Bab 7 Sarayu
Bab 7 Sarayu
"What? Kamu sudah ada pacar?!" pekik Satria tidak percaya.
"Kalian terlalu sepele dengan Gama. Begini-begini dia paling banyak fans," tambah Riko. Riko mengalungkan tangannya di bahu Gama yang mana langsung ditepis oleh Gama. Kawan-kawannya terheran dengan sikap Gama yang tiba-tiba menjadi aneh.
Semuanya bertukar pandangan. Kecuali Gama. Laki-laki itu memilih memainkan ponselnya. Melihat seorang gadis yang sedang berjalan melihat isi kamarnya. Senyuman terangkat dari kedua sudut bibirnya.
"Kamu kenapa Gam?"
"Kamu semua pura-pura bodoh atau sebenarnya memang bodoh?" ucap Gama, menurunkan satu kakinya. Menatap setiap inci muka-muka yang merasa tidak berdosa.
"Maksud kamu apa?" Satria terpaut emosi mendengar ucapan Gama yang seperti merendahkan harga dirinya.
Riko adalah cowok yang mudah tersinggung. Menganggap dirinya selalu benar dan harus selalu benar. Semacam sifat perempuan bukan. Ya itulah Riko.
"Gam, kamu bilang saja apa permasalahannya. Pasti kami akan mengerti kok," ucap Satria menenangkan Gama yang ikut emosi melihat Riko yang berdiri di depannya seperti jagoan. Gama setengah tersenyum melihat Satria yang berpura-pura baik. Padahal mereka semua sama. Sama-sama bajingan.
Satria memiringkan kepala dan menyipitkan mata. Mulutnya setengah ternganga. Apa yang sedang dikatakan Gama. Semuanya terjadi begitu saja. Tanpa ada penjelasan Gama marah-marah tak menentu.
"Aku butuh penjelasan," sergah Riko.
"Kalau kamu merasa bersalah pasti kamu tahu apa yang aku maksud?" Gama bergidik ngeri dan pergi dengan kakinya yang jenjang.
"Apa karena minuman waktu itu?" gumam Faisal melemparkan badannya ke kursi dengan kedua tangan menutupi wajahnya penuh penyesalan.
"Shit!!" Riko menendang tembok yang tak berdosa dan memukul dinding berwarna hijau muda itu.
"Semua karena kamu!!!" Satria berdiri, menunjuk kasar Riko. Kedua mata Riko langsung memerah dan mendadak emosinya tersulut api. Riko melompati Satria. Badannya terpental ke atas lantai. Faisal mencoba untuk memisahkan kedua sahabatnya itu. Tapi sayang, tenaganya tidaklah cukup kuat untuk menghadapi dua badan yang lebih besar darinya. Faisal bingung dan satu-satunya cara ialah memanggil Gama. Di antara mereka berempat, Gama lah yang paling disegani dan ditakuti.
"Gam, GAWAT GAWAT!!!" Faisal ngos-ngosan dan terbata-bata.
"Kamu tenang dulu, " timpal Gama, menaikan sebelah alisnya.
"Ri--riko da--dan Satria. Bertengkar!!"
"Oh."
"Ayolah bantu aku memisahkan mereka. Kita ini sahabat, Man." Faisal menepuk kecil bahu kanan Gama.
Mereka berdua pun berlari ke lantai atas. Sesampainya di sana, Satria babak belur dihajar Riko yang seperti kesetanan.
"Lawan kamu itu aku, bukan dia!" ucap Gama membantu Satria bangkit.
"Kamu itu banci. Pengecut!!" hardik Riko. Mencondongkan tubuhnya ke depan.
****
"Neng, istirahat saja dulu. Sebentar lagi Den Gama pulang kok."
Bi Sumi datang membawakan secangkir jus lemon lalu memberikannya pada Jana yang tersenyum.
Itu adalah kali pertama baginya menerima minuman atau disuguhkan minuman. Oh senangnya hati Jana saat itu. Biasanya dia yang selalu menyuguhkan minuman atau makanan pada keluarga pamannya. Apalagi sang Bibi dan sepupu tidaklah suka sedikit pun pada Jana. Entah apa yang sudah diperbuat Jana sehingga mereka membenci dirinya.
"Neng kenapa bengong?" Bi Sumi mencolek pipi Jana hati-hati. Bi Sumi takut Jana akan marah karena disentuh oleh seorang pembantu rumah seperti dirinya.
"Loh Bibi kenapa?" tanya Jana, memegang tangan tua yang menampakan urat nadi di tangannya yang terlihat.
"Maaf jika saya lancang menyentuh Neng. Saya tidak bermaksud begitu saa—”
Jana tersenyum. Mengangkat dagu Bi Sumi, lalu mengecup punggung tangannya. Mata Bi Sumi berbinar tiada tara. Dadanya sesak tak tertahankan.
"Bibi kenapa menangis?" Jana panik melihat netra Sumi yang memerah.
"Itu karena Mbak orang yang spesial dan pertamanya teman perempuan saya yang tidak memarahi Bibi karena sudah menyentuh Mbak." Gama datang lalu menyalim tangan Bi Sumi dengan penuh hormat.
"Hah? Teman perempuan? Berarti aku bukan orang pertama yang datang ke rumah ini?" gumam Jana pelan, tapi masih bisa di dengar.
"Iya, Mbak. Tapi cuma Mbak yang bisa masuk ke kamar saya."
Mata Jana melotot tak percaya. Apakah dia bisa mempercayai kata-kata dari Gama. Ia adalah cowok famous dan sedang diambang ketenaran. Bahkan cewek-cewek di luar sana berjejer untuk bisa bertemu dengannya. Mereka juga cantik dan sederajat dengan Gama. Lalu apa kabar dengan dirinya yang tak seberapa itu?
Jana melihat tampilannya. Baju yang lusuh, celana yang memudar, wajah yang berseri dan rambut acakan serta bau.
"Penampilan bisa dirubah. Tapi hati tidak bisa dirubah."
Duggg!!!
99% laki-laki pasti memandang wanita dari fisiknya. Hanya 1% lah laki-laki yang benar menerima seorang wanita yang melihat kebaikan hati. Bukan dari penampilan. Tidak percaya. Buktikan sendiri.
Jana minder mendengar ucapan Gama. Dia menghindari tatapan Gama yang tak berpaling dari Jana. Jana gugup tiada tara sehingga lututnya gemetar. Ia menggosokan kedua tangannya. Dan terus-menerus menggerakan bagian tubuhnya yang lain.
"Gugup?" tanya Gama.
"Heem."
Tawa Gama pecah melihat raut wajah Jana yang memerah seperti tomat. Pipinya memanas dan napasnya naik turun.
"Siap-siap ya, Mbak?"
"Kita mau ke mana memangnya?" tanya Jana heran.
"Ke suatu tempat."
"Tapi?"
"Mbak silahkan pilih baju yang ada di lemari sana. Semua sudah saya siapkan."
***
Jana keluar dengan menggunakan pakaian baru dan sudah wangi. Mungkin dia mengira dirinya sudah cantik. Tapi sayang, baju yang dipilih Jana bukan gaun atau dres semacam wanita lainnya. Melainkan baju kaos polos berbahan lembut dan dingin. Rambut panjangnya dikucir dengan rapi. Gadis itu melangkah dengan malu-malu mendekati meja bundar berwarna coklat tua. Di sana sepasang mata sedang menatapnya. Ya, kecantikan alami yang dimiliki Jana membuat hati Gama bergetar.
Jana melihat dirinya melalui kaca jendela. "Apa aku terlihat lucu dengan pakaian ini? Padahal aku sangat suka dengan pakaian ini." batin Jana.
Laki-laki yang memakai hoodie hitam celana pendek itu mendekati Jana yang berdiri mematung.
"Mbak adalah wanita paling keren menurutku."
***
Mereka kini sudah berada di sebuah mall mewah. Yang mana dipenuhi dengan pembeli seperti semut yang sedang menyelimuti gula yang berserakan.
Jana adalah gadis desa. Yang dia tahu hanyalah bekerja, bekerja, dan bekerja. Setelah bekerja, ia akan mengerjakan pekerjaan rumah. Ia tidak kenal lelah. Strong is woman.
"Mbak silahkan dipilih-pilih mana yang suka." Gama mempersilahkan Jana untuk memilah-milah baju, sepatu, celana, tas dan aksesoris.
Semua barang bermerek terpajang. Mulai dari barang impor dan ekspor. Merek Gucci, Comfy, Prada semua tersedia.
"Gam, kita pulang saja ya. Lebih baik kita beli di pasar saja. Lebih murah," bujuk Jana.
Gama nyengir kecil sambil menggeleng. Senyumnya tertahan di balik wajahnya yang dingin dan cuek.
Laki-laki yang memakai hoddie itu melemparkan kepalanya ke belakang. Jana yang merasa malu perlahan mundur.
"Gini aja, Mbak. Aku tantang pakai baju yang aku pilih. Dengan syarat tidak ada penolakan." Gama menari-narikan jari telunjuknya di depan hidung Jana.
Di luar. Para gadis sedang melihat Gama sang drumer terkenal itu bersama dengan seorang gadis kampung.
"Siapa sih dia? Kok bisa dekat dengan Gama."
"Jelek saja belagu. Iih."
"Woi! Gadis kampungan. Kamu tidak pantas dengan Gama. Kamu itu bagaikan langit dan bumi. Sadar woi. WOI!!" sorakan para gadis-gadis itu menarik perhatian Gama. Ia menatap mereka bergantian. Tak adalagi senyuman seperti biasa. Yang ada hanyalah tatapan sinis. Gadis-gadis berpakaian ketat itu berlarian dan meninggalkan Gama serta Jana. Untung saja Jana tidak mendengar makian mereka. Kalau iya tentu gadis yang malang itu akan sedih.
Gadis desa yang tadinya memakai kaos berubah menjadi seorang model profesional. Lengkap dengan make up yang menyapu setiap inci lekukan wajahnya. Dengan risih Jana keluar menutupi bajunya yang menampilkan dadanya. Gadis itu menutupi dengan kedua tangannya dan malu.
"Perfect." puji Gama.
"Saya tidak betah menggunakan pakaian ini, Gama. Saya ingin ganti saja."
"Tunggu!!!"