Bab 2
Keesokan harinya, seorang asisten rumah tangga membawakan sarapan pagi untuk Debora. Betapa shock-nya dia melihat wajah nona mudanya sudah menjadi pucat pasi. Bibir Debora terlihat pecah-pecah tampak seperti kekurangan air alias dehidrasi. “Nona……! Nona….! Ayo bangun!” Panggil asisten rumah tangga itu panik sambil menggoyang-goyangkan badan Debora. Namun, tidak mendapat jawaban dari Debora.
Segera dia menemui penjaga di depan pintu. “Cepat kalian panggil Tuan John! Nona Debby sepertinya pingsan!”
Tidak beberapa menit kemudian, sosok pria tampan dengan rahang keras yang ditumbuhi bulu dengan penuh bewok menambah wibawa dan perkasanya dia sebagai laki-laki yang matang.
“Debby….!” Panggil John panik.
Kondisi Debora tetap masih sama seperti yang tadi, tidak ada respon untuk menjawab. Tanpa menunggu lama, dengan sigapnya John menggendong Debora membawanya ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit.
“Bagaimana kondisinya, dok?” Tanya John terlihat sedang mencemaskan kondisi Debby saat ini.
Dokter yang menangani Debora mengela napas, bermaksud ingin menjawab pertanyaan John, namun keburu dipotong oleh John.
“Apa maksud Anda, dok? Apa Deby tidak bisa tertolong lagi?!” Seru John dengan panik.
Dokter itu dibuat sampai kawalahan dengan sikap John yang panik, segera dia menurunkan tangan John yang saat itu sedang memegang erat tangannya.
“Ckkk….! Sabar, Pak John! Sabar! Tolong tenangkan diri Anda dulu. Tarik napas Anda. Tenangkan diri Anda yang tampak panik itu!” Kata dokter itu menenangkan keadaan John yang sedang cemas dan panik saat ini.
Setelah John tenang, barulah dokter itu melanjutkan kata-katanya. “Saya tadi belum selesai bicara, Anda sudah potong. Debby baik-baik saja sekarang! Dia cuma butuh istirahat saja.”
Mendengar penjelasan dari dokter itu, akhirnya John bisa membuang napas lega. “Terima kasih, dokter.”
Setelah mendengar kabar baik itu, John berjalan menuju kamar Debby. Kedua alis tebalnya saling bertautan, menunjukkan bahwa dia saat ini sedang dilanda kemarahan.
Matanya menyapu di sekeliling kamar inap itu dan didapatinya jendela yang sedang terbuka lebar.
“Andi! Cepat kau carikan posisi Debby sekarang!” Teriak John.
Para suster dan pasien yang sedang berada di kamar itu sangat terkejut dan takut manatap ke arah John. Mereka ingin memberi peringatan, namun aura panas itu terlihat jelas di ubun-ubun John, sampai-sampai membuat para suster itu memilih untuk berdiam diri saja daripada mereka mendapat masalah.
Di sisi lain, dalam hati Debora tertawa puas. Dia sebenarnya tidak pingsan. Dia hanya kelaparan dan kehausan, sehingga membuat tubuhnya lebih lemas dari sebelumnya. Namun, baginya ini adalah kesempatan yang bagus seperti ini tidak mungkin dia sia-siakan begitu saja.
“Hallo, papi!” Gumam Debora dengan senyuman kemenangan.
*****
Debora berjalan dengan senangnya tanpa menyadari ada sebuah mobil mewah memberinya klakson yang keras. Kakinya terhenti setelah tujuannya sudah berada di depannya. Sebuah klub, tempat favoritnya.
Pria yang sedang duduk di dalam mewah itu mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia sangat membenci suasana di dalam klub yang selalu saja berbau alkohol dan juga rokok. Terutama wanita-wanita yang berada di dalam sana seolah-olah lapar dan mau memakannya.
“Kamu ikut aku, Andi!” Perintah John sambil keluar dari dalam mobil.
Sementara di dalam klub itu, Debora sudah berdansa dengan riangnya di atas lantai dansa. Baju kemeja yang dipakainya itu dibuka sampai menampilkan sedikit belahan dadanya.
Andi menunjuk ke arah seorang gadis yang sedang berada di atas sana. John spontan memalingkan wajahnya mengikuti arahan jari telunjuk anak buahnya itu. Hembusan napas cemas dan gusar dikeluarkan dari bibirnya sambil berjalan menghampiri Debora.
John melihat seorang wanita berpakaian seksi menghalangi jalannya. “Andi!”
Seolah Andi paham dengan panggilan John itu. Kemudian dia menarik wanita itu menjauh dari John.
Tanpa mengulur waktu lagi, John mempercepat langkahnya. Jas hitamnya dia lepaskan kemudian dia lingkarkan di kedua bahu Debora.
“Eh, papi!” Kata Debora kaget. Dia tidak mengira kalau John akan datang ke tempat itu mencarinya.
John tidak membalas ucapan Debora. Dia mengendong Debora ke pundaknya. Tentu saja, Debora terkejut. Bahkan Debora sangat malu dilihat oleh orang-orang yang berada di sana.
“Papi John! Turunkan aku!” Teriak Debora yang sama sekali tidak digubris oleh John.
John menurunkan Debora tepat di depan mobil mewahnya. “Cepat naik ke mobil! Jangan membuatku marah, Debby! Cepat masuk!”
Debora sampai takut dibuatnya. Mulutnya dia tutup rapat-rapat dan segera dia menuruti perintah John masuk ke dalam mobil. Selama 20 tahun, baru pertama kalinya dia membuat John menjadi semarah itu, hingga John membentaknya di depan umum seperti itu.
Mobil mewah itu melaju dengan perlahan-lahan dan berhenti di sebuah mansion yang mewah dan megah itu. John langsung turun tanpa berkata apa-apa. Sedangkan Debora hanya menundukkan kepalanya sambil memainkan jari-jari tangannya.
“Ma… Maaf!” Kata Debora pelan.
Tidak ada jawaban yang dikatakan oleh John. Dia terus melangkahan kakinya neik ke atas tangga. Debora mengejarnya sambil berlari di depan John dan menahan pria itu. “Papi, jangan marah lagi padaku. Aku minta maaf.”
“Sekarang istirahat saja.” Sahut John kemudian melenggang menuju kamarnya.
Deby mengerucutkan bibirnya, kemudian menghentakkan kakinya lalu menuju kamarnya. “Ishhh…….! Papi apaan sih? Apa salahnya kalau aku bersenang-senang?!” Keluh Debora sambil membuang jas hitam milik John ke lantai kemudian menginjaknya dengan kasar.
Rupanya Debora sudah kelelahan. Akhirnya dia duduk di tepi ranjangnya. “Entah kenapa dia bisa sampai marah-marah seperti itu? Harusnya dia tidak perlu marah-marah. Arrrghhhhh……!” Gerutunya sambil mengacak-acak rambutnya kemudian berbaring di atas ranjangnya tanpa mau memikirkan kejadian barusan.
******
Deringan keras menggema di kamar Debora, sehingga membuatnya mendumel kesal. Waktu baru menunjukkan pulul delapan pagi, tapi sudah ada yang menganggu tidur cantiknya. Dengan segera dia bangun dan mengucek matanya dan merampas benda pipih yang berada di atas nakas. “Hallo!” Sapanya dengan malas.
“Hallo! Debora! Malam ini kita clubbing, yuk! Dengar-dengar ada banyak mahasiswa berasal dari kampus terkenal di sana nanti. Kita datang ke sana nanti malam, !” Kata Fani Amalia, sahabat baik Debora dan juga temannya di kampus.
Langsung saja kantuk yang dirasakan Debora langsung lenyap mendengar ajakan Fani itu. “Mau! Aku mau ikut, Fan! Jam berapa kita berangkat?”
“Seperti biasa, jam 7 malam. Aku tunggu kamu di sana ya, Deb! Jangan telat ya!” Ucap Fani dengan gembiranya.
“Ok. Sip! Kamu tenang saja! Aku pasti tidak akan telat sampai di sana!” Ujar Debora.
Suara deru mesin mobil yang terdengar semakin menjauh manandakan bahwa John sudah berangkat ke perusahaannya. Mendengar deru itu, Debora langsung saja berteriak kegirangan. “Yes! Clubbing lagi malam ini! Mumpung hari ini hari Sabtu, biasanya papi John pasti bakalan pulang larut malam. Aku bebas malam ini. Dan pastinya papi tidak akan tahu aku pergi kemana.”
Rupanya kemarahan John semalam tidak membuat Debora jera. Bahkan semakin menjadi-jadi. Bagi dirinya klub malam itu adalah hidupnya dan dia tidak mungkin meninggalkan tempat itu.
Bersambung…………