Bab 3 Membuat Terkejut
Bab 3 Membuat Terkejut
Hanya itu saja percakapan yang sempat didengar Moza, itu pun karena suara mereka agak kencang, mungkin karena mengimbangi suara kendaraan di parkiran sekolah. Dan mereka tidak menyadari saat Moza lewat di belakang mereka.
Moza mencari angkutan umum jurusan rumah sakit tempat Ayahnya terbaring, namun sudah setengah jam kemudian hasilnya tetap saja dia harus menunggu. Hari ini entah mengapa angkutan umum jurusan yang dia inginkan tidak terlihat satupun. Kalaupun ada supirnya tidak menerima tumpangan akibat penumpang sudah extra full alias penuh.
Tiba-tiba mobil merah metalik berhenti di hadapannya. Moza sudah hafal siapa pemiliknya, pemuda yang tidak pernah bosan untuk mengantarnya pulang. Menurunkan kaca depan, Zico menatapnya.
“Za, tidak akan ada angkot melalui jalan ini. Ayolah, kamu ikut aku saja, aku tidak menggigit, sumpah!" ucapnya dengan kaca mobil yang telah full terbuka agar lebih leluasa berbicara pada Moza.
“Terimakasih, aku naik angkot saja,” tolak Moza halus.
Zico yang tidak sabar, turun dari mobil lalu membukakan Moza pintu mobil di sebelah kemudi dan mempersilahkan Moza masuk. Gerakannya sedikit memaksa. Tidak peduli dengan penolakan Moza. Akhirnya kali ini Moza tidak bisa menolak, apalagi dia harus cepat-cepat ke rumah sakit untuk menemui ayahnya.
Saat dia baru akan naik ke mobil Zico, Andrew lewat dengan mengendarai motor besar miliknya. Memandang sinis ke arah Moza seraya tersenyum mengejek. Zico melajukan mobilnya, melirik Moza yang melepaskan pandangannya ke luar jalan lewat kaca spion mobil.
“Kamu akan kemana Za? Pulang atau?”
“Ke Rumah Sakit Umum Patriot,” jawab Moza singkat, Zico menatapnya dengan sedikit heran.
“Siap Non,” jawab Zico ala driver taksi online membuat Moza tersenyum tipis.
“Siapa yang sakit, Za?”
“Bapak.”
“Bapak kandung?”
“Iya.”
“Kalau boleh tahu, Bapak sakit apa?” tanya Zico hati-hati. Moza menoleh padanya sebentar.
“Awalnya dokter bilang hanya stroke, tapi saat ini beliau koma.”
“Aku turut prihatin, Za,” ada keinginan besar dalam diri Zico untuk membelai rambut Moza, tapi ia menahan diri.
“Terima kasih, Zico.”
Kediaman memagut mereka hingga mereka sampai ke rumah sakit. “Terimakasih Zico, maaf jadi merepotkanmu,” Moza bersiap turun dari mobil. Zico menatapnya tersenyum.
“Sama sekali tidak merepotkan. Rumahku melewati rumah sakit ini, ini suatu kebetulan. Bukan sesuatu yang membuatku repot,” jawab Zico masih dengan senyumnya. Moza menarik sedikit sudut bibirnya, mencoba tersenyum sebelum kemudian turun.
“Baiklah Zico, sekali lagi terima kasih.”
“Aku temenin ya?” tawar Zico penuh harap.
“Tidak perlu Zico, lebih baik kamu pulang. Terima kasih ya.” Tanpa menunggu jawaban Zico, Moza masuk ke rumah sakit dengan langkah cepat. Zico menatap kepergian Moza dengan menghela nafas, hingga bayangan wanita itu tidak lagi terlihat.
“Mengapa begitu sulit untuk bisa dekat denganmu, Za. Kamu wanita misterius bagiku. Aku menyukaimu walau aku tahu kamu belum menyukaiku. Biarkan saja seperti ini, waktu yang akan menjawab semuanya,” gumam Zico dalam hati.
Moza berjalan ke arah kamar perawatan Bapak, menatap sang ayah yang masih belum sadar. Tubuh laki-laki paruh baya itu terlihat bertambah kurus, pipinya begitu tirus. Moza sangat sedih melihat keadaan bapaknya saat ini.
Belum lagi desakan rumah sakit untuk membayar biaya perawatan Bapak yang terbilang sangat tinggi untuk ukuran Moza. Sungguh Moza sangat merasakan kemalangan menimpanya. Tapi disatu sisi Moza ingin ayahnya bisa kembali sembuh dan pulih seperti dulu. Namun di sisi lain dia harus tetap bekerja dan mencari uang untuk membiayai perawatan Bapak agar keinginan membuat Bapak sembuh bisa tercapai.
Hanya Bapak saja miliknya saat ini. Moza merupakan anak piatu yang harus bisa bertahan hidup sendirian. Ia harus membiayai dirinya sendiri dan terutama biaya rumah sakit dan biaya sekolahnya. Semua itu yang membuat Moza nekad bekerja sebagai kupu-kupu malam di Fly Club. Sebuah pekerjaan yang ambil dengan perasaan sangat berat.
“Bapak, cepatlah sadar, biar kita bisa berkumpul bersama lagi, Pak. Moza tidak sanggup hidup sendiri seperti ini Pak,” gumam Moza pelan seraya meneteskan air matanya.
Dia merasa terhempas di titik yang paling dasar. Tidak tahu akan mengadu kemana pada siapa dan apa yang akan dia lakukan selanjutnya untuk bertahan hidup. Dari hati kecilnya, Moza mengutuk pekerjaan yang dia lakukan saat ini. Bahkan terkadang merasa jijik pada dirinya sendiri. Namun hanya itu saja pekerjaan yang bisa dia lakukan untuk mendapatkan uang demi membiayai Bapak.
Ada saat Moza meratapi dirinya, disaat-saat dia sendiri seperti sekarang. Sendirian dan merasa sepi, tapi Moza tetap menjaga dan merawat ayahnya dengan secercah harapan pria yang membesarkannya itu akan terbangun dan sehat kembali.
Moza keluar dari rumah sakit, jadwal kerjanya di club sudah dekat. Biasanya jam delapan malam dia sudah harus standby di sana. Setiap malam dia harus kembali menjadi kupu-kupu malam demi Bapak dan biaya hidupnya. Miris sekali perjalanan hidup yang harus dia lalui.
Sejujurnya, Moza membenci dirinya sendiri yang harus melakukan dan melayani nafsu laki-laki dengan karakter berbeda. Belum lagi kalau mendapat klien laki-laki yang kasar. Terkadang dia harus menerima siksaan untuk memuaskan nafsu bejat laki-laki yang memiliki kelainan dalam memenuhi nafsunya.
Moza hanya berharap dan berdoa semoga apa yang dia lakukan saat ini tidak berlangsung lama. Dia ingin Tuhan menolong dan mengeluarkannya dari semua masalah dan penderitaan yang dia hadapi.
“Hai gadis bertopeng, aku dari tadi menunggumu. Kutunggu di kamar ya Cantik. Tanyakan pada manajermu aku di kamar mana, oke." Laki-laki tampan yang kemarin malam sempat mengganggunya ternyata datang lagi. Moza memperkirakan laki-laki itu berumur sekitar 27 sampai 30 tahun. Ah, entahlah. Moza tidak mau peduli soal itu, yang pasti jika benar laki-laki itu minta dilayani, mau tidak mau dia tetap harus melayaninya.
Moza menghadap manajernya sejurus kemudian. Dan menuju kamar untuk melayani laki-laki yang memesannya tadi. Di dalam kamar laki-laki itu tersenyum penuh nafsu. Seakan dia sudah tidak sabar untuk melahap dirinya.
“Kemarilah, Cantik,” ia memanggil Moza dengan lambaian tangan, bibirnya menyungging senyum yang membuat Moza merasa tidak nyaman. “Aku menepati janjiku bukan? Jangan takut Mawar. Kenalkan aku Doni. Kebetulan perusahaan tempatku bekerja dekat dengan Club ini. Tidak keberatan bukan kita berkenalan dulu?”
“Iya Om, tidak masalah,” jawab Moza setelah duduk di sisi pria itu.
“Ayolah, jangan panggil aku Om, usiaku belum setua itu,” ujarnya sedikit tertawa. “Aku baru berumur 28 tahun dan belum menikah juga. Jadi masih pantas kamu panggil Kakak atau Mas. Kalau kamu memanggilku Om, rasanya aku sudah terlalu tua,” kekeh Doni.
Moza tersenyum lalu mengangguk, “Iya Mas Doni,” jawabnya dengan suara sensual.
“Aah, panggilan yang sungguh menenangkan, mendengarnya juga terasa adem.” Moza hanya tersenyum kecil menanggapi semua kata-kata Doni.
“Langsung aja ya Mas, kita hanya punya waktu tiga jam saja bukan?” ujar Moza. Ia ingin segera menyelesaikan sesi ini.
Perlahan Moza membuka kemeja si laki-laki dengan lembut. Meloloskan semua pakaian yang dia kenakan dan hanya menyisakan boxer di tubuhnya. Begitu juga dengan Moza, dia ikut meloloskan semua pakaian yang ada di tubuhnya kecuali bra dan kain berbentuk segitiga yang senada berwarna hitam.
Moza mulai menyentuh tubuh Doni dengan lembut. Tangannya sedikit bergetar namun dia berusaha untuk terlihat profesional. Wajahnya yang tertutup topeng membuat daya tarik tersendiri bagi Doni. Laki-laki itu menjadi terbakar dengan hasrat menggebu. Sentuhan Moza yang lembut membuat dirinya terbakar gelombang nafsu.
Ada rasa ingin segera menerkam wanita di depannya ini hingga berteriak dengan segala desahnya. Namun Doni enggan melakukannya dengan tergesa-gesa. Sentuhan demi sentuhan Moza yang lembut membuatnya terbuai. Dan Doni menikmati pelayanan Moza dengan gayanya sendiri.
Karakter dan kepribadian Moza yang lembut membuat kliennya mabuk kepayang. Orang bisa mudah jatuh cinta padanya. Doni menatap matanya yang mengerjap indah di balik topeng. Menjangkau wajah tertutup Moza dengan jari-jarinya.
“Mawar, boleh tidak aku jadi pelanggan tetapmu mulai sekarang,” ia bertanya di antara lautan gairah yang mengombang ambing kewarasannya.
“Terserah Mas Doni saja. Aku tergantung perintah Papi Manajer,” jawab Moza sambil tetap melakukan tugasnya. Doni menariknya semakin dekat.
Dengan senyuman, ia melahap dua bukit yang terpampang indah di depannya. Menjadikannya santapan terlezat malam ini, membasahi kedua bukit itu dengan benda lunak tak bertulang miliknya. Yang bergerak liar bak ular yang mencari mangsa di hutan lindung yang dirawat penuh cinta.
Mereka sama-sama memberi dan menerima permainan yang menghabiskan peluh dan lenguhan panjang. Saling bergerak dari yang awalnya lembut dan semakin lama semakin cepat ritmenya hingga mereka kembali harus berteriak hebat akibat rasa yang nikmatnya membawa mereka ke puncak kenikmatan dunia.
“Honey, aku suka dengan hidangan yang kau berikan padaku. Ini lezat dan mengenyangkan. Aku puas,” ucap Doni mengibaratkan hidangan lezat pelayanan Moza padanya.
“Aku senang jika Mas Doni suka,” desah Moza. “Aku hanya berusaha melayani dengan baik.”
“Besok aku akan datang lagi, kau jangan terima orang lain dulu jika aku datang,” pinta Doni.
“Kalau mau sistem booking, Mas bisa mengatakan pada Papi Manajer sekarang, biar dia tidak menyuruhku melayani yang lain, Mas.”
“Oke Sayangku,” jawab Doni seraya tersenyum.
***