Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Perseteruan

Bab 12 Perseteruan

Abil membanting meja-meja serta kursi ruang tamunya. Dia sudah tak dapat lagi menahan emosinya sejak dari gedung. Anak dan istrinya selalu memaki-maki Jana dan mengucapkan kata-kata tak pantas. Bagaimanapun. Abil adalah satu-satunya keluarga yang keponakannya punya. Meskipun sang Ibu masih hidup, tetapi tidak tahu keberadaanya sama sekali. Bukankah itu sama saja dengan bohong?

Abil sudah mencoba beberapa kali menghubungi keluarga Ibu Jana, tapi tidak ada satupun yang memberi tahunya.

"Aku benci sama Papa!" teriak Nadin dari dalam kamarnya.

"Mas, kalo kamu gini terus, aku sama Nadin akan pergi dari kamu. Selama-lamanya!" ancam Zola. Zola berpikir itu akan mempengaruhi pendirian Abil yang kokoh tetapi tidak. Dia memilih sang keponakan daripada keluarga kecilnya.

“Terserah! Kalian tidak pernah merasakan yang namanya sendirian!” balas Abil tak kalah berteriak juga.

Dari dalam kamar, anak dan ibu itu mendengus kesal mendengar pilihan Abil. Mau tidak mau, mereka berdua mengalah dan mengikuti kemauan Abil.

Jana kini tengah berbaring di samping Lia yang membelai surainya. Suara Lia begitu tenang dan nyaman di telinga Jana.

"Rambut kamu bagus sayang. Mama suka," puji Lia.

Jana tersipu malu dan berseri-seri. Ia menutupi wajahnya dengan tangan menahan malu.

"Dulu Mama pengen sekali punya anak cewek cantik, rambut panjang, manis dan baik. Eh, tapi malah yang keluar Gama, hehe..." kelakar Lia mengingat masa-masa ia melahirkan Gama dahulu.

*Flashback on*

Yang mana di ruangan itu dokter dan beberapa perawat serta sang Ayah. Sementara Lia bercucuran keringat menahan rasa sakit di perutnya. Dengan napas tersenggal Lia mencoba mengejankan Gama yang terselip. Berlari-lari di dalam perut.

"Sedikit lagi Bu, ayo dorong!" ucap perawat itu gemas.

Butuh waktu lima jam untuk mengeluarkan Gama kecil dari dalam perutnya. Setelah keluar, semua mata terkejut melihat yang lahir adalah laki-laki, bukan perempuan seperti yang ada di USG.

Ozan dan Lia saling melempar tawa sambil menggendong Gama kecil yang ikut tersenyum. Kebahagiaan itu semakin besar kala Gama beranjak menjadi laki-laki tampan dan menggemaskan. Beberapa kali Lia memakaikan Gama baju princes dan mengambil foto dirinya secara paksa.

*Flashback off*

Jana terkekeh ketika Lia membuka album foto yang usang itu.

"Ma, ini beneran Gama?" tanya Jana sambil menutup mulutnya.

Lia mengangguk, "Iya sayang. Cantik kan?"

"Uuu lucu sekali!" Jana gemas dan serasa ingin menarik kedua pipi Gama kala itu.

Suara langkah kaki menghentikan tawa kedua wanita itu. Dan mereka sengaja berpura-pura tidak sedang membicarakan apapun. Gama yang cuek, tidak mau bertanya pun memilih berdiri sambil melipat tangan ke dada. Matanya lurus menatap ke taman samping rumah serta pohon tinggi yang dipasangi ayunan kayu berwarna ungu.

Suara gaduh dari luar membuat mereka bertiga memandang satu sama lain. Lalu bergegas keluar, mendatangi sumber suara. Ternyata Abil sedang cekcok dengan penjaga rumah Gama. Abil memaksa masuk dan mendorongnya hingga tersungkur ke tanah. Sempat terjadi baku hantam antara dua laki-laki itu, berhasil dihentikan oleh Gama.

“Bapak tidak berhak untuk memaksa masuk! Kami hanya mengizinkan orang-orang yang diperbolehkan masuk oleh tuan rumah!” sentak sang satpam mencoba menghadang pria yang masih bersikeras untuk memaksa masuk.

“Tapi saya keluarga Jana!!!” teriak Abil masih bersikeras.

“Kalau bapak masih saja bersikeras begini, jangan salahkan saya menggunakan kekerasan!” Satpam itu masih berusaha untuk menghadapi Abil dengan kesabarannya.

Abil menatap gadis yang memakai piyama putih motif bunga-bunga itu dengan tersenyum dari jauh. Hatinya langsung berbunga dan merasa lega.

Jana baik-baik saja dan ia terlihat semakin menawan. Dilengkapi dengan pakaian-pakaian baru serta bermerek. Tidak seperti di rumahnya. Jana akan memakai pakaian usang dari Nadin yang sudah sangat jelek serta koyak.

Sedikit rasa senang membaluti kecil Abil, teringat akan senyuman Abangnya di atas sana sambil melambaikan tangan.

"Jana, ayo kita pulang Nak!" kata Abil mengulurkan tangannya. Ketika Jana ingin meraih tangannya, Gama menghalangi.

"Jana akan di sini terus dan selamanya. Dia tidak akan kemana-mana," sergah Gama.

"Apa maksudmu? Aku yang lebih berhak atas dirinya dibanding kamu!!" balas Abil.

"Jika di sana dia akan tersiksa dan stres. Bayi yang ada dalam perutnya akan sangat tersiksa!"

Abil merasa geram dengan Gama. Ia sudah tak bisa lagi menahan amarahnya. Tapi sayang, tangan Abil bisa ditahan oleh Gama.

"Untuk kali ini Anda tidak akan bisa menyentuhnya sedikit pun!"

"Jika kau tidak terima, maka tanyakan pada dia. Dia lebih memilih tinggal bersama siapa?" Lia melirik Jana yang bingung.

“Pa—man?” Suaranya tercekat di pangkal tenggorokannya saat in. Bukan suatu hal muda melihat pamannya bertengkar dengan Gama

"Segera putuskan Jana. Kamu memilih tinggal bersama Mama atau pamanmu?" tanya Lia lagi, mengelus punggung tangan Jana.

Mata Nadin melotot pada Jana begitu pun dengan Zola. Hal itu membuat Jana menundukan kepala, tak berani menatap keluarga pamannya.

Ting! Satu pesan masuk dari Nadin untuk Jana. Dengan cepat Jana membuka isi pesan itu.

"Awas kalo kamu berani pulang ke rumah! Kamu akan kuhabisi dengan caraku!" ancam Nadin melalui pesan singkat itu.

Nyali Jana semakin ciut. Keberaniannya untuk berbicara pun hilang. Lidahnya beku seketika, bahkan suaranya pun tertahan di tenggorokannya.

"Nak, jika kamu memilih bersama mereka, maka kamu boleh berjalan sekarang kepada mereka. Jika tidak, kamu tetap berdiri di sana." Lia memberikan aba-aba pada Jana. Karena dia tahu, dua monster sedang menatapnya penuh hawa nafsu.

Jana tidak beranjak sedikitpun dari posisinya. Itu berarti dia memutuskan untuk tinggal bersama Gama.

"Apa Anda tahu kenapa Jana tidak beranjak dari tempatnya?" sergah Lia.

Abil menggeleng lemah. "Ya itu karena dia ingin jadi orang kaya. Hidup senang. Punya barang-barang mewah. Kamar bak kamar putri raja. Terus bisa dekat-dekat dengan laki-laki ganteng pastinya," nyinyir Nadin.

"Hati-hati kamu. kamu ya, Gama. Nanti hartamu habis terkuras karena perempuan ini. Dia mata duitan. Dan pembawa sial!!"

"Hentikan ucapanmu itu!!"

PLAK!!!

Tamparan keras melesat tepat di mulut Zola. Tetesan darah segar berdesir seakan riang bahkan berlomba-lomba untuk menetes ke lantai.

"Ya Tuhan!!!" pekik Zola tak percaya.

"Paman, sudah!!! Jangan bertengkar lagi. Hentikan semuanya! Aku tidak akan pernah kembali ke neraka itu. Aku lebih nyaman di sini. Aku mendapatkan kenyamanan di sini. Aku sayang kalian!" Jana berlari ke dalam rumah. Meninggalkan keheningan di luar. Semua orang tertegun dengan ucapan Jana yang menurut mereka kasar.

Abil yang masih saja merasa marah dan malu dengan keluarganya sendiri itu hanya bisa menatap pasrah. Keributan itu benar-benar memalukan namun, emosinya tak bisa sama sekali ditahan saat ini. Ada rasa bersalah saat dia harus melihat Jana menjauh darinya.

Abil menghela napasnya pelan sekali.

"Tolong jaga dia dan calon bayinya. Jika kamu butuh sesuatu datang ke saya. Karena saya lebih mengenal dia daripada kamu."Abil tersenyum, menepuk pundak Gama menandakan perdamaian. Dari lantai atas, Jana tersenyum pilu melihat pamannya mengerti dengan keputusan yang ia pilih. Meski berat ini adalah pilihan yang tepat dan terbaik saat ini.

Bagi Jana, Abil adalah ayah keduanya. Abil yang memperhatikannya dan memperlakukannya lembut bak mendiang ayahnya kala masih hidup.

Makin lama perut Jana semakin membesar. Jika tinggal bersama paman, bibi dan sepupunya pastinya Jana akan menjadi pembantu mereka. Meski sang paman tidak akan membiarkannya bekerja atau sekedar hanya bersih-bersih. Tetapi, tidak dengan bibi serta sepupunya, tentu mereka akan leluasa merundungnya ketika Abil tidak berada di rumah.

Setetes butiran bening itu jatuh dari matanya. Semakin banyak dan deras, Jana terisak-isak di sudut kamarnya sambil mengingat kepergian Abil yang hilang di antara gedung-gedung pencakar langit.

"Mama pasti akan bahagiakan kamu dengan cara apa pun, sayang," ucap Jana, mengelus perutnya yang masih rata.

"Pasti dia akan senang memiliki Ibu seperti kamu, Mbak." Gama mendekat, berjongkok di depan Jana, lalu mengecup perutnya. Cup!

Deg!!!

Jantungnya serasa ingin berlari ketika tangan dan bibir Gama menyentuh perutnya. Dadanya sangat sesak hingga Jana kesulitan bernapas dan terduduk lemah di teras kamarnya.

"Kenapa? Apa kamu tidak nyaman denganku?" Gama berdiri dan membantu Jana ikut berdiri. Tubuh Jana mengeluarkan keringat dingin.

Badannya gemetaran. Dan Jana jatuh pingsan.

“Mbak?! Mbak Jana?! Mbak!” Gama berusaha menyadarkan Jana, menepuk-nepuk pipi Jana pelan. "Astaga!" Gama menggendong Jana ke tempat tidur, menyelimuti gadis itu dan menambah suhu AC.

"Aku pasti sangatlah beruntung jika benar-benar kamu adalah milikku, Jana." Gama tertawa kecil ketika mengucapkan kalimat itu.

Kalimat yang sudah lumrah ia dengar dari para gadis-gadis yang mengincarnya. Akan tetapi, kali ini berbeda, Gamalah yang mengungkapkan kata-kata itu sendiri.

"Tidur yang nyenyak ya wanitaku." Gama melemparkan satu kecupan di kening Jana.

Terkadang, sesuatu yang kita pikir tidak mungkin terjadi pada kita, itu adalah kejutan yang tersembunyi di balik sebuah penderitaan yang pahit.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel