Bab 11 Aksi Andrew
Bab 11 Aksi Andrew
Baru kali ini Moza bercinta dengan menggunakan perasaan. Pekerjaannya selama ini hanya menuntut untuk melayani tidak untuk menikmati. Namun saat ini berbeda, ketika dia bercinta dengan Andrew dia merasa baru saja menikmati pekerjaannya.
Perlahan-lahan Andrew yang sejak tadi telah siap dengan hasratnya segera mendatangi ladang milik Moza. Gadis itu menyambutnya dengan sukacita, penyatuan mereka membuat keduanya terhanyut dalam lautan asmara.
Tetapi di ujung permainan panas itu, Moza mendadak dikuasai kekhawatiran. “Kamu tidak menggunakan pengaman Ndrew?” tanyanya cemas. Andrew sedikit tersentak. Gairah membuatnya melupakan hal terpenting itu.
“Kenapa? Apa selama ini kamu tidak menggunakannya?” jawab Andrew kembali bertanya.
“Aku menggunakannya, jangan khawatir,” ucap Moza tidak yakin. Dia lupa harusnya dia kembali kontrol untuk memperpanjang periodenya. Tetapi demi membuang kekhawatiran Andrew dan dia sendiri, Moza berpura-pura ia aman.
“Ya sudah, tidak usah dipikirkan. Yang penting kamu tidak lupa menggunakan pengaman,” jawab Andrew seraya menarik Moza ke pelukannya. “Aku ingin melakukannya kembali,” ia berbisik setelah Moza dalam pelukannya.
Moza hanya bisa mengangguk, membiarkan Andrew mereguk dan menggarap ladang cinta yang saat ini ada dalam kekuasaannya sepuasnya. Ia hanya bisa mengikuti permainan yang diciptakan Andrew. Pergulatan di hatinya tidak bisa menahan tubuhnya untuk bereaksi. Andrew berhasil membuatnya melupakan apapun.
Keesokan harinya, Moza ke sekolah seperti biasa. Seperti biasa, bersama Sofi ia menuju kantin pada jam istirahat. Mereka memilih duduk di bagian tengah karena suasana kantin mulai ramai. Sofi bertanya tentang makanan yang ingin disantap Moza.
“Minum saja Sof, tadi di rumah aku sudah masak nasi goreng. Kamu mau? Ini cukup untuk kita berdua,” kata Moza seraya mengeluarkan kotak bekalnya.
“Buat kamu saja, aku ingin makan bakso,” jawab Sofi, tersenyum pada sahabatnya. “Mau minum apa?”
“Es jeruk ya, Sof.”
“Oke,” jawab Sofi, beranjak untuk memesan.
Moza mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantin. Sekilas dia melihat Bella, mantan kekasih Andrew. Ia belum tahu jika Andrew dan Bella sudah putus. Tetapi, melihat Bellam membuatnya teringat kejadian kemarin. Saat Andrew menyebut nama Bella di puncak gairahnya.
Suasana di kantin mendadak riuh saat Andrew dan teman-temannya datang. Moza melihat kedatangan Andrew, karena kebetulan duduk menghadap pintu masuk. Ia memperhatikan rombongan Andrew, mereka bercanda dan tertawa.
Moza menjadi gugup dan salah tingkah saat Andrew menoleh dan menatapnya. Apalagi ketika pemuda itu melangkah ke arahnya, meskipun ia menyadari puluhan mata penghuni kantin menatapnya. Termasuk Bella.
“Hai, Setan Cantik,” bisik Andrew saat sampai di meja Moza. Ia meraih tangan gadis itu dan mencium punggung tangannya penuh perasaan. Teman-temannya seketika bersorak. Beberapa bahkan melakukan tosh antar mereka. Membuat wajah Moza seperti kepiting rebus. Malu bukan kepalang karena menjadi perhatian seluruh pengunjung kantin.
“Kok diam. Keberatan aku gabung di sini?” tanya Andrew seraya duduk di samping Moza. Gadis itu menoleh gelisah pada Bella.
“Hanya takut pacarmu marah,” cicitnya pelan, Andrew tertawa.
“Tenang Beb, kami sudah putus. Tidak akan ada yang marah di sini, atau kamu takut Zico cemburu melihat kita?”
“Kenapa aku harus takut?” heran Moza.
“Ya, mungkin saja ada komitmen diantara kalian,” Andrew menebak.
“Kami hanya berteman,” jawab Moza.
“Baguslah. Artinya kita sama-sama free bukan?”
“Kamu dan Zico, sama-sama temanku,” sahut Moza.
“Tapi dimana-mana pasangan yang serasi berteman itu adalah setan dan iblis. Kamu itu kan setan cantikku dan aku iblisnya,” kekeh Andrew.
Keduanya terdiam ketika Sofi datang dengan makanannya. “Maaf Za agak lama, tadi aku ke toilet sebentar,” Sofi menyodorkan minuman Moza seraya melirik Andrew.
“Kamu tidak makan?”
“Masih menunggu datang, tadi sudah dipesan sama teman-teman,” jawab Andrew santai. Lalu menoleh pada Moza. “Tidak makan?” tanyanya memandang minuman di tangan Moza.
“Aku membawa bekal,” ujar Moza menunjuk nasi gorengnya. Andrew mengangguk dengan mata berbinar.
“Wah, pasti enak,” ucapnya.
“Ayo makan,” ujar Moza, tetapi Andrew memggeleng dan menunjuk makanan yang ia pesan sudah ada di mejanya.
“Kalian lanjut mengobrolnya, aku mau makan,” ujar Sofi.
“Kalian makanlah, aku sudah selesai dengan Moza,” jawab Andrew, seraya menoleh pada gadis yang terlihat serba salah di sisinya. “Pulang sekolah tunggu aku dan kau tahu aku tidak menerima penolakan. Oke, Cantik?”
Moza menatap Andrew, sejujurnya ia tidak suka sikap Andrew yang memanfaatkan video itu untuk bisa memperlakukan Moza sesuai keinginannya. Tapi, Moza juga tidak memungkiri hatinya yang menyukai perhatian Andrew. Dengan sedikit terpaksa ia mengangguk.
“Iya,” jawabnya dalam suara kecil.
“Oke, kalau begitu aku pergi,” Andrew bangkit dan berjalan menuju mejanya sendiri. Bergabung dengan pasukan riuhnya, melirik Bella yang menatapnya dengan mata yang sulit diartikan.
Teman-temannya menyambut Andrew dengan riuh. “Aku suka gayamu,” ujar Nuno terkekeh.
“Ini langkah awal untuk merebut hati Moza. Pelan-pelan, Bro. Tidak baik buru-buru,” ujar Andrew dengan nada berpuas diri.
“Jangan terlalu lama. Lebih cepat lebih baik,” ujar Nuno.
“Sabar, pada perempuan tidak baik terburu-buru,” ujar Andrew sok bijak. “Biarkan dia nyaman dulu bersama kita, jadi saat kita menyatakan perasaan dia tidak punya alasan untuk menolak.”
“Ada benarnya juga. Ternyata itu trikmu mendekati para gadis?” Nuno tertawa pada Andrew yang terlihat senang. “Moza itu introvert, tapi dia terlihat sangat santai bersamamu. Seperti kalian sudah lama akrab.” Beberapa teman mereka mengangguk setuju akan kalimat Nuno terakhir.
“Sudah kukatakan, saat melakukan pendekatan, kita harus sabar dan buat mereka nyaman. Jangan terburu-buru, karena wanita tidak suka dipaksa.”
“Wah perlu dipraktekkan ini ilmu pamungkas ala Andrew,” kekeh mereka secara bersamaan.
Andrew sekilas melirik Bella yang juga tengah menatapnya. Andrew membuang pandangan dan melirik Moza, gadis itu masih terlihat santai bersama Sofi seakan tidak ada kejadian apa-apa. Sikapnya yang datar dan dingin membuat Andrew merasa tertantang.
Mereka kembali ke kelas setelah bel penanda jam istirahat berakhir menggema ke seluruh sekolah. Sofi melirik Andrew sebelum kemudian menoleh pada Moza. “Za, Andrew dan Bella benar-benar putus?”
Moza menoleh sekilas. “Andrew bilang begitu. Aku tidak peduli, itu urusan mereka. Aku tidak merasa menjadi pengganggu hubungan mereka,” jawab Moza acuh.
“Oh, tadinya aku sempat bertanya-tanya. Karena saat memesan bakso, Indah sahabat Bella mengatakan kalau Bella punya kekasih baru. Aku yakin mereka sudah putus.”
“Aku tidak perduli Sof, mereka putus atau tidak bukan sesuatu yang penting bagiku. Itu urusan mereka,” sahut Moza.
“Tapi kuperhatikan, Andrew sepertinya punya hati padamu. Tatapannya berbeda,” sahut Sofi masih tidak puas.
“Itu hanya perasaanmu saja. Kami hanya berteman, kebetulan saja dia mengantarku pulang Sabut kemarin.”
“Oh ya? Dan kalian mulai dekat sejak itu?” sambar Sofi.
"Kebetulan Sof,” Moza memberi penekanan. “Sabtu itu, aku pulang terlambat. Setengah jam menunggu, tidak ada angkutan. Andrew mungkin kasihan padaku, dia yang juga pulang terlambat mengajakku pulang bersama. Mungkin kasihan.”
“Berarti dia memulai pendekatan padamu sejak itu?” goda Sofi, Moza menggeleng kuat-kuat.
“Berteman Sof, kami hanya berteman.”
“Pertemanan itu awal dari sebuah hubungan Moza,” kekeh Sofi kembali menggoda Moza.
“Ah kamu memang sengaja menggoda. Sungguh, kami hanya berteman, tidak ada yang istimewa dari hubungan itu,” tegas Moza.
“Nah, kalimat itu benar. Saat ini kalian hanya berteman entah esok atau lusa,” pungkas Sofi. Mereka masuk ke kelas untuk pelajaran berikutnya. Sepanjang pelajaran, Moza memikirkan kata-kata Sofi. Benarkah Andrew menyukainya atau dia hanya pelampiasan Andrew setelah ia putus dengan Bella?
****