Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Sudah Berpunya

Bab 6 Sudah Berpunya

Taman kota yang tampak sepi dan lengang itu menghadirkan suasana yang mencekam antara dua mahkluk manusia yang sudah saling merindukan. Bahkan dari mana rindu itu datang pun tak tahu alamnya. Seketika perasaan yang membisikan untuk tetap menanti dan menunggu hadirnya seorang laki-laki yang sudah berhasil membuatnya hancur malah berubah menjadi benih-benih cinta. Bukankah itu gila?

Jana memainkan jari-jari tangannya. Serta kakinya ia hentak-hentakan kecil ke tanah. Apakah ia harus senang atau malah benci? Huh, entahlah. Jana benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya.

"Maaf saya datangnya terlambat karena macet," ucap Gama, lalu duduk di samping Jana yang menundukan kepalanya. Gama mengulum senyum melihat Jana yang malu-malu dak tidak ada keberanian untuk menatap dirinya yang hampir sebulan kurang ini selalu memikirkan tentang gadis yang tengah duduk di sampingnya itu.

"Apa yang ingin kamu sampaikan padaku, Mbak?" tanya Gama sekali lagi.

Jana gugup ketika mendengar Gama memanggilnya dengan sebutan 'Mbak' tapi ia tak menjadikan itu masalah. Toh memang benar. Mereka terpaut 2 tahun, lebih tua Jana.

Tukang es menghampiri mereka. Gama membeli dua potong es.

Dari situlah Jana bisa mengungkapkan apa yang ingin dia sampaikan.

"Apa? Kamu---"

Jana mengangguk. Gama sangat shock. Dunianya hancur seketika. Bumi seakan berguncang seraya mendengar ucapan yang keluar dari mulut Jana yang seketika membisu tak bersuara lagi. Tiupan angin membawakan berita yang menyesakan dada, panas mentari kini tak lagi menghangatkan bahkan itu sangat membakar hati. Langit-langit redup seiring dengan gemuruh hujan yang membawa air mata membanjiri palung hati terdalam. Serta menghancurkan pertahanan baja setinggi menara tempat Rapunsel dikurung. Bahkan malam pun enggan untuk datang.

Kedua tangan Gama dingin. Es yang tadinya dimakan mencair karena hembusan angin.

"Kamu serius dengan ucapanmu?" tanya Gama sekali lagi. Tak percaya. Bagaimana ia akan menghadapi sesuatu yang tak pernah dipikirkannya itu? Sementara karirnya sedang diambang puncak?

Kedua netra Gama memerah, perih dan menjatuhkan bola-bola berlian yang sangat ia jaga. Bahkan saat dirinya mengalami kecelakaan parah. Tetapi mendengar ungkapan dan melihat benda pipih bergaris dua itu merobohkan kekuatan seorang Gama.

"Lalu sekarang bagaimana?" Gama bertanya, menatap burung-burung yang terbang di langit.

"Terserah maumu bagaimana."

Deg

Jantung Gama seakan ingin keluar mendengar perkataan Jana yang dengan mudah menjawab kata 'terserah'?

"Jika saya tidak mau bertanggungjawab, apa yang akan Mbak lakukan?"

Jana menyeka netranya dengan punggung tangan yang gemetaran. Apa yang dipikirkannya tidaklah sama dengan kenyataan yang ia terima. Gadis itu berharap Gama akan mengatakan 'saya akan tanggungjawab', bukankah itu adalah jawaban dari seorang laki-laki sejati?

Ya, Gama akan dengan sangat mudah mencari wanita lain yang bersedia tidur dengannya tanpa adanya paksaan.

"Kenapa Mbak tersenyum?"

Jana menghela napasnya, menguatkan diri agar tersenyum menghadapi masalah yang pahit itu. "Jika kamu tidak mau bertanggungjawab atas kehamilanku ini. Ya sudah. Aku pun tak bisa memaksamu. Kamu melakukan itu di luar kesadaranmu. Jika pun kamu sadar,tentu laki-laki sebaik kamu tidak akan melakukan hal sebejat itu bukan?" Jana bangkit dari bangku yang sedari tadi menemaninya itu. Ia memunggungi Gama yang terlihat depresi serta kebingungan.

Jana membalikan badannya, lalu menatap sendu Gama yang menatapnya juga. Terjadilah interaksi lima detik mereka saling bertukar pandangan. Mereka berdua sama-sama tersakiti bukan? Jana hancur karena perbuatan Gama, sedangkan Gama harus menerima akibat yang diperbuat oleh kawan-kawannya.

"Semoga kamu---" Jana berlari kecil sambil mengusap kristal yang lekat di pipinya dengan tangan sambil tersedu-sedu.

Di sepanjang perjalanan pulang. Jana terus meratapi bencana yang menimpanya itu. Tangisnya tak henti-henti berderai mengeluarkan butiran air mata yang sejak sebulan lalu terus menemaninya. "Jana. BODOH BODOH BODOH!!! Kenapa kamu membiarkan laki-laki yang sudah menghancurkanmu pergi dengan semudah itu? KENAPAA??" Jana memukul-mukul kepalanya.

Saat hati dan logika bertengkar. Hati berkata untuk tidak mempersalahkannya karena dia di bawah pengaruh alkohol. Jadi dia tidak bisa disalahkan sepenuhnya bukan?

Sedangkan logika membantahnya. Sadar atau tidaknya, dia harus tetap bertanggunjawab. Bagaimana pun itu adalah darah dagingnya. Secara hukum dia harus bertanggujawab.

Jana benar-benar hancur dan terpuruk. Bibirnya tak bisa lagi melengkungkan senyuman seperti biasanya. Mungkin saja ia akan menjadi manusia yang akan tertutup untuk seterusnya setelah kejadian ini.

****

"Sial!!!" Gama menendang tembok taman. Dia tidak peduli dengan kakinya yang sakit. Gama berlari mencari Jana dan harus menjelaskan sesuatu padanya. Bahwa dirinya akan bertanggungjawab.

"Seperti itukah ajaran dari orangtuamu?" Tiba-tiba suara Gama menghentikan tangisan Jana.

"Maksudnya?"

"Aku akan bertanggungjawab."

Bak petir yang menyambar di siang hari. Tiada hujan tiada angin. Jana mendapatkan jawaban atas persoalannya.

"Jangan banyak tanya. Apakah kamu sudah ke dokter kandungan?" tanya Gama menatap perut rata Jana.

"Belum," ucap Jana pelan.

"Ayo!" Gama menggengam tangan Jana. Sedangkan cewek lugu yang matanya sembab itu tak dapat berkata-kata lagi dan mengikuti ke mana Gama akan membawanya. "Kok malu-malu? Kenapa?"

Jana menggeleng, "Tidak biasa," ungkap Jana jujur.

"Jadi calon ibu dari anakku ini tidak pernah pacarankah?" Gama memasangkan sabuk pengaman. Wajahnya dan Jana dekat. Jana dapat melihat lekukan yang maha sempurna dari wajah Gama. Yang mana dirinya sangat mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini.

"Tidak." Jana menjawab dengan cepat. Memalingkan muka keluar jendela, menatap mobil-mobil yang berjejer di depan karena macet. Sesekali ia menghela napas. Dekat dengan Gama membuatnya sulit bernapas. Bahkan jantungnya pun ingin lari ketika Gama memegang perutnya.

"Keadaanya untuk saat ini baik-baik saja. Tapi jangan sampai stress atau terlalu lelah. Itu akan sangat mempengaruhi perkembangan janin. Apalagi usia kandungannya baru memasuki tiga minggu. Mohon diperhatikan makanan serta asupan gizi yang tinggi ya, Pak, Buk," akhir sang dokter sebelum meninggalkan mereka berdua di antara kain putih yang menutupi ruangan yang menjadi tempat Jana berbaring sekarang.

Dring dring dring...

Ponsel Gama bergetar. Gama meminta izin pada Jana untuk menerima panggilan itu.

"Iya."

"Kamu di mana Gama?! Haduh! Dua jam lagi akan ada sesi wawancara," jerit Vera di seberang sana.

"Iya."

"Kamu jangan iya-iya saja, Gam! Ini untuk masa depan band kita. Jangan egois kamu!!!"

"Susah payah kita buat dapatin tawaran ini. Dan sekarang kamu malah hilang-hilang seperti jailangkung saja!"

"Oke. Aku segera ke sana." Tut tut tut...

Gama menatap Jana yang sudah terlelap. Belum sampai dua menit ia tinggalkan, tetapi gadis itu sudah tertidur saja. Benar apa yang dikatakan dokter. Karena kehamilan inilah yang membuat dia menjadi mudah lelah.

"Mimpi indah ya?"

Gama memarkirkan mobilnya di rumah tingkat tiga yang mana dikelilingi dengan tumbuhan hijau rindang dan bunga warna-warni.

Ketika Jana terbangun dari alam mimpinya yang begitu indah ia dikagetkan dengan seseorang yang tersenyum melihatnya.

"Loh, ibu siapa? Dan saya ada di mana?" Jana melihat sekelilingnya.

"Nama bibi Sumi. Tadi den Gama bilang ke Bibi buat jagain Nengnya."

"Gama?" lirihnya. "Terima kasih ya, Bi. Tapi Ana sudah besar dan Ana bisa jaga diri kok. Bibi boleh keluar kok."

"Ya sudah. Jika Neng butuh apa-apa. Panggil Bibi langsung ya."

"Iya, Bi."

Jana turun dari kasurnya. Kaki jenjangnya mulai berkelana ke setiap sudut ruangan itu. Apakah ini bisa disebut kamar, atau malah ruang tamu. Di dinding terpampang foto Gama beserta rekan-rekannya. Di samping itu, Jana juga menemukan foto-foto kecil Gama yang menggemaskan.

****

Sesi tanya jawab dan wawancara pun berakhir. Gama dan teman-temannya kini duduk di dalam kafe serta menyumbangkan satu lagu ciptaan mereka. Semua penonton bersorak sorai ketika Gama mengakhiri lagu dengan permainan drumnya yang sangat mengejutkan. "Gila! Gama keren sekali main drumnya!"

"Kamu betul. Dia paling keren di antara yang lainnya." Pujian terus mengalir untuk Gama tanpa henti. Paling utama adalah kaum wanita.

Gadis-gadis belia yang terpesona setiap kali Gama melemparkan senyuman serta melambaikan tangan.

"Apa kamu tak tertarik dengan mereka, Gam?"

"Tidak. Aku sudah ada yang punya."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel