Bab 5
Suara derap kaki yang tampak terburu-buru semakin lama semakin jelas terdengar mendekati kamar Debora. Tidak lama kemudian, pintu dibuka dengan kencang hingga menabrak tembok putih itu.
“Debby, apakah ada yang terluka?!” Seru John dengan panik.
Debora tersenyum canggung melihat wajah cemas John yang sedang memperhatikan seluruh badan Debora dengan detailnya.
“A… Aku tidak apa-apa.” Gumam Debora dengan pelan.
“Andi….! Andi….! Telepon dokter pribadiku segera! Suruh dia ke sini secepatnya!” Perintah John yang sepertinya dia tidak mengidahkan perkataan Debora
“Papi, tidak usah repot-repot panggilkan dokter. Aku baik-baik saja.” Kata Debora seambil menundukkan kepalanya karena merasa sangat malu.
John berjongkok di hadapan Debora, yang selanjutnya bibir kenyalnya melekat pada bibir Debora. Sampai suara decapan menggema di setiap sudut kamar. Spontan saja Debora mendorong bahu John untuk menghentikan kegiatannya itu. Bagaimana bisa John mencium dirinya di depan orang-orang yang berada di dalam kamarnya.
Hembusan napas terdengar lagi dari mulut John. Dia mengelus surai panjang coklat Debora dengan lembut. “Kenapa kamu tidak hati-hati?”
Debora tidak tahu bagaimana memberitahu John klaau daerah bawahnya itu sekarang menjadi perih dan panas. Seperti terbakar rasanya.
John melihat Debora sangat gugup di depannya. Langsung saja dia memerintahkan agar asisten rumah tangganya itu segera keluar.
“Apa masih terasa sakit?” Jempol John mengusap-usap pipi kanan Debora.
“Iya! Tentu saja iya!” Sahut Debora kesal, namun akhirnya dia pelankan suaranya.
John tertawa kecil. “Maafkan aku. Lain kali aku akan melakukannya lebih lembut.”
Kedua bola mata Debora melotot dengan lebar. Terasa hangat merambat di kedua pipinya. Bayangan adegan panas semalam kembali berputar di benaknya. “Apa papi tidak sibuk di kantor hari ini?” Tanya Debora mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia beralih memandangi ke lain arah.
“Bagaimana aku bisa fokus bekerja lagi saat mendengar gadis kesayanganku terjatuh?” Cibir John.
Tok…… Tok…… Tok………
Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu yang sedang diketuk dari luar. Suara ketukan itu membatalkan niat Debora untuk membalas ucapan John.
“Tuan, dr. Hellen sudah datang.” Kata Andi memberitahu John.
Terlihat seorang wanita muda berpakaian rapi dengan kemeja blouse putih serta celana panjang hitam melangkah masuk ke dalam kamar. Tatapan matanya menyipit begitu memandang Debora, seperti mengibarkan bendera perang. Namun tidak dia hiraukan. “Selamat pagi. Siapa yang sakit?” Tanya Hellen menekankan kata-katanya.
Tiba-tiba saja ponsel John berbunyi, dengan refleks pria itu keluar dari kamar untuk menjawab sambungannya.
Hellen membanting dengan keras botol minyak itu kembali ke dalam kotak P3K yang tadinya akan mengobati Debora. “Apa kau dijual orang tuamu pada John?” Tanyanya sambil menyilangkan kedua tangannya.
Kerutan tercetak di kening Debora. “Apa maksud Anda, dokter?”
“Oh, aku tahu kamu pasti melihat hartanya yang bergelimang.” Tuduh Hellen sambil mendorong bahu Deby dengan telunjuknya. Kukunya yang panjang dan runcing menembus ke pakaian tipis yang Debora kenakan. Terasa sangat sakit bagi Debora.
Debora merasa sangat kesal dengan perlakuan Hellen padanya. Kemudian dia menangkap pergelangan tangan wanita itu. “Aku tidak tahu apa yang sedang kamu bicarakan sekarang ini. Tapi, cobalah lihat dirimu sendiri sebelum kamu mengejek diriku!” Jawabnya sambil menghempaskan tangan Hellen dengan kasar, sehingga membuat pantat wanita itu mencium ke lantai marmer kamarnya.
“Auw……!” Rintih Hellen kesakitan bersamaan dengan John masuk kembali ke dalam kamar.
“John………!” Hellen merengek dengan manja. “Dia mendorongku, pantatku jadi sakit sekali sekarang.”
Deby memutarkan bola matanya dengan malas. Hampir saja dia memuntahkan seluruh isi perutnya kalau saja dia tidak menahannya segera.
“Apa dia tidak mau diobati?” Tanya John sambil menatap Hellen dengan bingungnya.
“I… Iya, benar itu, John. Dia tadi memberontak seperti nenek sihir.” Adu Hellen pada John.
“Ckckck……! Apa kamu tidak ada kaca di rumahmu? Oh! Atau jangan-jangan matamu rusak! Kasihan sekali, kamu cantik-cantik matanya rusak.” Ledek Debora.
Kedua mata Hellen melotot mendengar ucapan Debora barusan.
“Debby, kata-katamu tidak sopan pada Dr. Hellen.” Tegur John.
Debora mengerucutkan bibirnya kala melihat senyum penuh kemenangan di wajah Hellen.
“Kamu sudah boleh pulang sekarang.” Kata John yang mnegejutkan Hellen.
Tiba-tiba saja mata Hellen berkaca-kaca menatap John. Dia merasa tidak rela harus berpisah dengan John secepat itu.
“Drama lagi! Drama lagi!” Kata batin Debora.
“Andi, antar dia!” Perintah John pada Andi.
“Baik, tuan.”
John tidak memperdulikan Hellen yang menghentakkan kakinya dengan kesal berjalan keluar. Sedangkan John kembali mendekati Debora. “Sini tanganmu.” Ujar John sambil mengulurkan tangannya.
Debora diam saja. Dia masih kesal dengan John yang menurutnya John lebih membela rubah betina itu dibandingkan dirinya.
Karena belum mendapat respons, John menarik pergelangan tangan Debora dan menaruhnya di pahanya. Lalu dia mengoleskan obat gosok itu ke siku Debora. “Apa kamu cemburu, hmmm?” Bibir John menyeringai.
“Cemburu? Aku cemburu pada rubah betina tadi? Itu tidak mungkin!” Kata Debora dalam hati.
Mungkin saja Debora tidak mungkin cemburu pada Hellen. Hanya saja dia merasa tidak suka atas sikap Hellen yang mengejeknya. Masa papi angkatnya sendiri lebih percaya pada orang lain ketimbang dirinya.
“Tidak! Buat apa aku cemburu pada rubah betina itu?” Sahut Debora dengan malas.
John tertawa pelan. Kemudian dia merenggut tangan Debora dan melumat bibir bawah Debora agar dia diberi akses untuk memperdalam ciuman mereka. Tangannya sudah tidak tahan lagi. Dia ingin sekali membelai tonjolan kecil di kedua sisi dada nan padat milik Debora.
“Papi!” Panggil Debora sambil menahan tangan John, padahal jarak tangan John tinggal beberapa inci lagi.
Geraman tertahan terdengar, John merasa kesal karena hasratnya yang sudah menggebu-gebu, tetapi tidak bisa dia lepaskan.
“Itu…! Itu…!” Debora menundukkan kepalanya tergagap dengan semburat merah hinggap di kedua pipinya.
Tanpa menunggu percakapan Debora selesai, John berlari ke dalam kamar mandi lalu membuka kran shower. Air dingin mengalir di sekujur tubuhnya membuat penatnya hilang seketika. Sebenarnya bisa saja dia bermain solo. Tetapi John benci melakukannya sendiri. Rasanya akan beda bila dia melakukannya bersama dengan pasangannya. Dia membayangkan betapa nikmatnya bila bisa sampai menusuk lubang senggama rapat kewanitaan milik Debora.
“Ssssstttt….!” Pikir John menjambak rambutnya sendiri.
Sedangkan Debora menghembuskan napas lega, tidak mungkin dia mengulang kejadian malam itu lagi. Area selangkangannya saja saat ini masih terasa sakit sekali. Mungkin dia tidak bisa menahan rasa sakitnya itu.
John keluar dari kamar mandi dan matanya langsung saja tertuju pada Debora yang sudah berbaring di atas ranjang. Dia merasa aneh pada dirinya. Tidak pernah dia rasakan gairah panas seperti ini, yang seolah-olah membakar tubuhnya, walaupun hanya sebuah ciuman dari Debora.
“Apakah aku sudah berubah menjadi pria tua yang membutuhkan seorang wanita untuk melepaskan hasrat liarku ini?” John lagi-lagi menjambak rambutnya dengan kesal. Dia merasa benar-benar sudah tidak waras lagi karena semalam meniduri anak angkatnya yang umurnya jauh lebih muda dari dirinya. Ya, meskipun Debora bukan anak kandungnya. Namun, dia menyadari akan hal itu. Mungkin dia akan dicap sebagai seorang pembual!
John menarik langkahnya menjauhi ranjang yang sedang ditiduri Debora. Dia tidak mau menyiksa dirinya sendiri dengan tidur di sebelah gadis itu. Sangat dipastikan kalau Debora akan berteriak minta dilepaskan darinya.
“Nghhh……! Papi mau pergi kemana? Ayo tidur di sini saja bersamaku.” Debora tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya sambil mengusap kedua matanya.”
“Oh, Sial!” Umpat John dalam hati.
Bersambung…………………………..