08. Penguntit?
Amanuel yakin, gadis yang dilihatnya pagi tadi adalah gadis yang sama dengan gadis yang saat ini tengah berdiri tak jauh dari tangga lantai dua sembari menatapnya dengan tatapan tajam.
"Hei, kau merasa merinding tidak?" Amanuel berbisik kepada Ehsan, sahabatnya. "Karena gadis itu terus menatapku sejak tadi."
Ehsan yang tengah menyantap rotinya lantas mengikuti arah pandang Amanuel, sebelum tersedak rotinya sendiri. "Astaga, Nuel! Kau sudah diincar Sadako!" ucapnya heboh.
"Hah, Sadako?" Amanuel kebingungan.
"Iya, Sadako." Ehsan meminum airnya sebentar sebelum melanjutkan, "Dia gadis dari kelas sebelah dan terkenal suram seperti Sadako. Lihat saja rambutnya yang berantakan itu. Pokoknya kau harus berhati-hati. Jangan menatap matanya, atau nanti kau kena kutukan."
Ehsan menepuk pundak Nuel sebelum melangkah masuk ke kelas.
Amanuel menoleh lagi ke tempat di mana gadis itu masih berada. Seketika ia tertawa sebelum bergumam pelan, "Dasar, Ehsan. Mana mungkin ada orang yang dikutuk karena hal konyol semacam itu."
***
Ketika pulang sekolah, Athena kembali membuntuti Amanuel menuju kompleks di mana pemuda itu tinggal. Amanuel hidup bersama ibunya di sebuah rumah sederhana yang bersebelahan dengan rumah-rumah lain dan dikelilingi para tetangga yang baik. Sebagai salah satu aktivitas wajib setelah pulang sekolah, Athena pun masuk ke semak-semak demi mengintip pemuda itu dari sana secara diam-diam. Ia sudah seperti mata-mata saja.
"Oh, Amanuel. Kau sudah pulang, Sayang?" Seorang wanita cantik berambut pendek sebahu menyambut Amanuel di depan pintu rumah. Penampilannya sederhana, mengenakan daster panjang selutut warna hijau tosca yang membuat kulit putihnya makin bersinar. Pemuda berambut ikal itu terlihat meraih tangan sang ibu.
"Ya, Ma. Hari yang begitu melelahkan," ungkap Nuel sembari mencium tangan Liliana. "Aku mau tidur siang sebentar."
"Baiklah, jangan lama-lama tidurnya, hari sudah sore."
Amanuel tersenyum dan mengangguk kepada wanita yang telah mengandung dan membesarkannya selama belasan tahun lamanya. "Baik, Ma."
Liliana ikut tersenyum, ia mengelus puncak kepala anak semata wayangnya dengan penuh kelembutan sebelum sang anak berlalu masuk ke dalam. Amanuel mencuci tangan dan kaki terlebih dahulu sebelum menggantungkan pakaiannya di dinding kamar begitu masuk ke sana.
Sebagai seorang anak tunggal, tugasnya adalah menjaga sang ibu yang telah memutuskan menjadi single parent selama sisa hidupnya. Terutama setelah kepergian sang ayah saat ia masih berusia empat tahun akibat kecelakaan di tempat kerja. Ibunya lah yang selama ini merawatnya dengan mengorbankan banyak hal; waktu, keringat, air mata dan darah.
Saat ini, Amanuel memang belum bisa membalas semua kebaikan sang ibu, tetapi ia sedang mengupayakan agar bisa menjadi seorang anak yang berprestasi di sekolah, sehingga kelak bisa mendapatkan beasiswa untuk meringankan biaya pendidikannya.
Menurut Liliana pribadi, kuliah itu penting. Bukan karena gengsi atau membuang-buang uang selama delapan semester, hanya saja di sana ada skill yang tidak bisa didapat di tempat lain. Wanita itu ingin sang anak memperoleh ilmu yang bermanfaat selama di sana.
Bagi Amanuel sendiri, mencari kerja di masa sekarang terlihat begitu sulit, dan syarat yang sering mereka minta adalah lulusan sarjana atau pastilah mereka mencari yang sudah berpengalaman selama sekian tahun. Amanuel tahu betapa sulitnya mencari uang setelah melihat ibunya bekerja siang malam. Rasanya ia ingin segera lulus dan membantu perekonomian keluarganya dengan pergi bekerja. Tak ada salahnya jika nanti ia bekerja paruh waktu sambil kuliah, selama ia bisa mengelola waktunya dengan baik.
Liliana menyapu teras rumahnya yang dilapisi ubin warna krim, warnanya telah banyak yang memudar karena usia. Rumah itu adalah pemberian dan peninggalan terakhir sang suami, sehingga ia ingin mempertahankan kenangan itu baik-baik.
Tidak mudah memang membesarkan Amanuel seorang diri, tetapi ia yang seorang yatim piatu sejak lahir ini saja sudah sangat bersyukur bisa menikah dengan seseorang yang memperlakukannya dengan baik, apalagi Amanuel adalah anak yang patuh.
Tak ada seorangpun yang menyadari bahwa di dekat semak-semak dekat pos jaga ada seorang gadis manis yang tengah mengawasi. Mata gadis itu berbinar cerah saat memperhatikan Liliana yang saat itu sedang mengelap jendela. "Mamanya Amanuel," bisiknya tertahan, gadis itu tersenyum lebar.
Bisa melihat interaksi antara Amanuel dan sang ibu saja sudah membuat dada Athena terasa hangat. Ia rindu dengan kehangatan seorang ibu, apalagi saat melihat Amanuel yang begitu disayang membuatnya iri. Ia tak punya ibu seperti pemuda itu, ia sendirian, walau ia masih memiliki ayah yang bahkan jarang mengunjunginya.
Sebagai anak, ia hanya ingin mendapat kasih sayang.
***
Athena bergegas kembali ke rumah setelah jam menunjukkan pukul 4 lewat 29 menit. Gadis itu berlari menaiki anak tangga dengan cepat, mengabaikan teguran dari sang kepala pelayan di rumahnya.
Rasanya ia ingin terbang ke angkasa saat mengingat pagi tadi sempat bertatapan dengan Amanuel, ditambah lagi pemuda itu tersenyum lebar padanya. Bukankah ini suatu pertanda? Bahwa cintanya akan segera bersambut, ia yakin sekali.
Begitu Athena membuka pintu kamarnya sampai terbanting ke dinding cukup keras, seseorang yang berbaring di atas ranjang dengan sprei motif kartun pun terkaget-kaget dibuatnya sebelum kembali bersikap biasa.
"Oh, ada Edgar ternyata. Sejak kapan di kamarku?" Athena melenggang masuk ke kamarnya seolah keberadaan Edgar adalah sesuatu yang sudah biasa terjadi, ia melempar asal tasnya ke meja belajar, mengabaikan beberapa barang di atas sana yang langsung berjatuhan ke lantai.
"Dua jam yang lalu, belum lama." Edgar mengubah posisinya menjadi telungkup, di tangannya ada sebuah komik yang dikumpulkan Athena sejak anak-anak. "Tumben kau pulangnya lama?"
"Biasa, aku tadi pergi melihat Amanuel ke rumahnya." Athena melepas blazer dan dasinya, lantas melemparnya ke meja belajar begitu saja, menyisakan kemeja putih yang sudah kusut di badan. "Dan apa kau tahu? Tadi aku juga melihat ibunya."
"Jadi kau mengobrol dengan mereka?" Edgar bertanya dengan hati-hati, karena topik yang membahas ibu orang lain cukup sensitif teruntuk sang gadis.
Athena malah tertawa. "Mana mungkin, aku saja harus bersembunyi agar tidak ketahuan mereka," ucapnya. Ia lalu melangkah menghampiri Edgar yang berbaring nyaman di kasurnya. "Hei, cepat minggir, ini ranjangku."
Edgar tak bergerak sedikit pun saat Athena mengguncang tubuhnya. "Ganti baju dulu sana," perintah Edgar cuek. "Dan gantung juga seragammu, kau ini sembarangan sekali."
"Hngg, nanti." Athena tiba-tiba menguap. "Aku mau tidur siang dulu," ucapnya. Mungkin pertanda jodoh makin dekat adalah mengalami hal yang sama dengan sang pujaan hati, buktinya saja ia menguap. Amanuel pasti sekarang sudah berada di alam mimpi, ia jadi ingin segera menemui pemuda itu di sana.
"Jangan tidur setelah ashar. Katanya bisa merusak kewarasanmu." Edgar memperingati, dan terpaksa bangkit dari posisinya setelah Athena tiba-tiba langsung merebahkan tubuh di sampingnya. Posisi yang benar-benar gawat karena mereka hanya berdua di kamar itu, mengingat ia juga seorang laki-laki normal.
"Oh, benarkah?" Athena tertawa kecil saat melihat ekspresi seriusnya Edgar. "Ah, berarti tidak apa-apa, toh selama ini aku sudah tidak waras, karena kewarasanku sudah kuberikan pada Amanuel seorang."
"Sudah tidak waras lagi rupanya."
Athena melempar bantalnya ke wajah Edgar sambil tertawa, kali ini ia tepat sasaran, hingga membuat pemuda itu berdecak kesal. Rasa kantuk pada matanya makin menjadi-jadi, lagi-lagi Athena menguap lebar. "Hm, kalau sudah selesai, cepat pergi sana. Aku mau tidur," ucap gadis itu sebelum berbalik dan membelakangi Edgar.
Sang pemuda menghela napas panjang, Athena bahkan tidak peduli jika masih ada laki-laki di kamar tidurnya. Tunggu, apakah Athena menganggapnya lawan jenis?
Lagi-lagi Edgar menghela napas lelah sebelum berjongkok di sisi ranjang Athena yang sepertinya sudah masuk ke alam mimpi, ia kemudian berbisik, "Selamat tidur, Tuan Putri."