Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Apa Boleh?

Bab 12 Apa Boleh?

“Za, sudah siap pulang?” tanya Andrew saat Moza keluar dari kelas, mereka berjanji pulang bersama. Moza menoleh dan tersenyum kecil.

“Sudah,” jawab Moza singkat.

“Moza!” panggil Zico dari dalam kelas mereka, begitu ia mencapai pintu. Moza dan Andrew menoleh bersamaan. Moza menatap Zico yang mendekat.

“Pulang denganku ya, kita searah,” ucap Zico seraya menarik tangan Moza tanpa melihat ke arah Andrew.

“Hei, dimana sopan santunmu?” sergah Andrew. “Main tarik tanpa persetujuan dia,” Andrew menghadang Zico yang menggandeng tangan Moza. Gadis itu bingung melihat kedua lelaki yang sedang berebut pulang bersamanya.

“Masalah buatmu?” jawab Zico menantang.

“Jelas masalah! Kami sudah berjanji sejak tadi untuk pulang bersama. Dan kamu datang tanpa permisi langsung menarik dia. Dasar kamu tidak ada akhlak!" cetus Andrew dengan wajah memerah.

“Moza tidak keberatan, kenapa kamu yang keberatan?” wajah Zico terlihat sedikit mengejek, membuat Andrew menggeram kesal. Moza yang tidak ingin ada keributan segera menengahi.

“Zico, aku mohon jangan buat keributan. Aku tidak suka lihat kalian ribut seperti ini! Aku dan Andrew sudah berjanji pulang bersama. Ada hal yang harus kami urus bersama, tolonglah.”

Zico terdiam seraya melepaskan genggaman tangannya dari Moza. Dia menatap keduanya dengan pandangan rumit. “Baiklah Za, aku mengerti ini adalah hakmu bergaul dengan siapa saja. Hanya aku sebagai teman yang peduli padamu, aku tidak ikhlas kamu berteman dengan orang yang mempunyai niat tidak baik terhadapmu."

“Hei! Apa maksudnya itu?” sergah Andrew. “Kamu pikir aku laki-laki bejat yang akan menyakiti Moza, heh?” ketus Andrew.

“Santai Bro! Jika tidak, kenapa harus marah?” jawab Zico. Andrew maju satu langkah dengan menggertak.

“Cukup! Aku bilang cukup! Tolong jangan bertengkar lagi! Sudahlah Zico, terima kasih untuk perhatianmu, api aku baik-baik saja. Aku bisa mengatasi masalahku sendiri. Dan jika dia benar berniat jahat padaku, maka kamu adalah orang pertama yang akan aku beritahu.”

Kalimat itu cukup untuk Zico, ia menyeringai pada Andrew yang masih menggeram kesal. “Oke aku percaya kamu bisa menjaga diri. Jika ada apa-apa jangan sungkan hubungi aku.”

Moza mengangguk setuju dan menarik tangan Andrew yang masih terlihat emosi. Andrew mengikuti Moza yang menariknya pergi dari hadapan Zico dengan tergesa. Hatinya masih panas karena kata-kata Zico yang menuduhnya ingin berbuat jahat pada Moza.

Moza naik ke motor Andrew, duduk canggung di balik punggungnya yang lebar. “Peluk aku, Za,” pinta Andrew. Moza melongo, mendadak jadi gugup sendiri.

“Harus peluk?” tanyanya, Andrew menoleh ke belakang dengan tawa kecil.

“Kenapa? Malu?” tanyanya pura-pura heran.” Kau bahkan sudah melakukan hal yang lebih dari sekedar memelukku asal kau ingat Nona,” bisik Andrew, membuat wajah Moza seketika merona seperti kepiting rebus.

Dengan terpaksa ia memeluk pinggang Andrew saat laki-laki itu melajukan motornya dengan kecepatan sedang. “Za!” teriak Andrew mengimbangi deru angin.

“Ya?”

“Peluk aku yang kuat!”

“Ini sudah kuat,” jawab Moza pelan. Andrew menarik tangan Moza untuk memeluknya lebih erat lagi. Moza sedikit menarik tangannya kembali.

“Aku akan menambah kecepatan, jadi kamu harus berpegangan lebih kuat lagi agar tidak terjatuh.”

Mau tidak mau, Moza mengikuti kata-kata Andrew laju kendaraannya semakin cepat. “Kenapa terlalu cepat? Kita tidak harus buru-buru kan?”

“Biar cepat sampai,” jawab Andrew singkat.

“Kita kemana? Ini bukan arah ke rumah aku?” tanya Moza saat menyadari Andrew berbelok dan tidak lagi mengarah ke rumahnya.

“Ke rumahku, ya.”

“Eh, rumah kamu?” tanya Moza.

“Iya, kenapa? Keberatan?”

“Tidak, aku hanya tidak pernah ke rumah teman sama sekali,” jawab Moza.

“Ke rumah Sofi sekalipun?” tanya Andrew heran.

“Iya/ selalu Sofi yang datang ke rumah. Aku belum pernah ke rumah Sofi.”

“Kenapa begitu?”

“Aku hanya malu saja. Takut ditanya macam-macam oleh orang lain.”

“Kenapa.harus malu dan takut? Kamu terlalu berlebihan.”

“Bukan hanya itu, aku juga tidak ada waktu. Kamu kan tahu aku harus mengurus Bapak dan malamnya harus bekerja.”

“Aku mengerti Moza. Maafkan aku dengan pikiranku yang jelek tentangmu selama ini.”

“Sudahlah, itu wajar. Aku bekerja di tempat yang kotor. Tentu saja orang akan berpikiran kotor tentangku. Aku juga tidak ingin, tetapi saat ini aku belum menemukan cara untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar biaya Bapak dan juga untukku bertahan hidup dan sekolah.”

Andrew menggenggam tangan Moza yang melingkar di perutnya. Dia ingin memberikan kekuatan pada wanita malang yang saat ini membuat hatinya mulai merasakan sesuatu yang nyaman. Andrew membelai punggung tangan Moza dengan lembut.

“Kita sampai,” ujar Andrew, mereka masuk ke rumah besar yang dijaga security. “Ayo masuk!” ia menuntun Moza dan menariknya ke dalam rumah.

“Rumahku sepi, Za. Aku anak tunggal, orang tuaku lebih banyak di luar negeri mengurus bisnis mereka.”

“Kamu tinggal sendiri di rumah sebesar ini?” tanya Moza, matanya menyusuri setiap sudut ruangan di dalam rumah itu.

“Ada beberapa asisten rumah tangga dan supir. Aku sudah biasa hidup seperti ini Za. Kita sebenarnya hampir sama. Di rumah selalu sendiri tanpa orang tua. Bedanya orangtuamu yang satu sakit yang satunya lagi telah meninggal dunia. Sedangkan aku orangtua lengkap tetapi terasa tidak memilikinya.”

Moza mendengar nada kesepian dalam kalimat panjang Andrew itu. Ia menatapnya lembut. “Tapi setidaknya orangtuamu masih lengkap,” ujarnya dengan nada menghibur.

“Tapi rasanya seperti tidak punya orang tua,” keluh Andrew.

“Jangan seperti itu, mereka sibuk untuk masa depan kamu.”

“Tapi aku merasa sendiri Za. Aku seperti anak yang tidak penting buat mereka, hanya sebagai status bahwa mereka memiliki anak. Mereka berpikir perhatian mereka hanya cukup dengan melimpahkan aku materi sebanyak banyaknya.”

Mereka duduk dan Andrew menceritakan latar belakang keluarganya dari A sampai Z. Moza adalah pendengar yang baik. Sangat baik. Hingga nyaris tidak terdengar suara apapun yang keluar dari bibirnya yang indah.

“Kok diam? Bosan ya mendengar ceritaku?”

“Tidak bosan, justru aku mendengarkan ceritamu dengan baik.”

“Kamu tahukan aku sudah putus dengan Bella?” tanya Andrew mengalihkan topik.

“Kamu sudah mengatakannya saat di kantin tadi.” Andrew tersenyum menatap Moza.

“Dia yang memutuskan kami berpisah. Aku menjalin hubungan dengannya sekitar satu tahun. Yah mungkin memang takdir kami hanya sampai di sini. Dan kamu tahu Za, jujur saat ini aku sangat nyaman dekat denganmu. Aku merasa kamu berbeda dengan wanita yang lain termasuk Bella. Aku mulai terbiasa denganmu. Aku selalu rindu untuk kita bisa berdekatan seperti ini.”

“Kamu mungkin hanya merasa kesepian. Jika itu yang kamu butuhkan aku bersedia menjadi temanmu,” ucap Moza.

“Aku ingin kita bisa menjalin sebuah hubungan yang serius dari sekedar berteman. Apa boleh?”

Moza merasa dadanya bergetar hebat. Ungkapan Andrew tentu saja membuat Moza terkejut. Dia tidak menyangka secepat ini Andrew menginginkannya menjalin hubungan yang lebih mesra. “Jangan bercanda,” desahnya pelan.

“Aku serius, Za.”

“Jangan membuatku bingung Andrew. Kita dekat baru seminggu, bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu?”

“Baiklah. Aku akan selalu menunggu jawaban darimu Beb,” bisik Andrew seraya mencium pipi Moza lembut. Gadis itu terkesiap, tidak menyangka Andrew menyatakan dan mengajaknya menjadi sepasang kekasih.

“Hubungan tanpa cinta, tidak akan bertahan lama, Andrew,” kilah Moza.

“Cinta hadir karena terbiasa. Aku yakin perasaan itu akan tumbuh dengan sendirinya jika kita selalu bersama,” tekad Andrew.

“Aku masih belum bisa memutuskan.”

“Sepertinya aku masih harus berusaha lebih keras agar bisa membuatmu percaya untuk berjalan beriringan dan menjalin suka dan duka bersama bukan?”

“Ini tidak mudah, Andrew, menurutku lebih baik kita pada diri masing-masing, apakah kita pantas berjalan bersama? Apakah perasaan kita sudah benar?”

Andrew menatap Moza dengan tatapan lembut dan kekaguman dalam diam.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel