Bab 9 Gara-gara Sketsa
Bab 9 Gara-gara Sketsa
“SHENA!”
Shena terus berjalan cepat tanpa menghiraukan panggilan Brenda. Selepas pertandingan basket selesai, Shena segera keluar dari lapangan tanpa menunggu Brenda terlebih dulu. Shena masih kesal karena Brenda sejak tadi menjahilinya.
“Aku panggil dari tadi kenapa kamu masih jalan terus?” tanya Brenda saat ia sudah menyamakan langkahnya dengan Shena.
“Tidak apa-apa,” jawab Shena tanpa menolehkan wajahnya ke arah Brenda.
Melihat respon yang diberikan oleh Shena sudah cukup membuat Brenda paham jika sahabatnya tersebut tengah marah padanya. Sejak Brenda melihat sketsa yang Digambar oleh Shena, ia terus mengatakan jika sketsa tersebut adalah gambar dari wajah Barents. Karena h
al itulah Shena menjadi kesal dengan Brenda
“Kalau kamu marah seperti ini, malah semakin terlihat kalau sketsa yang aku lihat tadi itu benar-benar wajahnya Barents,” kata Brenda membuat Shena seketika menghentikan langkahnya.
“Maksud Brenda apa?” tanya Shena yang kini sudah menoleh ke arah Brenda.
“Maksud apanya?”
“Yang tadi Brenda bilang. Kenapa Brenda yakin kalau yang Shena gambar itu wajahnya Barents?” ujar Shena memperjelas maksud pertanyaannya.
“Setahu aku, kalau seseorang ditanyai sesuatu terus dia jadi marah karena pertanyaan tersebut, berarti apa yang ditanyakan memang satu hal yang benar,”
“Seperti yang sekarang ini kamu lakukan, Shen. Aku menebak kalau sketsa itu berbentuk wajah Barents, tapi pas aku memastikan sama kamu, justru kamu malah marah sama aku. Kalau kejadiannya seperti itu, dalam pikiran aku semakin yakin kalau sketsa yang kamu gambar memang benar-benar wajah Barents,” tutur Brenda memberikan penjelasan pada Shena.
Sesaat Shena terdiam. Mencoba mencerna baik-baik apa yang baru saja dikatakan oleh Brenda.
“Lebih baik kamu jujur sama aku. Sketsa yang kamu buat itu sebenarnya gambar wajah siapa? Biar aku tidak punya pikiran yang salah,” kata Brenda yang membuat Shena menggeleng cepat.
Shena tidak mau jika orang lain mengetahui kalau ia sering menggambar Dean secara diam-diam. Semua lukisan dan gambar Dean yang Shena buat, hanyalah rahasia antara Shena dan Tuhan. Tidak ada orang lain yang tahu.
“Aku jadi curiga kalau kamu lagi kasmaran sama Barents,” kata Brenda berhasil membuat Shena mendelik sempurna.
“Shena tidak suka sama Barents.” tegas Shena. Jelas terdengar jika Shena sangat tidak menyukai pria bernama Barents.
Brenda terkekeh pelan. “Kamu yakin tidak menyukai laki-laki setampan Barents?”
“Tidak. Shena tidak menyukai Barents. Shena juga tidak menganggap kalau Barents itu tampan,” jawab Shena.
“Kamu bilang kalau Barents tidak tampan?” tanya Brenda tidak percaya.
Shena mengangguk. “Barents itu nakal dan menyeramkan. Shena tidak suka dengan laki-laki seperti itu,”
“Tetap saja Barents itu tampan, Shen. Coba saja ada pemilihan umum yang isinya untuk memilih siswa-siswa tampan di sekolah ini. Pasti jelas yang masuk nominasi itu Dean dan Barents,” ujar Brenda begitu yakin dengan apa yang ia katakan.
Jika dipikir-pikir apa yang baru saja dikatakan Brenda ada benarnya juga. Saat pertama kali melihat wajah Barents, pria tersebut memang terbilang memiliki rupa yang tampan. Mungkin jika perilaku Barents sebaik perilaku Dean, Shena tidak akan ragu untuk mengakui ketampanan Barents.
Pengalaman pertama Shena bertemu Barents sudah membuat Shena berpikiran buruk tentang pria tersebut. Sikap Barents yang terbilang jauh dari kata baik, membuat Shena selalu merasa takut jika harus berhadapan dengan Barents.
“Shena!” panggil Brenda cukup keras. Sejak tadi Brenda melihat tatapan kosong Shena yang seolah memberitahu jika gadis tersebut tengah memikirkan sesuatu.
“Lagi memikirkan apa, Shen?” tanya Brenda.
“Tidak ada. Shena sedang tidak memikirkan apa-apa,” bohong Shena sembari melangkahkan kakinya.
“Bohong pasti... kamu tidak pintar untuk berbohong, Shena” kata Brenda yang juga ikut berjalan di samping Shena.
“Benarkah? Apa wajah Shena terlihat jika Shena sedang bohong?” tanya Shena penasaran. Sudah banyak orang yang mengatakan jika ia memang tidak pandai untuk berbohong.
“Wajah polos kamu kalau sudah tidak terlihat polos lagi, itu artinya kamu sedang berbohong. Biasanya orang dengan wajah polos seperti kamu akan dinilai oleh orang lain seperti apa yang tadi aku katakan,” jawab Brenda yang terlihat membuat Shena mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi, kamu tadi sedang memikirkan apa?” tanya Brenda Kembali menanyakan pertanyaan yang belum dijawab oleh Shena.
“Bukan apa-apa dan bukan hal yang penting juga. Kadang Shena suka memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya dipikirkan,” jawab Shena masih berusaha untuk menutupi kebenaran yang terjadi.
Brenda akan semakin heboh jika mengetahui kalau tadi Shena sempat memikirkan Barents. Meski yang Shena pikirkan bukan perihal Shena memuji atau bahkan menyukai Barents. Shena hanya mengingat pertemuan pertamanya dengan Barents yang sangat menyeramkan.
“Kamu memikirkan Barents?” tanya Brenda. Sontak pertanyaan tersebut membuat Shena menggeleng cepat.
“Shena tidak memikirkan Barents. Kenapa Brenda selalu menebak seperti itu terus?” ujar Shena dengan perasaan heran bercampur kesal.
“Karena kamu belum mau jujur soal sketsa yang kamu gambar itu wajahnya siapa. Aku tetap akan menebak nama Barents setiap kali kamu bersikap aneh seperti ini. Mungkin aku tidak akan lagi menyinggung nama Barents kalau kamu mau jujur tentang sosok dibalik sketsa yang kamu gambar,” tutur Brenda Kembali mengungkit mengenai sketsa yang Shena buat.
Rasanya begitu menyebalkan mendengar nama Barents terus-menerus disebut oleh Brenda. Apalagi Brenda sampai mengira jika Shena menyukai Barents. Shena ingin membuat Brenda berhenti menyebut nama Barents di depannya. Tapi Shena juga tidak mau mengatakan jika sketsa yang ia buat adalah bentuk wajah Dean.
“Tidak apa-apa Shena kalau kamu memang menyukai Barents. Siapa tahu dengan menyukai Barents bisa membuat kamu move on dari Dean,” kata Brenda.
“Shena tidak suka dengan pria yang nakal,” kata Shena terdengar penuh rasa tidak suka.
“Bisa jadi setelah dekat dengan kamu, Barents bisa mengubah sikap buruknya itu. Dapat banyak pahala kamu Shen kalau bisa membuat Barents tobat,” kekeh Brenda yang sama sekali tidak sejalan dengan apa yang dipikirkan Shena.
“Jangan mengada-ada yang tidak ada, Brenda. Apa yang Brenda katakan itu seperti cerita di novel-novel yang biasa Shena baca. Hanya sebatas cerita fiktif. Sama sekali tidak nyata,” ujar Shena sembari mengingat satu judul novel yang baru ia tamatkan semalam.
“Kamu tidak tahu, Shen?”
“Tidak tahu apa?”
“Tidak jarang penulis-penulis novel romance itu menuliskan cerita dari pengalaman yang mereka alami sendiri. Jadi, menurut aku tidak ada yang tidak mungkin kalau cerita fiktif di novel itu bisa benar-benar terjadi,” jelas Brenda yang juga sering membaca novel-novel romance.
“Shena bukan penulis novel, Brenda. Jadi tidak mungkin juga cerita fiktif itu bisa menjadi kenyataan yang akan Shena alami,” ujar Shena membuat Brenda membuang napas kasar.
“Terserah kamu saja. Yang penting aku akan tetap mengira kalau kamu menyukai Barents,” kata Brenda yang lagi-lagi menyebut nama pria yang sangat tidak disukai oleh Shena.
“Astaga! Kenapa Brenda berkata seperti itu? Shena benar-benar tidak menyukai Barents. Shena tidak tertarik sama Barents dan Shena sangat membenci Barents!”
“Siapa yang membenciku?”
Suara bariton tersebut membuat Shena dan Brenda menoleh ke belakang. Jelas terdengar jika suara tersebut berasal dari seorang pria.
“Barents?” kata Brenda saat melihat Barents berdiri di hadapannya.
“Sejak kapan kamu berdiri di sini?” tanya Brenda.
“Sejak ada gadis yang mengatakan jika dia membenciku,” jawab Barents sambil menoleh ke arah Shena.
Merasa diperhatikan oleh Barents membuat Shena menundukkan kepalanya. Rasa kesalnya secara tiba-tiba berubah malu karena ucapannya diketahui oleh orang yang seharusnya tidak mengetahui hal tersebut.
“A-ah, maksud kamu tadi saat Shena berbicara dia tidak menyukaimu?” tanya Brenda memastikan.
Barents mengangguk cepat. “Apa teman kamu ini benar-benar tidak menyukaiku sampai-sampai dia harus berbicara sangat lantang kalau dia sangat membenciku?”
Meskipun pertanyaan tersebut Barents tujukan untuk Brenda, namun tatapan mata Barents tidak lepas dari wajah Shena yang masih menunduk. Setiap kali berhadapan dengan Shena, membuat magnet dalam diri Barents seolah tidak mau lepas untuk terus menatap gadis tersebut.
“Shena hanya berbohong, Bar. Dia sebenarnya adalah satu diantara fans kamu di sekolah,” kata Brenda membuat Shena seketika mendongak.
Satu alis Shena terangkat sambil menoleh ke arah Brenda. Memberikan kode pada Brenda untuk menjelaskan maksud dari perkataan Brenda yang ditujukan untuk Barents.
“Maksud kamu, sebenarnya teman kamu ini menyukaiku?”
“Tidak.” jawab Shena cepat.
Barents tertawa pelan saat mendengar jawaban Shena yang berhasil membuatnya terkejut. Entah mengapa setiap suara yang keluar dari mulut Shena terdengar begitu menggemaskan. Bagi Barents, Shena benar-benar mainan barunya yang sangat berharga.
“Jadi, apa kamu sungguh membenciku?” tanya Barents pada Shena.
“Mengapa kamu sangat membenci pria tampan sepertiku?
“Apa aku pernah berbuat salah padamu?”
Shena hanya terdiam. Malas sekali mulut Shena jika harus membalas pertanyaan dari Barents.
“Aku yakin kalau Shena memiliki perasaan sama kamu, Bar” kata Brenda.
“Kenapa kamu begitu yakin jika temanmu ini menyukaiku?”
“Karena aku punya…” Brenda menjeda ucapannya sebentar. Ia kemudian melirik ke arah sketsa yang sedang dipegang oleh Shena.
Dengan cepat Brenda mengambil sketsa tersebut sebelum Shena menyadari tindakannya. Saat melihat apa yang dilakukan oleh Brenda membuat Shena ingin secepatnya mengambil kembali sketsa tadi dari tangan Brenda.
“Kamu bisa lihat sketsa ini,” ujar Brenda sambil menyerahkan sketsa milik Shena pada Barents. Gagal sudah niat Shena untuk mengambil barang tersebut.
Rasa penasaran Barents semakin memuncak saat ia menerima gulungan kertas milik Shena yang diberikan oleh Brenda. Dengan cepat Barents membuat kertas tersebut dan melihat sebuah gambar di dalamnya. Kening Barents terlihat berkerut saat ia mencoba menebak sosok dibalik sketsa yang digambar oleh Shena.
“Jelas sekali kalau sketsa itu adalah gambar kamu saat pertandingan basket tadi, Bar” kata Brenda yakin.
“Shena pasti malu untuk mengatakan jika dia menyukaimu, Bar. Makanya Shena menggambar wajahmu secara diam-diam,”
Barents menggeleng pelang. “Sepertinya dugaanmu salah. Sketsa ini jelas menggambarkan wajah—”
Belum sempat Barents menyelesaikan ucapannya, kertas gambar yang sedang ia pegang dengan cepat diambil paksa oleh Shena. Setelah mendapatkan kembali sketsa tersebut, Shena bergegas pergi dari hadapan Barents dan juga Brenda.
“Kamu bisa lihat sendiri, Bar. Sikap Shena berubah aneh setiap kali ada orang lain yang melihat sketsa itu,” kata Brenda menatap heran ke arah Shena yang sudah berlari menjauh.
Barents yang melihatkan kepergian Shena secara tiba-tiba sempat merasa heran. Namun perasaan tersebut segera tergantikan dengan sebuah senyuman misterius yang terpampang dari wajah tampan Barents. Satu kalimat yang saat ini terlintas dibenak Barents.
Ya. Ia tidak salah menjatuhkan pilihannya kepada Shena untuk kemudian ia jadikan sebagai mainan barunya.