Bab 8 Ini bukan mimpi
"di.. saku " jelas Luna perlahan.
Suri yang masih memeluk baju ibunya mengangguk, dengan tangan gemetar, dirinya memeriksa saku ibunya. Suri mengeluarkan sebuah amplop lusuh.
Luna tersenyum saat melihat Suri mengeluarkan amplop itu. Luna berkata "dengarkan ibu.."
"ibu yakin.. kamu sudah tahu bahwa kamu bukanlah anak kandung ku, namun.. selama ini saya tetap menganggap dirimu sebagai anak yang saya lahirkan"
"maafkan ibu... yang sangat egois memutuskan untuk membesarkanmu, maafkan ibu.. kehidupan yang sulit yang ibu berikan padamu"
Jelas Luna yang saat ini berlinang air mata. Suri menggelengkan kepalanya, dirinya tidak setuju dengan perkataan ibunya.
"terima kasih, sudah membesarkanku.. terima kasih sudah menganggap Suri sebagai anak ibu" jawab Suri yang mana saat ini tangisan nya semakin menjadi.
Tangan kurus Luna menggenggam tangan Suri yang memegang amplop lusuh tadi, dan berkata "surat itu... dan kalung itu... ibu temukan saat pertama kali ibu berjumpa denganmu".
Suri menggenggam kalung yang dipakainya saat ini, genggaman tangan Luna terlepas, denyut nadi di mesin datar. Untuk sesaat kesadaran Suri menguap, setelah beberapa detik, dirinya berlari keluar berteriak histeris memanggil perawat.
Sisanya Suri sudah tidak sadar apa yang terjadi, saat ini dirinya duduk di kursi tunggu, satu tangannya menggenggam erat amplop, satu tangan lagi menggenggam erat kalungnya.
Saat dokter menyatakan bahwa denyut nadi ibunya sudah tidak ada, Suri hanya terdiam, air mata sudah tidak mengalir keluar, hampa, terasa hampa dan Suri yakin ini semua hanya mimpi. Saat ini dirinya hanya akan duduk disini, menunggu dirinya terbangun dari mimpi buruk ini.
Si pengawal yang ditugaskan Dominic untuk menjaga Suri, menatap prihatin kepadanya. Tubuh Luna akan dikremasi, dari keterangan yang diperolehnya dari Suri, mereka tidak lagi memiliki anggota keluarga lain. Jadi semua prosedur dilakukan oleh si pengawal.
Keesokan harinya, si pengawal kembali ke rumah sakit, terlihat Suri masih duduk di tempat yang sama, dirinya sudah mengurus semuanya, jadi hari ini si pengawal akan menyerahkan guci abu Luna kepada Suri. Suri tidak makan ataupun minum, hanya duduk diam, dirinya tidak yakin sudah berapa lama dirinya duduk seperti ini, menunggu terbangun dari mimpi buruk panjang ini.
"nona, ini abu ibumu" ucap si pengawal sambil menyerahkan guci bulat berwarna hijau giok.
Suri menatap pria itu lalu tatapannya beralih ke arah guci ditangan pria itu. Perlahan Suri mengambil guci itu, untuk sesaat akal sehatnya mengingatkan bahwa ini bukan mimpi.
Suri menatap guci yang saat ini berada di pangkuannya, kejadian kemarin berputar di kepalanya.
"ini... ini bukan mimpi?" tanya Suri dengan suara lirih kepada pria itu.
"bukan, ini bukan mimpi" jelas pria itu, sedikit rasa prihatin muncul dalam hatinya.
Suri menatap pria itu, pria itu memiliki badan tinggi dan tegap, wajah datar, dengan rambut cepak, usianya lebih muda dari tuan Dominic. Ini kedua kali dirinya bertemu pria ini, pertama kali saat Dominic diserang dan kedua kali nya adalah kemarin, pria itu yang menerima kartu hitam.
"siapa nama anda?" tanya Suri, setidaknya dia perlu mengetahui nama nya jika ingin berterima kasih.
"Sam" jawab pria itu singkat.
"terima kasih Sam" ucap Suri perlahan, dirinya berdiri dari duduknya, namun Suri kehilangan keseimbangan karena pusing, dirinya hampir terjatuh.
Sam menangkapnya sebelum Suri terjatuh ke lantai. Suri berusaha berdiri namun sama dirinya goyah.
"kamu butuh makan, terlalu kurus" kata Sam, sambil membantu Suri berdiri, mereka berjalan kearah kantin rumah sakit. Suri duduk, Sam memesan makanan.
Sam membawa semangkuk bubur dan secangkir coklat panas, meletakkannya di hadapan Suri dan berkata "makanlah".
Suri mengangguk, guci abu diletakkan di pangkuannya. Suri mulai makan perlahan, hambar, rasa hambar yang dirasakannya, namun Suri tidak peduli, dirinya terus makan dirinya butuh tenaga untuk hidup.
"makan perlahan" ucap Sam, dirinya khawatir Suri akan tersedak jika makan seperti itu.
Suri mengangguk dan lanjut makan, semangkuk bubur dan secangkir coklat panas habis. Suri merasa kenyang dan hampir muntah, Suri menahannya.
"bisakah saya bekerja denganmu? " tanya Suri perlahan, dirinya tidak akan kembali ke rumah bordil lagi, mengingat bagaimana perlakuan mereka terhadap ibunya, Suri sangat marah dan benci.
Melihat Sam yang tidak menjawab, Suri lanjut berkata "saya tidak memiliki tujuan lain hanya rumah bordil itu, bisakah kamu membantu saya?".
"duniaku juga sekelam duniamu, jika kamu ikut bersamaku nyawa adalah taruhannya" jelas Sam. Dirinya yatim piatu, sejak kecil berkeliaran di jalanan, berkelahi, sampai dirinya tidak sengaja bertemu dengan tuan Dominic, tuan Dominic menerimanya, namun dengan mengikuti tuan Dominic sudah pasti separuh nyawa sudah diserahkan.
"tidak masalah, saat ini hanya nyawa yang saya punya, jika itu bisa membuat saya lepas dari sana, tidak masalah" lanjut Suri.
"tuan Dominic memang ingin bertemu denganmu, jika itu keputusan mu maka kamu tidak boleh menyesal dikemudian hari" lanjut Sam.
"itu pilihan ku. Setelah menabur abu ibuku di sungai, maka bawa saya menemui tuan Dominic" ucap Suri, memasukkan amplop lusuh yang sekarang sudah menggumpal dalam saku celananya, kemudian berdiri sambil memeluk guci abu ibunya, berjalan meninggalkan rumah sakit.
Bersama Sam, Suri menabur abu ibunya di sungai, sesuai permintaan ibunya, jika suatu saat dirinya meninggal maka Luna meminta Suri melakukan ini. Luna tidak suka merepotkan orang lain, bahkan sekalipun setelah dirinya meninggal dunia.
"apakah kamu hendak pulang ke rumahmu terlebih dahulu?" tanya Sam, saat mereka berkendara meninggalkan sungai.
"ah... iya, maaf merepotkanmu" jawab Suri, dirinya teringat nenek tua.
Setibanya di rumah Suri, Sam menunggu di dalam mobil. Suri berlari ke rumah nenek tua, tepat di sebelah rumahnya.
"nenek..." teriak Suri saat melihat nenek tua yang sedang memetik sayur, berlari kearah nenek dan memeluknya.
"oh.. sayangku" ucap nenek tua sambil mengecup kepala Suri.
Nenek tua sudah mendengar kabar kejadian kemarin dan tentang Luna yang telah meninggal. Kabar sangat cepat tersebar di lingkungan mereka, apalagi kabar buruk, orang orang akan sangat senang menyebarkannya.
"jadi apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya nenek tua.
Suri terdiam, bagaimana dirinya bisa begitu egois ingin meninggalkan dunianya tanpa memikirkan nenek tua. Bagaimana nenek tua akan menjalani hidupnya jika Suri pergi meninggalkan nya. Nenek tua tahu apa yang berkecamuk di pikiran Suri, lalu nenek tua pun berkata "kamu masih muda, carilah masa depan yang lain, jangan disini, jangan seperti ibumu menghabiskan umurnya di tempat ini" nenek tua membelai pipi Suri.
"tapi.. tapi.. bagaimana dengan nenek?" tanya Suri yang mulai berlinang air mata.
"nenek akan baik baik saja, sebelum kamu hadir, nenek juga sudah terbiasa sendiri, dan banyak tetangga yang bisa nenek ajak ngobrol jika bosan" jelas nenek tua, sejujurnya dirinya sangat sedih mendengar kabar kematian Luna, dan saat ini dirinya yakin akan lebih baik jika Suri meninggalkan tempat ini. Biasanya Luna yang akan melindungi Suri, namun jika Suri masih di tempat ini maka siapa yang bisa melindunginya di masa depan.
"pergilah, carilah peluang lain. Jika kamu tetap disini, kamu sudah tahu seperti apa akhirnya" jelas nenek tua.
"tapi.. nek" balas Suri yang masih menangis.
"nenek akan tetap disini, jika suatu saat kamu sudah sukses, barulah datang menjemput nenek" jelas nenek tua lagi, hanya inilah alasan yang dirinya yakin bisa meneguhkan hati Suri untuk meninggalkan nya.