Bab 8 Rintangan
Bab 8 Rintangan
Jana membekap mulutnya dengan kedua tangannya. Matanya liar menatap kiri dan kanan. Seisi mall tengah menjadikan mereka berdua pusat perhatian. Ditambah dengan Gama yang berlutut memegang satu tangan Jana sambil menyanyikan lagu Westlife. Suara Gama yang berat membuat bulu roma Jana merinding. "Jana, will you marry me?" ucap Gama.
Cahaya terang memenuhi ruangan itu dan Jana pun tersadar dari mimpinya. Di sampingnya Bi Sumi sedang tersenyum. Lalu memberikannya telepon dari Gama.
"Mbak, kamu lagi apa?"
"Hem. Tidak ada."
"Saya sekarang berada di rumah pamannya, Mbak."
"APA???" Jana terkulai lemas di samping kasurnya,
****
Gama memarkirkan motornya di depan rumah tua dan usang. Dari dalam rumah terdengar suara derap langkah kaki dan pintu berderik. Memperlihatkan laki-laki tua yang sedang kebingungan. Ditambah lagi dengan kedatangan Gama semakin membuatnya bingung.
"Maaf, kamu siapa ya?" tanya Abil setengah senyum dan mempersilakan Gama duduk.
Mereka kini saling berhadapan. Gama meneguk air putih yang diberikan Abil.
Laki-laki yang memakai hoodie itu langsung berbicara ke intinya. Ia menjelaskan persoalan yang dia lakukan pada Jana. Keponakan kesayangannya. Puncak amarah Abil tidak bisa ia tahan. Ia memukul wajah Gama tiga bersamaan. Menendangnya. Bahkan melemparkan Gama ke dinding. Sedangkan cowok itu diam dan tak membalas. Ia tahu apa yang dirasakan oleh Abil. Dan dirinya juga bersalah. Sudah seharus dan sepantasnya ia mendapatkan ini semua.
"Pak, saya tahu itu kesalahan saya," ucap Gama.
"Iya, itu memang salah kamu. Karena kamu ponakan saya tersakiti." Brukk
"Apa dengan pukulan itu masalah ini akan selesai?" Suara Gama menggema, nyaring dan kuat. Sehingga Abil tidak menlajutkan pukulannya lagi. Kepalan dan tangis menyatu padu. Bagaikan suara tangis yang terhalang oleh dinding tinggi dan tebal. Bersuara tapi tidak terdengar.
"Saya akan bertanggungjawab atas kehamilan Jana. Saya akan membawa kedua orang tua saya ke sini. Nanti malam." tegas Gama.
Sang paman yang mendengarkan kata-kata itu pun menangis bahagia. Ia berpikir bahwa Gama akan lari dari tanggung jawabnya, sama halnya dengan kebanyakan para bintang papan atas lainnya. Yang memberikan sejumlah uang, lalu menghilang dalam terang. Takicuah di nan tarang (tertipu dalam terang).
"Sebagai seorang laki-laki sejati. Kamu harus bisa membuktikan ucapanmu."
Jana di antarkan pulang oleh Bi Sumi. Gama meneruskan latihannya dengan hati yang khawatir.
Suara panggilan tersambung. Lalu suara halus dan lembut menyapa gendang telinga Gama. Bocah laki-laki itu menceritakan semua kronologi kejadiannya pada sang Ibu. "Ibu dan Ayah akan sampai dalam 3 jam. Jadi kamu harus bersiap-siap begitu pun dengan gadis yang kamu cintai." Tut tut tut
Dari samping, Faisal tengah menguping pembicaraan Gama dengan Ibunya. Kini Faisal paham kenapa Gama tiba-tiba berubah menjadi dingin dan tak bersahabat. Ia pun menceritakannya pada kedua sahabatnya. Mereka bertukar pandangan dan bermaksud untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya pada Gama.
Riko menemui Gama yang sedang menyesap sebotol air putih dingin. Matanya setajam mata elang yang melihat Riko seperti gundukan daging mentah yang siap ia santap.
"Oke. Aku mengaku salah. Aku minta maaf."
"Kamu pikir semua masalah yang aku hadapi sekarang bisa selesai dengan ucapan maaf kamu?!" Gama melemparkan botolan minuman tepat di hadapan Riko.
Kedua sahabat ini seperti api. Mereka akan dengan gampang tersulut emosi. Tak jarang Gama yang selalu mengalah demi Riko. Untuk kali ini, Gama tidak akan mau mengalah lagi. Perlakuan Riko sudah sangat merugikan orang lain. Apalagi itu adalah Jana. Seorang gadis malang yang tak memiliki masalah apa pun dengannya atau teman-temannya.
Jana sedang disidang oleh paman, bibi dan sepupunya. Caci makian dan umpatan terus terngiang di indra pendengarannya. Ia hanya bisa menunduk dan mengusap bola air mata yang deras. Suara teriakan terus menghujam jantungnya. Hatinya terasa beku dan tak bisa merasakan apa pun. Kecuali rasa sakit.
“Dasar perempuan tak tahu diuntung!! Sudah dibesarkan malah melempar api kepada kami!!!”
“Jahannam!!!”
“Perempuan pembawa sial!!!”
PLAK!!!
Satu tamparan dari bibinya sudah mengenai pipi mulus Jana saat ini. Setelah cacian dan makian harus diterimanya saat ini.
"Maafin Jana paman. Jana gak bermaksud hiks... hiks... buat malu paman hiks... hiks..." Gadis malang itu terbata-bata dan tertatih untuk mengungkapkan rasa bersalah dan sesalan yang pada akhirnya hanyalah percuma dan sia-sia. Nasi sudah menjadi bubur. Tak mungkin lagi menjadi beras. Begitu pun dengan dirinya.
Hidup tidak ada yang tahu. Bisa saja yang baik mendapatkan masalah yang sangat berat bahkan itu bisa membuatnya frustasi dan depresi. Tak jarang juga mereka akan menyakiti diri sendiri dan memilih untuk mengaakhiri hidupnya.
Bahkan untuk yang jahat saja mereka dengan tenang dan santai menghadapi semua kenyataan. Yups, bukan berarti mereka yang jahat tidak punya hati. Melainkan mereka mencoba untuk tegar dan menguatkan diri menjalani masa-masa kelam.
"Anak pembawa sial! Usir saja dia dari sini, Mas!" Zola menjambak kuat rambut Jana hingga gadis itu meringis kesakitan dan menumpahkan netranya mengenai tangan Zola yang makin membuatnya marah.
Ditambah lagi dengan kedatangan Nadin yang mengompori Ibunya untuk terus menjambak dan menampar pipi Jana.
"Sok suci kamu! Tahunya kamu rusak!" Nadin meludahi wajah Jana diikuti dengan senyuman getir. Ia mengangkat dagu Jana kasar lalu melepaskannya hingga sudut bibir Jana berdarah terkena sudut meja.
***
Keempat sahabat itu mengelilingi meja bundar. Mereka mencari solusi atas masalah Gama. Banyak usulan dan masukan, namun tak ada yang bagus menurut Gama. Ia terus bersikeras untuk mempertahankan janin yang ada di perut Jana.
"Kamu memang sudah gila!"
"Sakau ini orang," tambah Faisal.
"Kamu mabuk atau bagaimana, Man?! Itu bayi tidak ada dosa. Kok kamu mau main matiin saja." Satria menggebrak meja.
"Jadi maksud kamu Gama harus nikah sama itu perempuan tidak jelas dan band kita mau ditaruh di mana?" balas Riko menggebrak meja.
Terjadi pertikaian antara keempat sahabat itu. Vera masuk dengan membawa empat kantung plastik bening. Wajahnya dipenuhi dengan tanda tanya melihat ruangan yang berantakan serta ia pandangi secara bergantian wajah-wajah anak didiknya. Vera mengernyitkan alis. Meletakan asal bawaanya. Berjalan memutari orang per orang.
"Ada apa, Man? What happen?" ucap Vera ala barat.
"Kenapa kalian semua saling diam-diaman be gini. Hellooo..." Vera bertepuk tangan mencairkan suasana. Tapi sayang, kebisuan yang membara telah merayap di antara mereka.
"Sekarang siapa yang mau bertanggungjawab untuk menjelaskan a apa sesungguhnya yang terjadi brother and brother?!!"
Lima belas menit berlalu. Tidak ada yang menjawab pertanyaan atau cercaan yang keluar dari mulut Vera hingga mulutnya berbusa sekali pun. Ia meneguk asal minuman yang dibawanya.
"Oh Tuhan. Kenapa dengan kalian semua!!!" Vera melipat kedua tangan di dada. Pasrah. Tidak mau bertanya atau berbicara. Ikut diam.
Keheningan mengisi ruangan 3 x 6 x 3 meter. Satria berdiri. Menceritakan kronologinya kepada Vera. Vera saksama menyimak apa yang dikatakan Satria yang sesekali dibantu Faisal menambahkan kata-kata yang kurang. Mulut Vera ternganga mendengar menanggapi pernyataan dan kenyataan yang ada. Vera memutar bola matanya, menatap sinis Riko yang memaang wajah dingin.
"Yang dikatakan teman-temanmu itu benar. Itu adalah kesalahan orang dewasa. Tak seharusnya dia menjadi korban pembunuhan. Ingat, dia adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk mengisi hari-hari di dunia ini," jelas Vera, menghembuskan napasnya.
***
Jana mengarahkan netranya di atas kasurnya yang keras. Matanya kini sembab dan suaranya parau karena menahan dada yang sesak dan kepalanya tiba-tiba pusing. Ia tak sadarkan diri. Abil langsung menelpon Gama. Laki-laki itu kini memegang erat tangan Jana. Memberinya kekuatan. Rasa cemas menyatu dengan amarah.
"Itu siapa Ma? Nadin seperti pernah liat dia di TV deh, Ma."
"Ya ampun. Itu Gama. Sosweet sekali..." Beberapa fans fanatik Gama langsung mengambil foto dan video Gama.
“Hah? Gama si drumer terkenal itu? What?! Haaah!!!" teriak Nadin histeris.
"Sial! Kenapa harus si Jana manusia super duper katrok itu. Why?? Kenapa bukan aku. Why?" dengus Nadin kesal.
Dia dan sang Ibu merencanakan untuk membuat Jana keguguran dan tidak bisa bersama Gama lagi. "Aku akan membuat hidup kamu tambah menderita Upik abu, huh!!"