Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Benda Pipih Kecil

Bab 5 Benda Pipih Kecil

Jana pulang ke rumah pamannya dengan pakaian yang sangat lusuh serta wajah membiru di sekitar bibir dan sudut matanya. Pikirannya benar-benar kacau. Tidak berani pulang, tetapi akan ke manakah dirinya selain ke rumah pamannya itu?

Hari menunjukan pukul 03:12 dini hari.

Kabut putih tebal menyelimutinya yang tengah meraung di bawah pohon besar. Jana menarik kasar rambutnya. Netranya sudah tak terkira ia tumpahkan bahkan sudah sangat kering. Inikah yang dinamakan menangis darah? Haruskah Jana mengeluarkan cairan merah dari matanya?

"Ma, Pa. Maafin Jana karena tidak bisa jadi wanita yang baik dan menjaga harga diri, Jana," isaknya tersedu-sedu.

Bayangan hitam tinggi dan besar menutupi tubuh Jana. Gadis yang memakai baju kaos biru itu pun mendongak ke atas. Ia dapat melihat seringai yang menakutkan dari seorang drumer terkenal dan yang sudah berbuat bejat pada dirinya. Tatapan itu seakan-akan dia merasa tak bersalah sama sekali. Jana yang melihatnya penuh kebencian serta dendam.

Rasa sesak di dadanya sudah tak tertahan lagi. Ingin rasanya saat itu juga Jana menampar sekuat tenaga laki-laki yang merebut mahkotanya. Tetapi sayang, Jana kehabisan tenaganya. Bahkan untuk berdiri saat itu pun dia tak mampu.

Gama berdecih, lalu mengangkat tubuh Jana. Kali ini tak ada perlawanan dari Jana. Gadis itu pasrah. Merasa hidupnya sudah tak berguna lagi.

Jana menenggelamkan wajahnya di dada bidang Gama seiring keluarnya isak tangis.

"Sudah puas kamu membuat hidupku hancur?!!" geram Jana lemas.

Gama tidak menghiraukan perkataan yang keluar dari mulut gadis yang sudah ditidurinya itu.

Ia merapikan pakaiannya yang berantakan, lalu merebahkan badan di samping Jana yang seketika memunggunginya. Tangan Gama menarik pinggang Jana agar bisa dijadikannya guling.

Entah kenapa rasanya hangat dan nyaman. Ego Gama melonjak dan ingin memiliki Jana seutuhnya. Udara dingin menelusuk merayap membuai agar mereka terlelap. Menghadirkan tenaga untuk menghadapi esok yang mana adalah kenyataan yang tidak diinginkan.

****

Rumah yang terbuat dari kayu yang sudah mulai lapuk itu tampak seorang laki-laki tua yang mondar-mandir. Raut wajahnya terlihat khawatir. Sesekali ia mencoba menghubungi seseorang melalui telepon genggamnya. Lalu keluar dua orang wanita bersamaan dari dalam rumah itu menghampiri pria itu.

"Tak usah dicari itu anak. Biarkan saja dia tak pulang, malahan bagus lagi. Berkurang jadinya beban keluarga ini," ocehnya.

"Tutup mulutmu! Jangan sampai tanganku ini menempel pada mulut kotormu itu!!" bentaknya.

"Ayah kok jadi membentak Ibu sih!" bela gadis muda yang tak terima Ibunya dimarahi karena Jana.

Seorang gadis yang selalu menjadi beban keluarga dan merebut perhatian si Ayah.

Kring kring kring...

Ponsel Gama berdering hingga membangunkan paksa Gama yang masih mendengkur keras di atas kasurnya.

Tangannya meraih ponsel yang ada di atas di meja. "Gama. Ke mana saja kamu. Segera datang! Hari ini kamu ada wawancara di tv lokal. Ini kesempatan yang kalian tunggu-tunggu selama ini. Segera datang atau tidak aku ak..." Tut... tut... tut...

Gama mematikan ponselnya. Kepalanya masih terasa pusing efek minuman semalam. Ia beranjak menuju kamar mandinya.

Ketika sampai di kamar mandi ia dikejutkan dengan Jana yang berlumuran darah dan pucat pasi.

"Astaga!!! Ada apa ini?!" Gama panik. Menggendong Jana ke kasur lalu memanggil dokter langganan.

Laki-laki yang memakai celana pendek itu gelisah dan bertanya-tanya. Kenapa ada perempuan di rumahnya? Dan gadis itu mencoba bunuh diri? Ah, benar-benar gila.

Setelah itu dokter memeriksa denyut nadi Jana yang lemah dan kehilangan banyak darah. Ia menyarankan agar Jana segera mendapatkan donor darah. Gama menghubungi temannya meminta agar dicarikan donor darah tiga kantung AB. Tak selang beberapa jam tranfusi darah pun dilakukan. Kini Jana sudah agak baikan dari sebelumnya.

Ia terbaring lemah di atas kasur yang dipenuhi dengan pipa-pipa kecil. Gama baru menyadari perbuatannya itu. Lantas meminta maaf atas kecerobohan yang dilakukannya.

"Mbak, saya minta maaf atas kekhilafan saya semalam," pinta Gama, menunduk.

Jana diam. Dia memunggungi Gama lalu netranya kembali meloloskan kristal-kristal bening.

"Saya betul-betul tidak tahu, Mbak. Saya berada di bawah kendali minuman. Saya benar-benar menyesal." ulang Gama.

"Apakah dengan permintaan maaf kamu itu bisa mengembalikan mahkotaku yang hancur?!!!" jerit Jana.

"Saya tahu tidak bisa, Mbak. Tapi saya--" Gama menggantung kalimatnya.

"Kenapa?! Laki-laki kaya dan sombong seperti kamu hanya tahunya merusak saja tanpa bisa memedulikannya bukan?!" Kali ini Jana mengeluarkan uneg-uneg yang ada di dalam pikirannya.

Benci yang sangat kentara bercampur dengan air mata. Bingung dan bimbang itu pasti. Mahkota yang sejak kecil ia jaga dengan mudah dihancurkan oleh seorang pria dengan alasan ia berada di bawah pengaruh obat? Sangat klise.

"Saya akan bertanggungjawab dengan perbuatan saya, Mbak."

Ketika mendengar kata-kata itu Jana menatap Gama penuh harap, benci, marah dan berterima kasih.

"Paman! Aku perlu menghubunginya." Jana merogoh tas nya mencari ponselnya yang terjatuh ketika Gama menariknya dengan paksa.

"Pakai hp saya dulu saja, Mbak." Gama menyodorkan ponselnya.

Tangan Jana mulai mengetikan 12 digit angka. Kemudian Jana mengurungkan niatnya.

"Kok tidak jadi ditelpon?" tanya Gama.

“Apa yang akan dilakukan Pamanku jika tahu aku sudah tidak suci lagi?”

Apakah mereka masih mau menerima dirinya di sana? Atau bahkan ia akan dibenci oleh Pamannya yaitu satu-satunya keluarga yang aku punya di dunia ini? isak Jana.

Gama menyesali perbuatannya. Ia tak menyangka jika itu akan berdampak sangat buruk bagi kehidupan seorang gadis seperti Jana.

"Jika mereka menolakmu setelah tahu kejadian ini. Aku akan bertanggungjawab."

"Jika mereka menerimaku, maka kamu tidak akan bertanggungjawab?" Pertanyaan yang langsung menusuk. Pedih. Membuat Gama tertegun untuk menjawab.

"Aku bukan lelaki yang seperti itu. Aku akan bertanggungjawab," ucapnya tegas.

*****

"Halo! Ini siapa?"

"Paman, ini Ana. Maaf Ana membuat Paman khawatir. Ana baik-baik saja kok." Bohong Jana.

"Ana di mana sekarang. Paman akan menjemput Ana. Tidak ada tapi-tapian."

Jana menghela napas. Memasang wajah baik-baik saja. Ia melemparkan senyuman yang biasanya. Hingga tidak ada kecurigaan sedikit pun.

"Jangan diulangi lagi. Paman tak suka kamu tidur di tempat orang. Rumah ini adalah tempat teraman bagi kamu," ucapnya.

"Maaf, Jana tidak akan mengulanginya lagi kok, Paman."

Gama melihat bayangan Jana yang menghilang terhalang oleh pagar batu tinggi itu. Apa yang harus ia lakukan ke depannya? Sedangkan karirnya berada di puncak.

"Semoga saja tidak terjadi apa-apa padanya."

Sudah tiga minggu tidak ada kabar apapun dari Gama. Dia tidak bisa melupakan Jana. Gadis yang setiap saat mengganggu otak serta hatinya. Jadwalnya sangat padat. Bahkan untuk memegang ponselnya pun ia tidak dibolehkan. Mau tidak mau, ia haruslah mengikuti kata-kata manager.

"Akhirnya kita menang juga. Bahkan fans kita bertambah 90% dari sebelumnya. Aku bangga dengan kalian semua." teriak Roy, sang vokalis.

"Yoi. Ini semua berkat Gama. Drumer ganteng dan terkeren sejagat raya, haha." tambah Rasit, menepuk-nepuk bahu Gama bangga.

Gama nyengir menanggapi semua pujian yang terlontar dari mulut teman-temannya.

"Nah gini dong. Band kita banyak ditawari kontrak. Bahkan KOT grup juga ikut menawari kita dengan bayaran yang sangat tinggi," jerit si manager.

Semuanya berteriak histeris dan kegirangan tapi tidak dengan Gama.

"Ponselku mana?"

"Ini." Gama segera keluar ruangan setelah menerima ponsel. Ia menekan tombol power dan mendapati ada banyak panggilan tak terjawab dari Jana.

Ia membuka isi pesan dari Jana. "Ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Segera temui aku di jalan merpati nomor 222 hari ini juga jam 17.00."

Gama melirik jam tangannya dan langsung berlari meninggalkan rekan kerja serta managernya tanpa berpamitan.

Jana menanti kedatangan Gama dengan hati yang bimbang dan bahagia.

Jana mengeluarkan benda pipih kecil itu lalu memberikannya pada Gama yang tampak shock langsung. Jantungnya berdegub kencang. Bahkan sangat kencang sehingga ia merasa sesak napas. Sudut matanya terasa panas. Bibirnya kelu tak bisa berkata lagi.

"Apa? Kamu—?”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel