Bab 15 Tahan, Hafni!
“Oke, lupakan. Jadi menurutmu, kapan penculikan ketiga akan terjadi?” Hafni mengalah. Ia sadar kalau jebakan Akmal juga sangat berbahaya jika terus dilayani. Ia kembali menahan diri setelah mengembuskan napas dalam.
Akmal terdiam agak lama. Jemarinya menari-nari di bawah dagu. Ia tampak tak peduli dengan Hafni yang menunggu demi mendapatkan jawabannya. “Pilihan diksi yang salah bisa memberi celah pada Hafni untuk membalikkan keadaan,” pikirnya hati-hati.
Kalila menatap mata Akmal lamat-lamat. Tatapannya dingin dan tajam bak sebuah silet yang menyayat-nyayat. Ia berusaha menabak-nebak apa yang sedang dipikirkan temannya tersebut. Meski ia tahu kalau Akmal tengah menyusun sebuah rencana.
“Bisa terjadi kapan saja, atau bahkan tidak terjadi sama sekali,” jawab Akmal seraya memainkan bola matanya ke kiri dan ke kanan. “Kau tahu kan, ketiga korban Ruangan Terkunci itu tidak bisa mengingat apa pun yang membuat mereka pingsan?”
Hafni hanya mengangguk tanpa suara, dia masih berusaha meredam emosinya yang dipermainkan Akmal. “Sial! Caranya memilih kata benar-benar matang. Sulit sekali mencari celah untuk membuat dia memakan kata-katanya sendiri!” Hafni mencoba tetap terlihat tenang.
“Dengan begitu, aku masih belum bisa menyimpulkan, apakah si pelaku melakukan kejahatan atau hanya sebatas ingin bermain-main demi kesenangan pribadinya.” Akmal berpangku tangan, ia terlihat lebih percaya diri dengan kedua matanya terpejam.
“Aku setuju!” sahut Hafni tiba-tiba.
Akmal memicingkan matanya. Ia heran dengan perubahan perangai yang diperlihatkan Hafni. Baru saja dia tampak seperti seseorang yang tengah kebingungan. Lalu, beberapa menit kemudian ia seperti seseorang yang sangat yakin dengan yang disampaikan Akmal.
Kalila pun demikian. Ia merasakan hal aneh yang sama. Hafni tak terlihat seperti biasanya. Ia sama sekali tak menikmati diskusi ini. Meski teori yang disampaikan Akmal benar-benar masuk akal dan tak dapat disangkal, Hafni sedikit pun tak terlihat senang.
Hafni salah tingkah. Dia tak memiliki amunisi lain untuk membuat Akmal dan Kalila terus berada dalam permainannya. Biasanya mereka tak berani melawan. Namun kali ini berbeda. Akmal mulai membuka diri untuk menghadapi semua jebakan Hafni.
Suasana lengang seketika. Hafni tak lagi mengomando arah pembicaraan. Ia tak mampu menyembunyikan kekecewaannya atas kemenangan Akmal dalam membalikkan keadaan. Kali ini Akmal menang. Dia bangun dari keterbiasaan membiarkan Hafni menguasai suasana.
Sedangkan Akmal, ia justru tengah menikmati kemenangannya yang dia rasa diperolehnya dengan sangat mudah. Mempermainkan Hafni tak sesulit yang ia bayangkan. Cukup dengan memberikan teori sederhana, ia mampu mematahkan semua tipu daya temannya itu.
“Baiklah ….” Akmal mulai berbicara, memecah keheningan yang sedari tadi menghinggapi mereka bertiga.
“Baiklah apanya?” sahut Hafni menyambar. Ia kehilangan kendali akan kesabarannya. Kikuk sekali.
Kalila ikut menoleh pada Akmal. Ia menunggu-nunggu apa yang akan Akmal katakan setelah kata “baiklah”.
“Sepertinya kita butuh asupan gizi untuk membuat fokus tetap terjaga. Juga segelas kopi panas untuk memuat semangat tetap ada.” Akmal berkelakar. Dia benar-benar mencairkan suasana.
“Bilang aja lapar. Jangan berbelit-belit!” sahut Kalila sinis.
Akmal tertawa lebar. Ia menggaruk kepalanya. Beberapa helai rambutnya pun berjatuhan, rontok menyangkut di pundak bajunya.
“Bakso kayaknya enak,” sahut Kalila lirih. Raut mukanya sedikit antusias kali ini. Ia melirik ke arah Hafni.
“Boleh deh!” Hafni mengiyakan ajakan Akmal sembari terus menahan mimik bingungnya.
“Kamu mau bakso kan?” tanya Kalila pada Akmal yang masih belum menanggapinya.
“Boleh. Asal gratis. Hahaha,” Akmal kembali berkelakar.
Kalila mencubit tangan Akmal. Ia mengaduh kesakitan. Bekas cubitan itu meninggalkan lebam berwarna merah, lalu berubah menjadi ungu. Meski begitu, Akmal tak terlihat marah sedikit pun.
Melihat keakraban mereka berdua, Hafni tertawa kecil. Ia sedikit tertarik dengan hubungan persahabatan yang sedemikian eratnya. Selama hidupnya, Hafni tak pernah merasakan hal semacam itu.
“Andai kakakku masih ada ….” Tiba-tiba Hafni berkata lirih, membuat Akmal dan Kalila menoleh padanya.
“Maksudmu?” Akmal sontak bertanya. Dia menangkap sebuah garis kesedihan dari kata-kata Hafni.
“Ah tidak. Lupakan saja. Ayo kita makan!” Hafni segera mengalihkan perhatian mereka berdua.
“Kamu yakin baik-baik saja, kan?” tanya Akmal dengan nada iba.
“Tenang saja, Akmal. Aku selalu baik-baik saja!” Hafni menenangkan Akmal yang dirundung rasa cemas.
“Kau tidak perlu sungkan jika membutuhkan bantuan kami berdua.” Akmal menepuk pundak Hafni.
“Seperti dalam menangani kasus ini?” Hafni menoleh ke arah Kalila yang masih memandanginya sinis.
“Tentu! Semua masalah yang mengganggu pikiranmu, bisa kamu ceritakan pada kami. Kalau ada solusinya, tidak mungkin jika aku dan Kalila menolak untuk membantu.”
“Benar!” Kalila menyahut dari kejauhan.
“Kalian ….”
***