Bab 11 Kejadian Tak Terduga
Bab 11 Kejadian Tak Terduga
*Flashback On
Gama bingung serta bingung melihat Jana beserta keluarga besarnya pergi dengan kekecewaan dan sakit hati. Ingin rasanya Gama menahan Jana, tetapi sayang, rasa malu dan sakit sudah terlanjur merasuk ke hati. Begitu pun dengan Jana. Sebelum pergi ia memperhatikan wajah Gama yang biasa saja dan tidak ada rasa kehilangan sedikit pun. Itu menambah kesedihan Jana. Di saat dia mengira Gama berbeda dari yang lainnya dan di saat itu juga harapannya hancur.
Netra Jana yang membendung air mata itu seakan mencabik-cabik hati Gama. Dadanya terasa sempit seiring dengan kepergian Jana menaiki mobil keluarga Gama.
"Kami akan mengingat selalu perlakuan dari kalian semua!!!" bentak Abil, membanting pintu mobil.
"Sayang, kamu yang sabar ya. Mama yakin, Jana akan balik lagi ke rumah ini bersama kamu." Lia membelai rambut Gama serta membuatnya tersenyum dengan mencubit kedua pipi anaknya itu.
"Mama tahu itu berat bagi kamu. Tapi, ada banyak hal yang ingin Mama tanya sama kamu, imbuhnya kembali.
Di ruang tamu yang besar. Ada dua televisi yang menempel di dinding, satu kulkas tiga pintu dan AC. Lia memberikan Gama air dingin agar pikiran Gama tenang sedikit.
"Benarkah kamu yang melakukan hal yang tidak pantas itu kepada dia?" tanya Lia.
Gama mengangguk.
"Lalu, ketika kamu melakukannya apakah tidak ada orang lain selain kalian berdua?"
"Tidak ada."
Lia menghela napas. Menatap langit-langit ruang tamu yang berwarna biru langit.
"Apa kamu mencintainya?" Lia bertanya sambil tersenyum.
"Mungkin," jawab Gama enteng tanpa memikirkan perasaannya yang pasti.
"Mungkin? Wah, jawaban yang simpel sekali, Gama. Lia terkekeh geli mendengarnya.
Di sisi lain, Jana sedang dirundung caci makian hinaan. Ia tidak bisa berkata-kata, sedangkan matanya yang menjawab dengan aliran air kristal itu.
Karena tidak tahan dengan omelan bibi dan sepupunya, Jana memaksa keluar dari mobil lalu pergi ke makam Ayahnya. Di sana dia menceritakan semua keluh kesah serta perkara apa yang dihadapinya. Hujan datang membasahi bumi.
Sepertinya bumi mengerti perasaan Jana sehingga sang hujan ikut serta membasuh luka pada Jana.
Gama pergi ke rumah Jana, namun sang gadis tidak ada. Dia kewalahan mencari Jana. Ponselnya pun tertinggal di dalam mobil. Laki-laki itu menjambak kuat rambutnya.
Tidak lama setelah itu, Riko ikut mencari keberadaan Jana. Gama tidak mengizinkan Riko ikut mencari Jana, tapi Riko tidak peduli terus mengikuti Gama. Meski dia harus dimaki habis-habisan dan beberapa kali keningnya mendapat pukulan hebat dari tangan Gama.
Di sisi lain, Riko ingin membalas, tetapi dalam hal ini dia juga bersalah karena sudah membuat hidup keduanya hancur.
Dua motor besar melaju di jalanan yang ramai dan padat. Di mana-mana suara klakson dari benda-benda canggih beroda dua dan empat itu saling menyahut. Ada yang tertawa, sedih, mengumpat dan ada juga yang berani menerobos lampu merah.
Gama dan Riko berbeda arah. Mereka melaju dengan arah berlawanan. Sisi kanan Gama dan kiri adalah Riko. Gama memilih untuk pergi ke tempat di mana pertama kali mereka berjumpa. Taman. Di situlah mereka mengetahui hal yang sangat berat baginya serta Jana. Gama duduk di bangku. Menatap lurus ke depan. Berharap seorang gadis itu akan muncul di hadapannya dengan senyuman khas yang ia punya. Bola matanya seperti biji almond membuat Gama terngiang-ngiang setiap kali menatapnya.
Ponselnya berdering. Dengan segera diangkatnya. Tapi sayang, itu bukanlah panggilan dari Jana. Melainkan nomor baru yang menghubunginya.
Dengan malas Gama menekan tombol hijau. Terdengar suara seorang gadis yang serak dan berat namun masih halus di telinga.
"Siapa?" tanya Gama ketus.
"Hai Gama! Aku Nadin, sepupu si Jana."
Gama langsung melek dan bersemangat ketika mendengar nama Jana disebut.
"Jana sudah ketemu?" Gama bertanya antusias.
"Sudah. Dan sekarang dia sedang bersama laki-laki lain," ujar Nadin tersenyum sinis di seberang sana.
Riko berteduh di bawah pondok kayu setelah berkeliling mencari Jana yang tidak tahu di mana. Ia teringat akan Salsa yang sudah lebih dulu menghadap Tuhan. Setelah hujan agak reda, Riko berjalan ke batu nisan yang kotor terkena percikan hujan. Ia mengelus nisan itu dengan sayang.
Matanya menampakan kesedihan yang berlarut-larut.
"Hei! Apakah kamu baik-baik saja di sana? Pasti kamu tidak merasakan sakit lagi kan! Maaf, baru bisa mengunjungimu lagi. Aku berhasil mewujudkan impianmu. Pastinya kamu senang kan. Huh, tidur yang nyenyak ya sayang."
Riko mencium nisan itu, lalu menaburkan bunga yang dibelinya.
Angin kencang tiba-tiba datang membuat pepohonan bergoyang. Ia segera berlari kembali ke pondok itu mencari perlindungan.
Tidak sengaja ia mendengar suara teriakan diselingi tangisan yang terisak-isak dari beberapa tanah pekuburan darinya. Riko mendekati sumber suara dan melihat seorang gadis yang tengah meraung-raung di batu nisan yang tampaknya sudah pudar. Laki-laki itu tampak sedikit ragu untuk mendekat. Apakah betul itu orang atau malah penghuninya yang sedang ingin mengerjai manusia. Apalagi hari hujan, tidak ada siapa-siapa di sana melainkan dirinya.
Riko memperhatikan gaun yang dikenakannya, itu sangatlah mirip dengan yang dikenakan Jana di acaranya. "Uh, untung kakinya napak. Jadi aman," ucap Riko, menghembus napas lega.
Jderrr!!! Grrrtakk! Grrrk!
Petir menyambar satu pohon yang daunnya rimbun hingga itu mengenai Jana. Riko berlari ke sana, mengangkat tubuh Jana yang tertimpa dahan kayu.
Drak!
Akh!! Jana menjerit melengking saat kepalanya tertimpa dahan dan melukainya.
"Ternyata dia berat juga. Tak seringan yang aku pikir," dengus Riko sambil memindahkan tubuh Jana.
Kini Jana ia baringkan di pondok itu, sedangkan Riko duduk di pinggir gubuk sambil membersihkan bajunya yang basah.
Kening Jana berdarah terkena ranting pohon. Ia mengaduh perih, terbangun dan mendapati Riko sedang duduk di sampingnya dengan tatapan kosong jauh ke dalam pemakaman. Jana pun ikut melemparkan matanya ke makan yang baru saja ditaburi bunga-bunga segar. Dengan memegangi kepalanya ia beranjak dari tidur, lalu ikut menjuntaikan kaki. Mereka sedang di atas bambu-bambu yang tingginya setengah meter.
"Sudah bangun?" tanya Riko.
Jana mengangguk, membalas tatapan Riko lalu mengalihkannya pada atap yang meneteskan air hujan. Tangannya pun bergerak menampung butiran itu. Riko yang biasanya bersikap beku kini perlahan mencair terkena sengatan hangat dari Jana. Kenapa Riko tiba-tiba suka dengan wajah Jana? Ia pun mulai memperhatikan Jana. Terkagum-kagum.
*Flashback off*
Brukkkk!!!
Pukulan hebat melambung di sela-sela lamunannya. Jana begitu terkejut. Gama dengan sangat marahnya menarik Jana agar lebih dekat dengannya.
Gama sangat membenci Riko dan ia takkan segan-segan untuk menghabisi Riko sekarang juga. Riko membasahi bibirnya dengan lidah.
"Eh bos, luka yang semalam saja belum sembuh dan sekarang ingin nambah lagi. Gila tahu tidak?!" cerca Riko.
Gama mengabaikan Riko, ia pun menggendong Jana keluar dari kuburan itu lalu memasukannya ke dalam mobil. Dari jauh Riko terpaku melihat kepergian dua orang itu. Gama membersihkan luka Jana dengan air mineral, memberikannya obat serta memplester luka itu. Jana yang baru pertama kali diperlakukan istimewa ini pun mulai terharu. Netranya buncah dengan bola-bola kristal yang langsung ia seka.
"Kenapa menangis? Aku terlalu kuat ya menekan lukanya?" tanya Gama dengan suara yang halus serta lembut. Dan itu semakin membuat Jana terisak-isak. Ia telah salah sangka tentang Gama. Laki-laki itu sangat perhatian pada dirinya.
"Den Gama seharian ini terus mencari non. Bahkan den Gama tidak ada sarapan sama sekali. Ia takut kalau non kenapa-napa," jelas Bi Sumi.
Kata-kata itu terus terngiang di telinganya. Jana meletakkan kepalanya di lengan Gama. Gama yang heran pun membiarkan Jana bersandar.
Sesekali tangannya membelai rambut Jana yang sedikit basah. Mulut Gama terkatup ketika Jana semakin mengeratkan pegangannya pada Gama.
"Sudah jangan sedih lagi. Aku di sini kok sama, Mbak. Tak akan ke mana-mana."
"Hiks... hiks... ma--makasih," ucap Jana terbata-bata, dadanya semakin sesak mengingat kalimat yang dilontarkan Bi Sumi.
"Putri Mama udah pulang." Lia nyelonong masuk tanpa permisi.
Aduh, Mama, sudah tahu anakmu sedang mesra-mesraan, malah diganggu, Gama hanya bisa bersungut-sungut merasa sebal.
Jana dengan sigap menghapus air matanya. Memberikan Lia senyuman yang manis, lebih tepatnya berusaha manis aja dan itu membuat Lia gemas.
"Jangan sedih-sedih ya sayang. Ada Mama di sini." Lia menenggelamkan Jana dalam pelukannya.
******