Bab 2 Sakit Ayah
Bab 2 Sakit Ayah
Moza akhirnya ikut mengenakan kembali pakaiannya, tidak menyadari saat baru mengenakan pakaian dalam bagian bawah Andrew mengambil fotonya menggunakan ponsel. Dengan senyum devil dan tanpa sepatah kata pun, Andrew meninggalkan Moza sendiri di kamar itu.
Terisak, Moza menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Habislah sudah ia sekarang. Andrew tahu pekerjaan yang mati-matian disembunyikan Moza. Bagaimana jika Andrew membuka aib ini pada teman-teman sekolahnya. Moza tidak bisa membayangkan nasibnya saat itu benar-benar terjadi. Sungguh hari ini adalah hari yang terburuk untuk Moza, membuat tubuhnya terasa lemas.
Dengan langkah gontai Moza memasuki halaman sekolah. Entah mengapa dia tidak bersemangat hari ini. Mungkin karena kejadian semalam di Fly Club. Menyadari kecerobohannya, Moza pasrah, ia hanya berharap Andrew tidak membuka aibnya di sekolah.
Moza dikenal sebagai gadis pemalu dan pendiam di sekolah. Dia hanya memiliki satu teman dekat sekaligus sahabatnya yaitu Sofi teman sebangkunya. Sofi merasa heran saat melihat Moza yang seperti tidak berdaya.
“Kamu kenapa Za?” ia bertanya setelah lelah melihat Moza yang berkali-kali menghempas nafas.
“Tidak apa Sof, aku hanya lelah. Aku juga bingung dengan biaya rumah sakit Bapak, tambah hari biaya perawatan Bapak tambah besar, belum lagi jika aku harus menebus obat tambahan lain. Aku bingung di mana aku harus mencari uang tambahan,” jawab Moza. Sofi menepuk lembut punggungnya.
“Sabar Za, kamu harus bisa kuat menghadapi semua masalah yang menimpamu. Aku yakin kamu mampu.”
“Terima kasih Sof, hanya kamu teman sekaligus sahabatku satu-satunya yang mengerti aku.”
“Sudahlah jangan terlalu kamu pikirkan. Pokoknya tugas kita saat ini adalah belajar dengan baik. Sehigga kelak kita bisa memiliki masa depan yang lebih baik.”
Moza tersenyum dan mengangguk setuju. Tidak lama kemudian guru mereka datang untuk mengisi mata pelajaran hari ini.
“Za, ayo ke kantin, aku yang traktir,” ucap Sofi saat jam istirahat datang.
Moza mengangguk dan mengikuti langkah Sofi menuju kantin. Sesuatu yang kemudian ia sesali, matanya melihat Andrew dari kejauhan. Duduk di kursi pojok kantin bersama Bella, gadis cantik yang dikenal sebagai pacarnya. Bella terkenal karena kecantikan dan postur tubuhnya yang bagus, dia juga seorang model remaja yang cukup punya nama. Sayangnya Bella dikenal tidak bisa lama menjalin hubungan dengan satu pria.
Moza menunduk, tidak ingin Andrew melihatnya. Namun di luar dugaan Andrew menatap ke arahnya dengan tatapan tajam. Padahal jarak antara mereka berdua tidak terlalu dekat. Namun Moza sangat gugup menyadari Andrew menatap dirinya.
“Sof, kita jangan lama-lama ya?” bisik Moza.
“Kenapa Za? Jam istirahat masih lama, kamu juga belum menghabiskan makananmu,” protes Sofi.
“Aku sudah kenyang Sof,” sahut Moza, ia berusaha menyembunyikan wajah karena tidak nyaman dengan tatapan Andrew.
“Ya sudahlah, kalau memang kamu ngin kita kembali ke kelas, ayo kita kembali ke kelas.” Sofi bangkit diikuti Moza dan meninggalkan kantin. Dengan sudut matanya, Moza melihat Andrew memperhatikan mereka.
Moza dan Sofi baru saja beberapa langkah meninggalkan kantin tiba-tiba segerombolan anak laki-laki yang Moza tahu adalah anak kelas 12 C sekelas Andrew menghadang mereka.
“Hai Moza, mau kemana?” salah satu anak laki-laki yang paling tinggi bernama Nuno menyapa Moza. Moza tahu Nuno adalah salah satu teman Andrew yang dekat dengannya. Beberapa kali Moza pernah melihat Nuno bersama Andrew dan teman-temannya yang sekarang menghadang langkahnya bersama Sofi.
Moza menatap Nuno dengan tatapan tajam memperlihatkan ketidaksukaannya dengan sikap Nuno dan teman-temannya. Nuno tersenyum, “Heh tidak boleh menyapa atau bertanya? Sombong sekali?”
Moza hanya menatap mata Nuno tajam, tanpa senyum dan tanpa bicara. Teman-teman Nuno menyeringai melihat reaksinya.
“Nuno! Kamu tidak lihat apa, gadis ini ternyata bisu! Cantik tapi bisu,” ucap salah satu rombongan itu. Tawa mereka memenuhi lorong.
“Bisa tidak mengganggu?, kami mau kembali ke kelas, tolong minggir,” akhirnya Sofi bersuara.
Moza tidak menjawab perkataan dari Nuno dan teman-temannya, dia hanya diam tanpa keinginan mengatakan apapun. Nuno melangkah maju dan ingin kembali mengganggu Moza namun tiba-tiba dicegah oleh suara sesorang.
“Za! Maaf membuatmu menunggu, tadi aku ke toilet. Ayo kembali ke kelas,” Zico ketua kelas Moza sekaligus pelatih Tekwondo di sekolahnya menarik tangan Moza.
Sofi lalu mendorong salah satu anak laki-laki di depan mereka agar membuka jalan, dibantu oleh Zico. Mereka kembali ke kelas.
“Aku tahu mereka salah, kamu tidak bisu kan?” teriak Nuno, suaranya terdengar lantang di telinga Moza, Sofi dan Zico.
“Jangan mengganggu anak orang No,” Andre muncul dengan senyum mengejek di wajahnya. “Jangan sampai dia marah, nanti kamu yang balik diganggu.”
Moza menoleh dan melihat Andrew menatap kearahnya seraya tersenyum penuh arti. Moza kemudian memalingkan wajahnya menghindari tatapan Andrew. Tidak tahu mengapa ada desir lembut di dadanya saat tatapan mereka bertemu.
Sesampainya di kelas, Moza baru bisa bernafas lega. “Terimakasih Zico,” ucap Moza singkat.
“Sama-sama Za, jika mereka mengganggumu lagi katakan saja padaku,” ujar Zico tersenyum.
Moza mengangguk mencoba tersenyum, ia tahu dibalik perhatian Zico padanya ada perasaan yang terpendam. Zico adalah teman sekolah yang sangat perhatian padanya sejak setahun lalu. Dia tidak malu-malu memperlihatkan perhatiannya dan bahkan pernah menyatakan perasaannya pada Moza. Namun tetap saja Moza tidak pernah menjawab ataupun memberi kepastian pada Zico. Moza hanya mengatakan sebaiknya mereka berteman saja.
Tatapan Andrew saat di kantin tadi sangat mengganggu Moza. Membuatnya menghela nafas lalu membuang dengan kasar. Duduk melamun di kursi, benaknya kembali membayangkan kalau sewaktu-waktu Andrew akan membuka aibnya di sekolah ini.
“Sudahlah Za, tidak usah kamu pikirkan lagi tingkah teman-teman tadi. Mereka memang begitu selalu begitu kan?” Sofi yang memperhatikannya sejak tadi menggenggam tangan sahabatnya lembut. Memberinya kekuatan.
“Iya Sof, tidak apa-apa kok. Aku juga tidak akan ambil hati dengan kata-kata mereka.”
“Bagus lah jika begitu. Aku pikir memang sebaiknya kita anggap saja mereka ingin mencari perhatian kamu, Za. Apalagi si Zico, aku lihat dia menyukai kamu Za.”
“Ah sudahlah Sof, biarkan saja seperti itu, nanti juga berhenti sendiri kalau mereka sudah lelah.”
“Kamu benar Za, biarkan saja selama mereka tidak menyakiti kamu.”
Moza tersenyum seraya mengangguk. Kembali kedua orang yang bersahabat itu sibuk mengikuti pelajaran hari ini hingga waktu belajar selesai, dan mereka bersiap-siap pulang. Moza bergegas membereskan peralatan sekolahnya. Ia harus segera ke rumah sakit untuk melihat perkembangan ayahnya yang masih terbaring lemah di sana.
Ayah Moza sudah lebih dari sebulan ini dirawat di rumah sakit. Bahkan ayahnya belum sadar dari koma sampai saat ini. Belum lagi biaya rumah sakit ayahnya yang semakin lama semakin membengkak. Awalnya ayah Moza divonis terkena penyakit gagal ginjal. Entah kenapa tiba-tiba ayahnya malah seperti lumpuh. Tubuhnya tidak bisa digerakkan kecuali jari tangannya.
Setelah itu dia juga tidak bisa berbicara lagi, hanya mata saja yang masih bisa dia gerakkan. Namun sejak dua minggu lalu bahkan ayahnya sudah tidak sadarkan diri hingga sekarang. Moza berpikir ayahnya sakit akibat kelelahan yang berkepanjangan. Sejak ibunya meninggal lima tahun lalu, ayah Moza bekerja keras demi mempertahankan keberlangsungan hidup mereka.
Sewaktu Ibu masih hidup kehidupan mereka masih terbilang cukup karena terbantu dengan penghasilan si ibu dari pekerjaannya sebagai seorang bidan. Namun setelah ibunya tiada, ayah Moza yang bekerja sebagai guru honor harus berjuang sendiri.
Moza melangkah gontai ke arah gerbang luar sekolah. Di depan sekolah lagi-lagi dia kembali harus bertemu Andrew dan pacarnya, Bella. Entah apa yang mereka lakukan sepertinya mereka ada pertengkaran sedikit. Sebisa mungkin Moza menghindar dari keduanya dia berjalan sedkit menjauh dari tempat mereka berdiri.
“Kenapa tidak mau aku antar pulang?”
“Tidak perlu Ndrew, aku harus sama sepupu aku, ada acara keluarga. Maaf ya Ndrew.”
“Biasanya juga minta antar mau kemana pun.”
“ini aku tidak tahu rumahnya di mana, hanya sepupuku yang tahu rumahnya. Makanya aku pikir lebih baik aku pergi bersama dia.”
Hanya itu saja percakapan yang sempat didengar Moza, itu pun karena suara mereka agak kencang, mungkin karena mengimbangi suara kendaraan di parkiran sekolah. Dan mereka tidak menyadari saat Moza lewat di belakang mereka.
*Bersambung*