitu rapi.
Reene menganggukkan kepala, ia tahu kalau sang ayah sangat dekat dengan keluarga Davidde, walaupun sudah sangat lama mereka tidak berjumpa kembali setelah delapan tahun.
Mobil berjenis SUV ini melaju dengan kecepatan sedang melintasi jalanan Roma untuk menuju kota Firenze yang berjarak hampir 280 Kilometer atau setara dengan waktu lebih dari tiga jam perjalanan.
Reene yang masih sangat lelah setelah melakukan penerbangan selama delapan jam perlahan memejamkan kedua matanya, tertidur di dalam mobil dengan kepalanya menyandar pada jok yang terasa begitu nyaman. Jelas saja mobil ini berada dikisaran di atas tiga milyar jika di rupiahkan.
Adriano melirik ke arah Reene yang sudah tertidur, telapak kakinya menekan pedal rem perlahan lalu menepikan mobil ini tepat di pinggir jalan yang dipenuhi dengan ladang gandum di sisi kanan dan kirinya.
Dengan perlahan ia tekan tombol untuk membuat kursi yang sedang Reene tempati semakin rendah, lalu diamblinya selimut putih yang ada pada kursi belakang serta boneka berbentuk ulat bulu itu sebagai bantalan empuk agar Reene lebih nyaman.
Adriano menyibak senyumnya, lalu kembali mengendalikan setir untuk segera tiba di tempat tujuan.
*
Setelah perjalanan lebih dari tiga jam, mobil mewah ini berhenti pada satu gedung tinggi bergaya yunani kuno tampak megah di tengah kota indah ini.
Reene membuka kedua kelopak matanya, kemudian melihat ke sekeliling. Telapak tangan kanannya pun mengusap kelopak matanya dengan lembut, perlahan duduk agar lebih nyaman.
“Ayo keluar” Ucap Adriano, begitu lembut kepada gadis ini.
Reene menganggukkan kepala, ia pun keluar dari dalam mobil. Menatap kembali ke sekeliling, tampak aneh karena ini bukan lah asrama kampus yang akan ditempatinya.
“Uncle, apa ini asrama nya ?” Tanya Reene.
“Bukan ini Apartemen yang akan kamu tempati selama berkuliah” Jawab laki-laki itu, saat sedang mengeluarkan koper merah milik Reene dari dalam bagasi.
Reene mendekati Adriano, karena banyak pertanyaan di dalam otak cerdasnya.
“Tapi di aplikasi kampus, dan Daddy juga sudah menyiapkan kamar asrama untuk Reene” Ucap gadis ini, dengan raut wajah tampak bingung.
“Nanti uncle jelaskan, ayo masuk dulu” Ucap Adriano.
Mereka pun melangkahkan kaki memasuki gedung megah dengan memiliki lima puluh lantai ini.
Reene terus menatap ke sekeliling dengan kedua manik biru hazelnya yang begitu cantik, bukan hanya matanya yang terlihat sangat indah tapi memang gadis ini dianugerahi semua yang membuat wanita di dunia ini iri padanya. Tubuhnya yang tinggi semampai seperti kedua orang tuanya, serta kecerdasan yang menyempurnakannya.
Mereka masuk ke dalam lift, lalu jari telunjuk Adriano menekan tombol lima puluh. Reene tentu saja terkejut, kalau nanti ia akan tinggal di lantai paling tinggi dari gedung ini.
“Uncle, kenapa di lantai yang paling tinggi ?” Tanya Reene.
Gadis ini memiliki ketakutan akan ketinggian, karena itu Cristian dan Claire menempatkan kedua anak mereka di lantai dua rumah mereka bukan di lantai tiga sama seperti mereka.
“Unit di lantai lima puluh memiliki akses pribadi, dan sangat aman” Jawab Adriano.
Reene menganggukkan kepala, telapak tangannya mengepal untuk menyembunyikan ketakutannya. Biasanya sang ayah atau sang ibunda yang akan memeluknya saat mereka berada di lantai cukup tinggi dari satu gedung.
Adriano memperhatikan gerak tangan Reene, lalu ia menjulurkan tangan kanannya.
“Genggam tangan Uncle saja” Ucap Adriano.
Reene segera menggenggam telapak tangan laki-laki ini, dengan semua ketakutan di dalam hatinya.
Lift pun berhenti di lantai tertinggi.
Mereka keluar dari dalam lift, kemudian melangkahkan kaki dengan Reene terus menggenggam telapak tangan Adriano tanpa terlepas sejentik jari pun.
Sedangkan Adriano menarik koper merah ini di tangan kanannya. Mereka pun berhenti tepat di depan pintu dengan kode akses di depannya.
“Mana jemari kamu” Ucap Adriano.
Reene menjulurkan tangan kanannya, Adriano segera memasukkan sidik jari Reene sebagai kata kunci. Lalu pintu pun terbuka.
Mereka masuk ke dalam, dengan Adriano masuk terlebih dahulu. Sedangkan Reene mengikutinya dari belakang, sembari terus memeluk boneka ulat bulu yang entah disadarinya atau tidak sejak tadi terus berada di dalam dekapannya.
Adriano berjongkok, lalu membantu gadis ini membuka sepatu cats nya.
“Uncle biar Reene saja” Ucap gadis ini, merasa tidak enak hati.
“Tidak apa-apa, sekarang ini tugasku” Gumam Adriano, dengan suara terdengar samar itu.
Mereka lalu masuk ke dalam, tujuan pertama adalah ruang tamu yang terdapat perapian.
“Kamu bisa bersantai di sini, ada perapian. Bukannya Reene suka rumah Grand Pa di Belanda ?” Ucap Adriano.
Reene membulatkan matanya, terkejut kalau laki-laki ini bahkan tahu dirinya sangat suka rumah dengan perapian.
“Uncle tahu darimana ?” Tanya Reene.
“Tahu sendiri” Jawab Adriano, lalu mengajak Reene berjalan di lorong menuju ke kamar utama.
Cekrek (Suara kenop pintu berputar)
“Ini kamar tidur yang sudah dirancang sesuai kesukaan Reene “ Ucap Adriano.
Kamar dengan ranjang berukuran king itu tampak begitu megah dengan kelambu bewarna putih di sisi kanan dan kiri tiang itu.
“Ranjangnya besar sekali. Reene hanya sendiri” Gumam gadis ini.
Reene masuk ke dalam kamar, dengan senyum sumringah karena kamar tidur ini hampir sama dengan tampilan pada kamar nya di rumah mewahnya yang ada di New York.
“Reene suka ?” Tanya Adriano.
“Suka, persis seperti kamar di New York” Jawab gadis ini.
“Uncle, Reene mau mandi” Ucap Reene.
Adriano menganggukkan kepala, lalu meninggalkan gadis ini di dalam kamar besar ini sendirian.
*
Malam pertama di kota dengan sejuta pesona keindahan ini. Reene tidak ingin membuka pintu balkon, karena sudah pasti tubuhnya akan gemetaran melihat begitu tinggi gedung ini.
Ia lalu melangkahkan kaki mencari ponselnya.
Reene terus merogo tas ransel yang sejak dari New York selalu dibawa nya.
“Mana ponsel ?” Gumamnya.
Reene pun memutuskan untuk keluar, menemui Adriano untuk meminjam ponsel agar bisa menghubungi keluarganya di New York.
Adriano tampak sedang menyesap wine pada gelas kaca itu di atas sofa hitam yang ada di depan perapian. Sekilas Reene mengingat ketika bertemu laki-laki itu saat usianya masih sangat kecil.
Kakinya melangkah mendekati Adriano.
“Uncle” Ucap Reene.
Adriano menoleh, lalu kedua bola mata biru gelapnya menangkap sosok gadis yang sangat cantik sedang mengenakan gaun tidur berlengan panjang itu.
“Iya ?” Jawab Adriano.
“Reene boleh pinjam ponsel ?” Tanya Reene.
Adriano tersenyum, tapi ia mengangkat gelas berisi wine terlebih dahulu untuk diberikan kepada gadis ini.
“Ini adalah wine kesukaan Uncle, Reene mau coba ?” Tanya Adriano.
Keluarga Torrent sangat menyukai wine, bahkan sang kakek Antoni Smith memiliki gudang penyimpanan begitu besar untuk wine kesayangannya, tentu saja Reene akan menyukai wine.
Kepala Reene mengangguk, lalu mengambil gelas di telapak tangan Adriano. Dengan perlahan ia meneguk minuman fermentasi ini, merasakan sensasi asam serta manis disaat bersamaan.
“Enak ?” Tanya Adriano.
“Enak” Jawab Reene.
Adriano lalu meletakkan gelas wine nya di atas meja untuk mengambil ponsel yang tadi ingin Reene pinjam.
“Uncle ambil ponsel dulu” Ucap Adriano.
Tidak berapa lama Adriano masuk kembali ke ruang tamu.
“Uncle..” Gumam Reene, dengan suara mendesah.
Reene segera beranjak dari atas sofa tempatnya duduk.
“Reene kepanasan” Gumam gadis ini, terlihat begitu gelisah dengan terus mengepak-epakkan gaun tidurnya.
Kedua matanya bahkan ikut terasa panas.
“Uncle, Reene ke kamar saja” Ucapnya, dengan suara seperti tercekat.
Reene pun bergegas masuk ke dalam kamar tidurnya.
*
“Ah, Ah..” Reene terus mendesah saat tubuh bugilnya menggeliat di atas ranjang besar ini.
Pendingin udara pun sudah berada pada titik terendah, tapi ia terus merasa gelisah tidak menentu di atas kasur empuk dengan sprei yang sudah tampak berantakan.
KR-A-K-K-K
Perlahan pintu kamar itu terbuka.
Adriano berdiri di sana dengan tubuh nya yang sudah bugil tampak begitu atletis.
“Uncel, Ah..” Erang Reene yang sedang menggelinjang bak cacing kepanasan.
Tap..Tap..
Langkah tegas laki-laki pemilik tinggi 187 Centimeter ini menggema di ruang yang sudah tampak remang-remang.
“Uncle, Ah..” Desah Reene, dengan wajah yang sudah memerah seperti udang rebus itu.
Adriano menyeringai, tubuhnya pun naik ke atas ranjang. Kemudian menghimpit tubuh telanjang Reene.
“Ada apa Baby..?” Gumam Adriano, sembari memainkan jemarinya di bibir ranum gadis cantik ini.
“Ah, Reene tidak ta-han..” Erang Reene, terus menerus.
“Reene mau apa sayang..?” Tanya laki-laki ini terus menggoda gadis ini.
Sedangkan Reene terus menggigiti jari telunjuk Adriano begitu beringas.
“Reene buka paha nya sayang” Ucap Adriano.
Gadis ini menuruti perintah Adriano
“Uncle boleh melakukannya ?” Tanya Adriano.
“Ah, Reene tidak tahan..” Erang Reene, terus menggelinjang.
“Oke Baby, mulai malam ini kamu seutuhnya hanya milik Uncle ya ?” Ucap Adriano.
Kepala Reene mengangguk, sembari dadanya terus membusung ke atas.