Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 3

Claire baru saja masuk ke dalam kamar tidur Reene, mencoba terlihat tersenyum bahagia. Padahal dirinya sedang menahan kesedihan agar putri sulung nya tidak mengetahui pilu di dalam hatinya.

“Mommy ?” Ucap Reene, baru saja akan memasukkan beberapa helai lagi pakaiannya ke dalam koper merah itu.

Claire mendekati Reene, merentangkan kedua tangannya pada sang anak lalu memeluk tubuh ini dengan lembut. Dengan penuh cinta, telapak tangannya membelai rambut panjang gadis cantik yang begitu mirip dengannya.

“Sudah siap semua nak ?” Tanya Claire, baru saja melonggarkan pelukannya.

“Sudah Mommy, besok tinggal berangkat saja” Jawab Reene, masih memeluk tubuh ramping sang ibunda.

Claire menahan air mata, betapa pilu hatinya saat anak yang selalu berada dalam pengawasannya, begitu dekat dengannya hingga sebesar ini harus ia lepaskan demi menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi untuk meraih cita-cita.

“Apa Mommy ikut saja, biar Mommy tinggal sama kamu beberapa bulan di Firenze ?” Ucap Claire, sungguh tidak bisa meninggalkan separuh jiwanya ini.

Reene melonggarkan pelukan sang ibunda, lalu menatap wajah cantik nya sembari mengulum senyum.

“Mommy yakin, bukannya Daddy akan menangis kalau tidak ada belahan jiwanya ?” Goda Reene.

Gadis ini sangat tahu sebesar apa cinta kedua orang tuanya, terkadang ia pun merasa iri saat berada diantara Ibu dan ayah nya yang selalu terlihat begitu romantis.

Claire menunjukkan wajah sendu, kedua bola mata dengan manik biru hazel nya sudah berkaca-kaca.

“Mommy, bukankah nanti Mommy, Daddy, dan Amore bisa berkunjung ke Firenze saat libur musim panas ?” Gumam Reene, mencoba menenangkan sang ibunda yang memang sejak dirinya kecil begitu dekat dengannya.

“Sini bayi Mommy” Gumam Claire, lalu memeluk dengan erat gadis yang sudah sama tingginya dengan dirinya.

“Putri sulung Mommy selalu berpikiran dewasa..” Gumam Claire.

“Belajar dari mana nak ?” Tanya Claire.

“Belajar dari Mommy dan Daddy” Jawabnya, diiringi senyum hangat.

Kring..Kring..

Telepon kabel di kamar ini berdering.

Reene melepaskan pelukan mereka, untuk segera mengangkat gagang telepon putih itu.

“Iya ada apa ?” Jawab Reene, pada panggilan suara itu.

Bola matanya membulat saat kedua orang yang paling ia tunggu sudah hadir di rumah mewah mereka.

“Baiklah “ Jawab Reene, begitu anggun.

“Mommy Grand Pa dan Grand Ma sudah datang “ Ucapnya, begitu antusias.

Claire menanggapi dengan senyum di bibir ranumnya, lalu menggenggam telapak tangan gadis kesayanganya untuk segera ke lantai satu dimana keluarga mereka akan makan malam bersama untuk melepaskan kepergian Reene.

*

Reene melangkahkan kedua kakinya dengan terburu-buru, sudah tidak sabar menemui kakek dan nenek nya yang sering bolak balik Belanda-New York.

“Grand Pa, Grand Ma ?!” Celetuknya, begitu gembira.

Rose dan Antoni yang sudah semakin menua tersenyum lebar menyambut cucu sulung mereka.

Kedua tangan Antoni merentang, lalu memeluk tubuh gadis ini dengan erat kemudian ia angkat sedikit seperti yang selalu ia lakukan saat Reene masih kecil.

Rose pun begitu tampak bahagia menyambut Reene dengan senyum cantiknya, walaupun kini usianya berada di akhir enam puluh tahun.

“Grand Ma, semakin cantik saja ?” Gumam Reene.

Gadis ini memang sangat ramah kepada orang-orang terdekatnya, tapi tampak begitu dingin terhadap orang asing yang mencoba mendekatinya. Karena itu, Reene terkenal sebagai murid yang begitu tertutup terhadap teman-temannya, menjaga pergaulannya agar tidak seperti remaja seusianya yang cenderung dalam pergaulan bebas.

“Reene ajak Grand Pa dan Grand Ma duduk dulu” Ucap Claire.

Mereka pun duduk di kursi dengan makanan yang sudah tersaji di atas meja dari berbagai negara, seperti makanan khas Amerika maupun dari beberapa negara yang memang menjadi menu andalan keluarga konglomerat ini.

Tidak berapa lama Amore bersama sang Ayah memasuki ruang makan, tampak gadis berusia tujuh belas tahun itu terus tertunduk lesu.

Sikapnya tadi terhadap sang kakak sudah ia renungkan begitu dalam, hingga membutuhkan nasehat dari sang ayah yang tadi sempat mendengar pertengkaran mereka.

Reene membuang muka, dirinya masih sangat marah dengan Amore. Baginya menjaga sang adik adalah tugas utama sebagai kakak satu-satunya bagi Amore, tapi gadis itu sudah membantah ucapannya dengan begitu kasar.

“Kenapa sayang ?” Tanya Claire, saat melihat Amore sudah tampak dengan kedua bola matanya yang berkaca-kaca.

Cristian membelai rambut anak bungsu mereka, lalu membisikkan sesuatu di daun telinganya.

“Bukannya Amore sangat sayang dengan Reene ?” Gumam Cristian.

Mata biru Amore menatap sang ayah, lalu menatap sang ibu yang sedang menunggu jawaban atas pertanyaannya. Sedangkan Kakek dan nenek mereka yang sedang duduk pun tampak kebingungan dengan situasi ini, biasanya Amore akan selalu menempel dengan Reene.

“Baby, ada Apa ?” Tanya Claire sekali lagi, sembari mengusap rambut panjang gadis cantik ini.

“Amore sudah salah sama Reene, Mommy” Ucap Amore.

Claire membulatkan matanya, lalu menatap Reene yang tiba-tiba bersikap dingin saat Amore memasuki ruang makan.

“Reene, sini ?” Panggil Cristian.

Reene pun beranjak dari duduknya, lalu duduk di atas pangkuan sang Ayah.

“Amore juga sini ?” Ucap Cristian.

Amore pun duduk di atas pangkuan ayah mereka.

“Coba minta maaf dengan Reene, Amore bukannya sudah melakukan sesuatu yang salah ?” Ucap Cristian.

Amore menganggukkan kepala, memberanikan diri untuk meminta maaf kepada sang kakak.

“Reene, Amore minta maaf” Ucap gadis ini, sembari menyodorkan tangan kanannya.

Reene tidak pernah marah sebelumnya dengan sang adik, tapi memang sikap Amore tadi membuatnya naik pitam.

“It’s okay, tapi ingat apa yang sudah kakak katakan tadi “ Jawab Reene, tegas mengingatkan sang adik.

Semua di ruangan ini tersenyum, suasana menjadi cair kembali tidak membeku seperti tadi.

Tidak berapa lama Sebastian dan Emiley, serta anak satu-satu mereka Moses baru saja tiba.

“Hei, Reene. Amore ?!” Sapa Moses, yang memang sangat ramah persis seperti sang Ayah.

“Hei, ayo makan di sini ada makanan khas Prancis” Jawab Amore.

Moses pun bersama kedua orang tuanya duduk, kemudian berbincang sebagai kerabat yang memang sudah dianggap keluarga oleh keluarga Torrent.

*

*

Mobil mewah berjenis sedan, keluaran eropa dengan merk yang terkenal sebagai jenis termahal di dunia ini memasuki area Bandara John. F Kennedy, New York. Beserta dua mobil berjenis Van di belakang yang memang terdapat beberapa pengawal pribadi keluarga Torrent yang setia.

Claire terus menggenggam tangan Reene, memeluknya dalam dekapan. Sedangkan Cristian bersama anak bungsu mereka juga tengah mencoba tidak bersedih.

Mereka pun keluar dari dalam mobil setelah pintu di buka oleh sopir, dengan Claire menggandeng tangan Reene serta Cristian menggandeng tangan Amore. Mereka melangkahkan kaki untuk segera masuk ke ruang tunggu sebelum pesawat akan lepas landas dalam tiga puluh menit lagi.

“Semua lengkap ? tidak ada yang tinggalkan ?” Tanya Cristian, pada sang anak sulung.

Sejak beberapa waktu lalu, Cristian masih tampak tenang. Tapi berbeda di saat terdengar dari pengeras suara itu memberi informasi kalau pesawat menuju ke Roma, Italia akan segera lepas landas.

Cristian terus menggenggam tangan anak sulungnya ini, mendekapnya dalam pelukan dengan begitu erat. Sejak Reene dalam kandungan hingga sampai sebesar ini, gadis ini tidak pernah ia biarkan lepas dari pemantauannya dan penjagaannya dengan begitu posesif.

“Daddy, Reene harus segera masuk ke dalam pesawat” Gumam Reene, saat pelukan sang ayah semakin erat.

Amore tiba-tiba saja menangis, suaranya bahkan terdengar cukup nyaring. Dipeluk nya tubuh kakak satu-satu nya ini.

Reene pun kebingungan dengan ayah dan adiknya yang tadi tampak lebih tenang dari sang ibu, sekarang tampak begitu sedih.

Claire menghela nafas panjang, dengan menyimpulkan senyum tipisnya.

“Cris, Reene harus pergi” Ucap Claire di daun telinga suaminya.

Cristian melonggarkan pelukannya, tapi tidak dengan Amore yang memang sudah seperti saudara kembar bagi Reene.

“Mommy, Daddy. Amore mau ikut saja ke Italia” Rengeknya.

“Amore, kamu masih harus sekolah, nanti saat libur musim panas kita mengunjungi Kakak kamu ya ?” Bujuk Claire.

Reene pun melonggarkan pelukan adiknya, lalu menatap manik biru yang begitu cantik itu.

“Cepat lulus, tahun depan kamu harus ke Italia” Ucap Reene.

Amore tertegun, ia tidak pernah berniat ke Italia untuk sekolah, cita-citanya ingin menjadi artis Teater jadi akan ke London atau hanya di New York yang memiliki Richard Rodger, merupakan salah satu teater terbaik di dunia.

“Ya sudah Kakak harus pergi” Ucap Reene, kemudian memeluk Amore. Lalu memeluk kedua orang tuanya.

Bibirnya menyimpulkan senyum begitu cantik, tampak begitu bahagia untuk menapaki langkah pertamanya yang akan meraih impiannya untuk menjadi seorang seniman lukis terbaik di dunia.

Claire menangis di dalam pelukan Cristian, hatinya rapuh saat Reene memasuki gerbang keberangkatan itu.

***

Di dalam kamar utama, rumah besar nan mewah milik Cristian Torrent dan juga Claire Smith Torrent, Pukul 21.00.

Claire terus memandangi langit malam di balkon dengan ukuran cukup luas ini, pandangan kedua manik biru hazelnya tidak lepas pada bintang-bintang yang bertaburan di langit gelap itu.

Cristian mendekatinya, lalu melingkarkan kedua tangannya pada pinggang ramping sang istri. Bibirnya dengan lembut memberikan kecupan pada tengkuk leher mulus Claire.

“Cris, Reene baru pertama tanpa kita” Gumam Claire.

“Tenang saja sayang, bukankah Reene begitu mandiri. Putri pertama kita itu adalah gadis yang begitu cerdas” Jawab Cristian.

Tapi masih saja di dalam hati nya, Claire merasa begitu khawatir ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, karena hanya batin seorang ibu yang memahaminya.

“Sekarang tidur ya ?” Gumam Cristian, dengan jemari tangannya sudah nakal dengan meremas kedua payudara sang istri.

“Baby..” Gumam Claire, begitu manja.

“Ruang merah ?” Bisik Cristian, pada Claire.

Claire mengulum senyumnya, lalu kepalanya mengangguk setuju.

***

Reene baru saja keluar dari dalam Bandara, tengah menunggu sopir yang sudah ditugaskan oleh sang ayah untuk menjemput dan mengantarkannya ke asrama kampus.

Hari sudah pagi saat ini, tepat pukul setengah tujuh saat ia melihat arloji di pergelangan tangan kirinya.

“Pasti Daddy dan Mommy masih tidur” Gumamnya, saat ingin menghubungi kedua orang tuanya itu.

Karena perbedaan waktu antara New York dan Italia adalah enam jam, maka New Yok masih tengah malam sekarang.

Di saat ia sedang berdiri di depan pintu keluar, terdengar suara pantofel yang mencuri pendengarannya.

Tap..Tap…Tap..

Lalu suara itu terhenti.

Reene mendongakkan kepala, kemudian kedua matanya menangkap keberadaan sosok tinggi dengan wajah yang begitu tampan dihadapannya.

Laki-laki itu memiliki garis rahang tidak terlalu tajam tapi sungguh terukir begitu indah, bibir nya tidak terlalu tebal tapi tampak begitu menggoda, hidungnya begitu mancung dan ramping tampak seperti para pesohor yang ada di Hollywood. Lalu, Reene tidak bisa melihat kedua mata laki-laki ini karena tertutupi oleh kaca mata hitam itu.

Perlahan tangan laki-laki ini melepaskan kaca matanya, hingga kedua netra Reene menangkap bola mata dengan biru gelap itu.

“Uncle Adriano ?” Celetuknya.

Laki-laki yang masih berusia tiga puluh dua tahun ini, Reene panggil dengan sebutan paman muda, sudah menjadi kebiasaan baginya mengingat perbedaan usia mereka adalah empat belas tahun.

Adriano Dante Davidde seorang Professor termuda di kampus terbaik yang ada di benua Eropa, tengah menyimpulkan senyum pada bibirnya, menatap Reene yang tampak semakin cantik sejak pertemuan pertama mereka delapan tahun lalu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel