Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Bidadari Tanpa Makeup

Bab 10 Bidadari Tanpa Makeup

Jana merasa kesal, dia ingin menangis meraung-raung kalau perlu. Hanya saja itu semua tak berguna untuknya sekarang ini. Setelah tadi ada headline berita heboh soal Gama yang menghamilinya. Semua sandiwaranya kacau!

"Kamu tak apa-apa?" tanya Gama sambil mencoba menenangkan Jana yang terlihat sendu, tangannya berusaha mengusap lengan wanita itu. Sayangnya, Jana sudah menangis di balkon.

Mereka belum ada kejelasan untuk pertunangan ini. Hanya ada satu kalimat yang terngiang-ngiang di benak Gama. Siapa pelaku penghancur acara pertunangannya?!

"Aku tak peduli Gama! Sudah kubilang, sia-sia!!! Aku yang disalahkan sekarang!" Jana berteriak bercampur derai airmata.

Gama tercenung. Dia hanya berusaha menempatkan Jana di tingkat tertinggi saja, lalu kenapa? Wanita itu selalu menyalahkannya.

Perasaan perempuan memang sulit untuk dipahami. Berniat memperbaiki malah dituduh merendahkan.

Gama harus sabar-sabar dalam situasi seperti ini. Bagaimanapun juga Jana sedang mengandung calon anaknya. Yang kelak akan menjadi malaikat kecilnya.

"Arghhh!" Gama memukul tembok. Meluapkan emosinya. Namun, di bali emosinya pria itu juga merasa kesakitan.

"Kamu bisa tenang tidak?!!"

Jana mengangkat kepalanya menatap Gama yang sedang meraung sakit.

"Maaf." Hanya kata itu yang bisa Jana ucapkan saat ini.

Gadis itu perlahan mengambil tangan Gama, mengelus serta meniup tangan Gama yang berdarah. Ia menghapusnya dengan punggung tangannya.

**

Jana pulang bersama Paman, Bibi dan Sepupunya. Nadin sengaja mengejek Jana dengan nada yang dibuat-buat. Matanya tidak berhenti menatap Jana yang merenung memandangi pemandangan sekitar.

Kemacetan membuat Bibi serta Sepupunya semakin menggila mencelanya. Abil hanya bisa diam, prihatin melihat nasib sang keponakan.

"Semua sudah diatur sama Allah. Jana harus sabar dan percaya rencana Tuhan yang pastinya terbaik buat Ana dan anak Ana nantinya." Abil menasihati Jana yang tidak respon apapun.

Matanya masih menatap kendaraan yang berlalu lalang dan memekakkan gendang telinga.

Tiba-tiba matanya menatap seseorang mengendarai motor warna biru. Sepertinya laki-laki itu terburu-buru hingga ia menyerobot melewati lampu merah.

Beruntung tidak ada polisi di sana.

Ana terus menatapi si pengendara hingga ia hilang di persimpangan jalan.

"Ana lihatin apa?!" tanya Abil membubarkan lamunan Jana.

"Kamu itu sudah buat malu keluargaku. Sekarang kau melirik laki-laki lain. Mata kamu itu tidak bisa diam apa?!" bentak Nadin, kesal.

"Nadin! Jaga mulutmu!" Abil berkata dengan nada tinggi.

Zola tidak menerima jika anaknya dimarahi hanya karena Jana. Perempuan rusak dan tidak ada harga diri itu membalasnya dengan membenturkan kepala Jana ke pintu.

Dug!

Cairan merah kental menetes dari pelipis kanan Jana. Gadis itu tidak mengadu atau membalas perbuatan Bibinya.

Lantas gadis itu membuka pintu mobil dengan paksa. Dia turun dari mobil yang ditumpanginya. Berlari. Menjauh. Hilang di antara benda-benda beroda empat. Menyelipkan diri di antara ratusan bahkan ribuan nyawa yang memandangnya iba.

Dari kejauhan ia masih mendengar makian Nadin meskipun samar-samar.

"Lepas baju kamu itu! Tak pantas sekali baju semahal itu dipakai sama manusia seperti kamu. Woi!!!"

"Manusia laknat! Biadab! Pembawa sial!!!" tambah Zola masih terus-terusan memaki.

Kakinya yang telanjang menginjak aspal yang mengeluarkan kepulan asap serta rasa panas. Hujan menjadi pemandu arah kemana ia akan mengadu. Ya, Jana memilih pergi ke tempat peristirahatan sang Ayah. Gadis itu memeluk batu nisan yang bertuliskan nama sang Ayah lalu menangis sepilu-pilunya. Menceritakan semuanya tentang apa yang dirasa. Tawa yang disertai dengan tangisan memenuhi dadanya yang sesak. Jantung itu serasa mengempis dan berhenti berdetak. Pakaian yang dipakai berubah menjadi coklat kumuh bercampur kuning karena tanah liat yang basah. Ia tak memperdulikannya jika orang-orang akan beranggapan ia sudah gila.

Benar. Hari-harinya gila setelah ada Gama dan sebelum ada Gama harinya pun sudah rusak!

Tetes demi tetes menyapu wajahnya yang pucat serta bibir mulai membiru, hujan mengguyur pemakaman dengan sesuka hati. Badan Jana menggigil dan kulitnya mengerut. Dia berada dalam posisi antara hidup dan mati.

Tangan seseorang menariknya dari kubangan itu. Membawanya ke sebuah gubuk kecil. Membaringkan tubuh lemah itu. Mengusapkan kedua tangannya agar memberikan sensasi hangat di tangan. Sesekali tiupan lembut membelai rambut-rambutnya. Mata indah yang tak pernah ia lihat itu, menenggelamkannya ke dalam dekapan dada bidang nan hangat serta memberikan rasa nyaman.

"Bodoh! Untung aku lihat kamu di jalanan. Kalau tidak, mungkin nyawa kamu sudah melayang ," ucap Riko tersenyum simpul merentangkan jaketnya ke atas kepala Jana.

Mereka kian menunggu, menunggu setelah hujan reda, Riko membangunkan Jana. Alangkah terkejutnya dia melihat Riko tengah memandangnya dari atas sampai bawah, Jana menutupi belahan dadanya dengan tangan yang menyilang.

"Sorry! Aku tidak berminat dengan bekas temanku."

"Kamu siapa?" Jana bertanya.

"Siapa aku, kamu tidak perlu tahu. Yang harus kamu tahu Gama khawatir dan nyariin kamu."

"Hah?Gama cariin aku??" tanya Jana bingung.-

Jana naik ke motor Riko dan Riko membawanya ke rumah Gama. Yang mana Gama sudah tampak frustasi dan marah mencari di mana Jana sekarang. Alhasil Gama langsung melompat merangkul tubuh Jana yang kotor dan berlumpur serta menangis haru. Tetapi ia marah mendapati Jana pergi bersama Riko. Ada udang di balik batu. Gama mengira Riko sudah merencanakan penculikan itu lantas membawa Jana ke hadapannya. Serta semua orang akan mengira dia adalah pahlawan. Benar saja. Gama langsung menuding Riko dengan kepalan tangan kirinya.

Bug!!!

Lagi-lagi Gama memukulnya.

Riko memegangi bibirnya yang berdarah. Jana mengatup bibirnya. Terkejut dengan aksi Gama yang tiba-tiba menyerang seseorang tanpa tahu penyebabnya. Bahkan gadis yang berwajah pucat itu terduduk lemas. Tak bertenaga. Darahnya berdesir bagaikan air terjun yang deras menghujam bebatuan hingga menjadi lapuk.

Kehidupan semacam apakah yangsedang ia jalani? Semuanya terasa berat dan menyakitkan. Orang-orang sekitarnya memusihi, slaing menyalahkan dan tidak beretika. Tekanan demi tekanan Jana dapati.

"Saya sudah bilang! Tolong si Ibu jangan sampai lelah atau banyak pikiran, itu sangat beresiko pada calon cabang bayi. Jika begini terus saya tidak jamin jika mereka berdua akan baik-baik saja nantinya.”

****

"Kalian sadar dengan apa yang sudah kalian lakukan!!?" Abil mengamuk, menghakimi putri serta istrinya yang dengan bangga sudah merusak dan mengacaukan acara pertunangan Jana." suara Abil tersenggal karena sedari tadi dia terus mengoceh tanpa henti sesekali ia membanting meja dan kursi meluapkan kemarahannya.

"Tidak puaskah selama ini kalian merundungnya?" Kali ini Abil meremas kuat kedua tangan Zola hingga terdengar suara 'aduh' dari sang istri.

"Pa! Apa Papa yang tak cukup puas untuk memanjakan dan membandingkan aku dengan dia?!" teriak Nadin angkat bicara.

"Membedakan? Aku tidak pernah membedakan kalian berdua!" sanggah Abil memegangi kepala.

"Kasih sayang Papa kurang ke aku! Dan Papa diam-diam membelikan Jana barang tanpa sepengetahuan aku!"

"Itu itu--"

Nadin terisak. Berlari ke kamar serta membanting pintunya kuat.

"Kamu memang seperti itu, Mas. Lihat, anakmu sendiri berani membangkang dan kamu? Kamu tetap membela wanita sialan itu. Perempuan pembawa sial. Aib bagi keluarga ini."

***

‘Seberapa tangguhkah diri ini untuk melawan nestapa yan g menghadang sementara kobaran-kobaran api pun memenuhi liang kebahagian, Tuhan?’

‘Di saat khayalan itu beranjak menjadi sebuah kenyataan, di saat itu juga permasalahan menghampiriku. Gejolak derita bercampur rata dengan kesedihan. Apakah ini caramu Tuhan untuk menguji kesabaranku? Jika betul, aku akan mencoba bertahan di saat badai memporak-porandakan pertahananku.’

"Bismillah." Jana keluar dari kamar mandi dengan wajah yang berseri. Meskipun matanya bengkak karena menangis.

Untuk beberapa waktu ke depan. Jana akan tinggal bersama Gama dan Bik Sumi. Ibu Gama sudah terbang kembali ke London karena rapat bisnis bersama dengan Ayah Gama.

Mereka menyetujui Jana tinggal bersama dengan putera keduanya.

Wanita yang melahirkan Gama itu mengelus Jana dengan lembut. "Jana, sayang. Mama tidak pernah benci ataupun marah denganmu, sayang. Mama tahu itu adalah kecelakaan. Jadi, tolong kamu jaga cucu Mama dan Papa ya, sayang." Mengecup kepala Jana.

"Dan kamu Gama. Jangan pernah menyakiti kesayangan Mama ini ya?! Awas saja kalau kamu berani membuat dia menangis?! Bahkan Mama tidak akan rela jika sebutir air mata keluar darinya!!!" Laksmi mememainkan jari telunjuknya di depan wajah Gama.

"Siap Ibu Bos!!!" Gama memberikan hormat.

"Hati-hati ya di jalan Bu? Pak?" ucap Jana ragu.

"Mama sama Papa ya sayang."

"Dahhh... Bidadari tanpa make up Mama, hehe."

Jana tersenyum.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel