Bab 7 Sepenggal Hidup Moza
Bab 7 Sepenggal Hidup Moza
Andrew menatap rumah Moza dengan sedikit prihatin, ia menatap gadis yang tengah membuka pintu. “Boleh aku masuk?” tanyanya. Moza menoleh dan mengangguk.
"Silahkan. Aku tidak melarang, tapi di dalam tidak ada siapa-siapa," jawab Moza.
"Kamu takut aku perkosa?" tanya Andrew jahil.
"Bukan begitu maksudku, apa kamu tidak risih di dalam rumah sempit ini? Tapi baiklah, ayo masuklah kamu mau minum apa?" tanya Moza.
"Air mineral saja kalau boleh."
Moza mengangguk lalu berjalan ke arah dapur mengambil air minum untuk Andrew. Dia kemudian kembali ke ruang tamu untuk membawakan Andrew minuman yang dia inginkan.
"Ini, minumlah."
Andrew meminum minumannya hingga tuntas. "Kamu tinggal sama siapa?" tanya Andrew seraya memandangi isi rumah Moza yang sederhana namun sangat bersih dan terawat. Membuat orang betah di dalam ruangan tamu di rumah itu.
"Aku bersama Bapak."
"Ibumu?" tanya Andrew.
"Sudah meninggal beberapa tahun lalu,” sedikit nada sedih terselip dalam jawaban Moza
"Oh maaf, aku tidak bermaksud membuatmu sedih," Andrew yang merasa tidak enak karena sudah bertanya tentang hal yang menyedihkan begitu menatap Moza. Tapi gadis itu tersenyum seraya menggelengkan kepala ringan.
"Tidak, aku sudah tidak sedih lagi kok," jawab Moza.
"Lalu ayahmu sekarang di mana, apa sedang bekerja?" tanya Andrew lagi. Moza lagi-lagi menggeleng.
"Bapak sakit, beliau masih dirawat di rumah sakit."
"Bapakmu dirawat di rumah sakit, sudah lama?" tanya Andrew serius.
"Sudah hampir satu bulan ini, dia masih belum sadar," tiba-tiba Moza menangis mengingat beban hidup yang harus dia tanggung sendiri. Moza terisak sedih hingga tanpa sadar Andrew kemudian membawa Moza ke dalam pelukannya. Dia merasa iba dengan teman wanitanya ini.
Diperlakukan seperti itu membuat Moza bertambah pilu, dia semakin terisak seraya membenamkan wajahnya di pelukan Andrew. Moza bahkan menjadi merasa nyaman saat dia bisa mencurahkan hatinya pada seseorang. Selama ini dia selalu membawa kesedihannya seorang diri.
Selama ini Moza hanya percaya dengan Sofi, tapi pada Sofi pun tidak semua masalah yang dia hadapi diceritakannya. Dan Moza sadar, dia merasa nyaman pada pria ini. Pada seorang Andrew yang beberapa waktu ini sempat mengganggu pikirannya. Kemudian Moza tersadar dengan kenyataan antara dia dan Andrew, dia lalu segera melepaskan dirinya dari pelukan Andrew.
“Maaf," ucap Moza sedikit gagap. Andrew tersenyum lembut.
"Tidak.apa-apa, santai saja, Za. Aku mungkin bukan pria baik-baik menurutmu. Tetapi aku mengerti perasaan yang kamu rasakan saat ini. Tidak mudah menjalani hidup sendiri seperti ini, tapi kamu mampu. Dan aku salut," ucapan itu tulus keluar dari hati Andrew. Ia sekarang mengerti mengapa Moza bekerja sebagai kupu-kupu malam.
"Tidak usah memuji, ini bukan sesuatu yang perlu dipuji. Aku sudah terbiasa kok dengan hal ini," ujar Moza.
"Oke, kalau begitu aku pulang. Apa kamu ingin aku temani?" tanya Andrew menaik-turunkan alisnya.
"Tidak perlu, terima kasih," jawab Moza.
Andrew menatap mata Moza kemudian tiba-tiba menarik tengkuk gadis itu lalu menyapu bibir Moza dengan lembut. Menciumnya dengan penuh penghayatan. Meyusuri bahkan masuk dengan bebas saat tanpa sadar Moza menerima perlakuan Andrew dan membalasnya. Kedua tangan Moza bahkan tanpa sadar sudah melingkar di leher Andrew.
Dan aktivitas intim yang mereka lakukan sempat terjadi beberapa saat sampai keduanya merasa kehabisan oksigen yang mereka hirup. Dahi mereka saling menempel satu sama lain dengan nafas yang masih tersengal-sengal.
"Besok aku tunggu kamu di Hotel Pariz," bisik Andrew. Dia membelai kepala Moza dengan lembut.
"Besok?" tanya Moza gugup.
"Iya, kenapa? Kamu keberatan?"
"Bukan begitu, tetapi aku setiap malam bekerja. Kamu sendiri sudah mengetahuinya bukan?"
"Besok kita tidak sekolah, kita bisa melakukannya siang atau bahkan pagi hari."
"Jadwal besok pagi aku harus ke rumah sakit."
"Kalau begitu besok aku ke sini menjemputmu, lalu aku mengantarmu ke rumah sakit. Setelah itu kita ke hotel bersama-sama. Dan aku tidak ingin dengar penolakan!" ucap Andrew penuh penekanan.
“Baiklah, Ndrew. Terserah kamu saja. Aku sudah menyetujui keinginanmu. Berarti untuk mewujudkan itu pun lebih baik aku mengikuti saja bagaimana yang menurutmu baik,” jawab Moza pasrah.
"Gadis pintar, aku suka dengan wanita penurut sepertimu."
"Bukannya aku memang harus melakukannya? Aku tidak punya pilihan lain, Andrew," ucap Moza seraya menatap Andrew.
Andrew tersenyum tipis, "Aku tidak ingin kamu tolak, karena aku menginginkannya," bisik Andrew.
"Iya, aku mengerti. Dan aku harus menuruti semua yang kamu mau bukan?"
"Tentu saja, karena kamu tahu akibatnya jika kamu tidak melakukannya."
"Karena itu juga yang membuatku menerima semua perlakuanmu padaku."
"Tapi kamu menikmatinya Sayang," bisik Andrew tersenyum sinis.
Moza terdiam dengan perkataan Andrew barusan, dia membenarkan apa yang dikatakan Andrew padanya. Entah mengapa tubuhnya bereaksi menerima semua perlakuan Andrew padanya. Ciuman yang baru saja mereka lewatkan, Moza bahkan menikmati dan membalasnya.
Apa mungkin itu adalah reaksi dirinya karena sejak lama menyukai Andrew. Entahlah, Moza sendiri bingung dengan perasaannya pada Andrew, dia bahkan tidak bisa membenci laki-laki itu.
"Pergilah Andrew, bukannya kamu tadi ingin pulang?"
"Kamu takut ya?"
"Iya, jujur aku takut."
"Apa yang kamu takutkan Sayang? Aku tidak akan memintamu melayaniku saat ini kok. Kita akan bermain cinta besok. Hari ini kita pemanasan saja Baby. Dan aku suka dengan pemanasan yang kita lakukan barusan. Kamu sangat lihai membuat laki-laki puas, hmm," bisik Andrew lagi.
"Jangan mengejekku, aku melakukannya bukan karena pekerjaanku."
"Lalu apa? Karena kamu menyukaiku? Ayolah jujur padaku. Apa kamu menyukaiku?" tanya Andrew seraya tersenyum.
"Anda percaya diri sekali, Bung," kata Moza seraya tersenyum tipis.
"Aku tahu Baby, kamu menyukaiku. Tidak perlu mengatakannya, karena aku mengerti apa yang kamu rasakan," ujar Andrew sangat percaya diri.
"Semakin lama semakin kacau saja cara bicaramu," tukas Moza.
Andrew terkekeh, dari obroloannya dengan Moza ia mengerti, ternyata walau Moza terkenal sebagai gadis pendiam, namun saat mereka mengobrol gadis itu sangat asyik diajak berdebat dan bercanda. "Kamu ternyata teman yang asyik buat diajak berdebat," kekehnya.
"Jadi kamu ingin berteman denganku?" tanya Moza sedikit berharap.
"Apa boleh?"
"Sepertinya tidak buruk."
Andrew kembali terkekeh saat melihat wajah Moza yang menurutnya semakin menggemaskan. Nuno benar, jika diperhatikan Moza ternyata wanita yang cantik dan menarik. Bahkan jika saja penampilannya sekelas Bella, kemungkinan Moza jauh lebih cantik dan menarik dibanding Bella.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Moza heran.
"Kamu cantik, Sayang."
"Apa karena aku menerimamu menjadi teman?" Lagi-lagi Andrew tertawa geli mendengar jawaban dari Moza.
"Hei, jarang-jarang aku memuji seorang gadis," elak Andrew.
"Pengecualian untuk Bella," ujar Moza.
"Jangan sebut-sebut dia. Nanti moodku berubah," sergah Andre sedikit kasar.
"Baiklah, teman. Aku tidak perduli dengan urusan kalian," ucap Moza.
"Teman tapi mesra," bisik Andrew membuat wajah Moza berubah merah karena malu dan hal itu disadari oleh Andrew. Andrew terkesiap sejenak, sepertinya gadis itu benar-benar menyukainya. Dan Andrew merasa ini sebuah keberuntungan untuknya.
"Kamu tahu Za, baru sekali ini kita dekat, namun aku merasa nyaman bersamamu, apa ini artinya kita cocok menjadi teman yang baik?"
"Bukan kah kita memang sudah berteman?"
"Entahlah. Aku hanya merasa senang bisa di sini mengobrol dan bercanda denganmu."
"Kamu hanya menghiburku saja, tapi aku berterima kasih."
"Untuk apa?"
"Untuk waktumu menemaniku dengan baik dan tidak membuatku menjadi gadis yang terlihat buruk di matamu."
"Hei, kita sudah berteman, Nona."
“Teman tapi mesra,” ejek Moza.
Andrew kembali terkekeh, dia mencubit hidung Moza gemas. "Mulai sekarang aku menjadi temanmu dalam segala hal," bisik Andrew seraya mengecup pipi Moza.
Dada Moza berdebar tidak karuan. Dia benci karena tubuhnya selalu bereaksi tidak normal ketika bersentuhan dengan Andrew. "Semoga kamu bisa menjadi teman yang baik buatku," jawab Moza penuh harapan.
Walau di dalam hatinya, hal ini hanya sebuah harapan dari Moza seorang, tidak dari Andrew. Dan dia tidak ingin terlalu berharap lebih untuk sebuah hubungan pertemanan yang menurutnya aneh.
****