Bab 6 Dugaan Semata
Bab 6 Dugaan Semata
“Aku tidak marah. Hanya saja aku kecewa dengan sikap kamu yang membohongiku.”
“SHENA!”
Panggilan tersebut membuat Shena yang tengah mengikat rambutnya tampak berhenti. Shena kemudian berjalan ke arah pintu kamarnya kemudian membuka pintu tersebut.
“Ada apa, Bun?” tanya Shena saat melihat Mina berdiri di depan pintu kamarnya.
“Sudah selesai beres-beresnya?” tanya Mina.
“Sudah, Bun” jawab Shena.
“Ayo langsung turun. Ayah bisa telat berangkat kerja,” kata Mina membuat Shena mengernyit.
“Maksudnya bagaimana, Bun? Shena berangkat sekolah dengan--”
“Dengan Ayah, sayang” kata Mina membuat Shena semakin bingung.
“Kenapa dengan Ayah, Bun? Biasanya juga Shena berangkat bersama Dean,” kata Shena.
“Dean sedang ada kesibukan di sekolah. Jadi, dia tidak bisa jemput Shena,” ujar Mina menjelaskan pada Shena.
“Kesibukan?” tanya Shena.
“Iya. Mungkin Dean mau latihan buat turnamen basket, kemarin Shena sendiri yang bilang kalau sebentar lagi akan ada pertandingan antar kelas, kan?” tanya Bunda yang saat itu juga diangguki oleh Shena.
“Hari ini Shena berangkat dan pulang sekolah dengan Ayah. Nanti kalau sudah selesai sekolah, Shena bisa langsung memberi kabar Ayah. Oke?”
Shena mengangguk patuh. Ia kemudian mengambil tasnya dan mulai berjalan turun ke lantai bawah. Sebenarnya Shena masih bingung dengan alasan yang Dean berikan. Biasanya walaupun sibuk Dean pasti akan menyempatnya diri untuk menjemput Shena.
“Apa mungkin Dean membohongi Shena?”
***
Jam kosong menjadi waktu paling menyenangkan bagi seluruh anak sekolah. Karena pada jom kosong mereka akan bebas melakukan hal apa pun yang mereka inginkan. Termasuk dengan para siswa yang berada satu kelas dengan Shena.
“Bu Inggit tumben kosong,” kata Shena.
“Sedang cuti, Shen. Bu Inggit kemarin baru saja melahirkan anak keduanya,” kata Brenda sambil memainkan ponsel di tangannya.
“Memanya kalau orang habis melahirkan itu rasanya sakit ya, Bren?” tanya Shena membuat Brenda menoleh.
“Maksudnya?” tanya Brenda bingung.
“Shena sering dengar kalau orang yang baru melahirkan itu pasti di daerah kewanitaannya terasa sakit. Itu kenapa bisa sakit, Bren?” tanya Shena yang terlihat membuat Brenda mengerjap.
“Kata Bunda Shena kalau orang habis melahirkan itu pasti rasa sakitnya tidak cuma satu detik dua detik. Terus kalau seperti itu kenapa orang-orang masih mau punya anak?” tanya Shena polos.
Brenda tampak terdiam. Ia baru sadar jika Shena memang benar-benar gadis yang polos. Lihat saja pertanyaan yang baru saja Shena katakan. Terdengar seolah Shena benar-benar tidak tahu dengan hal semacam itu, padahal sekarang usianya sudah hampir tujuh belas tahun.
“Nanti kamu bakal tahu sendiri kalau sudah waktunya,” jawab Brenda berusaha untuk tidak membuat Shena bingung.
Shena yang mendengar jawaban dari Brenda pun terlihat mengangguk-anggukan kepalanya. Tidak butuh waktu lama bagi Shena untuk mempercayai ucapan Brenda.
“Oh ya, Bren. Tadi pagi Shena tidak berangkat sekolah dengan Dean,” kata Shena yang kini sudah mengubah topik pembicaraannya.
“Terus?” tanya Brenda.
“Shena merasa kalau Dean sedang membohongi Shena,” kata Shena membuat Brenda menatapnya bingung.
“Kata Bunda, Dean tidak bisa jemput Shena karena sedang sibuk. Padahal biasanya Dean tetap akan menjemput Shena walaupun Dean sedang sibuk,” tutur Shena.
“Mungkin Dean, tadi pagi jemput Grace,” kata Brenda memberikan satu kemungkinan.
“Bohong betul itu,” kata Shena.
“Siapa yang bohong, Shen?” tanya Brenda.
“Dean. Dean sudah bohong sama Bunda sama Shena juga. Kalau hanya menjemput Grace, kenapa Dean harus bilang kalau dia sedang sibuk?” heran Shena yang terlihat bercampur rasa kesal.
Brenda yang mendengar keluh kesah Shena saat ini hanya mampu menggelengkan kepala. Baru saja kemarin Brenda menilai jika Shena bukanlah gadis yang begitu polos, seperti yang dikatakan oleh banyak orang.
Namun, saat melihat kondisi Shena saat ini membuat Brenda setuju dengan pendapat teman-teman sekolahnya. Meskipun seperti itu, Brenda tidak akan menjauhi Shena hanya karena kepolosan Shena.
“Apa mungkin Dean memang benar-benar menyukai Grace?” tanya Shena terdengar sangat polos hingga membuat Brenda menggeleng tak percaya.
“Kalau tidak suka, mana mungkin Dean mengajak Grace berkencan,” kata Brenda.
“Benar juga apa kata Brenda. Tapi, Dean jarang sekali mengutamakan pacarnya di atas mengutamakan Shena,” ujar Shena.
“Berarti Dean memang benar-benar suka sama Grace,” kata Brenda sambil memainkan ponselnya.
Shena tampak termangu di tempat. Rasanya ia belum yakin jika Dean membohonginya hanya karena Grace. Bukankah lebih baik jika Dean berkata jujur daripada harus berbohong seperti ini. Sangat mengecewakan.
***
Bel pulang sekolah berbunyi menandakan jika pembelajaran hari ini sudah selesai. Puluhan siswa di setiap kelas tampak berhamburan keluar dan berbondong-bondong menuju ke parkiran. Jika sekolah sudah berakhir, rumah lah tujuan pertama bagi sebagian besar siswa untuk mengistirahatkan tenaga dan pikiran.
“Mau pulang dengan aku, Shen?” tanya Brenda yang dijawab gelengan kepala oleh Shena.
“Shena sudah dijemput Ayah,” kata Shena.
“Kalau begitu aku ke parkiran dulu ya?” pamit Brenda yang segera diangguki Shena. Setelah itu Brenda tampak berjalan keluar kelas, dan sekarang hanya tersisa Shena dan tiga teman sekelasnya yang belum keluar kelas.
Selesai membereskan buku-bukunya Shena segera berjalan santai keluar kelas. Di hadapan Shena masih terlihat beberapa siswa yang sedang berjalan atau duduk santai di lorong kelas. Mungkin mereka masih ada keperluan di sekolah, sehingga membuat mereka tidak langsung pulang ke rumah.
Tidak mau menghiraukan orang-orang yang tidak Shena kenal membuat Shena terus berjalan menuju keluar sekolah. Awalnya Shena tampak acuh dengan beberapa siswa yang menatap ke arahnya. Namun, saat satu pemandangan yang terlihat tidak asing berhasil membuat Shena menghentikan langkahnya.
Tidak jauh dari tempat Shena duduk saat ini, terlihat Dean dan Grace yang sedang duduk di salah satu bangku yang berada di depan ruang kelas. Keduanya terlihat asyik mengobrol dan melempar tawa satu sama lain.
“Jadi seperti ini yang dinamakan sibuk?” batin Shena dalam hati.
Melihat Dean yang sedang sibuk berbincang dengan Grace membuat Shena semakin kecewa dengan Dean. Shena merasa jika Dean mulai berubah. Dean sudah mulai membohonginya dan lebih mengutamakan Grace.
“Padahal Dean sendiri yang bilang kalau tidak benar-benar menyukai Grace,” kata Shena sembari melanjutkan langkah kakinya.
Bukannya Shena tidak suka melihat kemesraan Dean dengan Grace. Shena telanjur kecewa dengan Dean yang membohonginya.
BRUKK!
Karena tidak fokus dengan jalanan di depannya membuat Shena tidak dasar jika ada orang yang sedang berdiri di depannya. Alhasil, tubuh kecil Shena baru saja menubruk suatu benda yang terasa sangat keras.
“Maaf ... maaf ..,” lirih Shena. Ia hendak pergi setelah mengucapkan permintaan maaf pada orang yang ia tabrak, namun secara tiba-tiba orang tersebut mencekal tangan Shena dan membuat Shena menoleh.
“Kamu gadis yang tempo hari itu, kan?” tanya seorang siswa yang saat ini berhadapan dengan Shena.
Sejenak Shena terdiam. Mencoba mengingat siapa gerangan pria yang sedang berhadapan dengannya. Beberapa detik selanjutnya kedua mata Shena membelalak sempurna saat mengingat identitas orang yang baru saja ia tabrak.
Buru-buru Shena melepas paksa cekalan tangan pria tersebut. Shena terlihat memundurkan tubuhnya supaya tidak berdekatan dengan pria mengerikan itu.
“Kenapa?” tanya pria tadi yang melihat Shena bertindak aneh.
“Apa kamu takut dengan aku?”
Shena terdiam. Ia tampak memperhatikan pria yang berada di depannya ini dari atas sampai bawah. Jika dilihat dari cara berpenampilan, pria tersebut tidak terlihat seperti orang yang jahat. Namun, jika harus mengingat kejadian yang menimpa Shena beberapa waktu yang lalu, membuat Shena menepis jauh-jauh pikiran tersebut dari otaknya.
“Barent Adhitama,” kata pria tersebut sambil mengulurkan tangan kanannya.
Apa dia sedang mencoba berkenalan dengan Shena?
Tentu saja iya. Shena saja yang tidak langsung membalas uluran tangan pria tersebut karena terlau merasa takut.
Pria bernama Barent tersebut tampak tersenyum saat melihat Shena yang hanya diam di tempat. Ia kembali menarik tangan kanannya dari hadapan Shena.
“Aku sudah tahu nama kamu. Jadi memang sepertinya kita tidak wajib untuk berkenalan seperti tadi. Benar kan?” tanya Barent masih terus menampilkan senyum merekah di wajahnya.
“Semoga kita bisa menjadi teman baik, Shena” kata Barent kemudian terlihat berlalu dari hadapan Shena.
Satu kata yang saat ini terpikirkan pada otak Shena. Bagaimana Barent bisa mengetahui namanya? Sepertinya Shena tidak pernah berkenalan dengan pria tersebut.
“Pria aneh dan mengerikan,” kata Shena kemudian kembali berjalan keluar sekolah untuk menemui ayahnya.
***