Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Ancaman Grace

Bab 5 Ancaman Grace

“Aku sangat menyayanginya. Mana mungkin aku bisa menjauhi dia.”

BRAKK!

Shena memejamkan kedua matanya saat mendengar suara gebrakan meja yang sangat keras. Sudah terhitung lebih dari tiga kali Grace melakukan hal tersebut di hadapan Shena. Tatapan sinis Grace terlihat jelas saat Shena mendongakkan kepala.

“Mau sampai kapan kamu merebut pacar orang?” tanya Grace membuat Shena mengernyit.

“Maksud Grace apa?” tanya Shena bingung.

“Ck. Jangan gunakan wajah polos kamu ini, hanya untuk menutupi kelicikan kamu. Ha!” bentak Grace membuat Shena terkejut.

“Shena tidak pernah melakukan hal yang licik,” kata Shena pelan.

“Kamu bilang apa? Tidak pernah?” tanya Grace membuat Shena mengangguk.

“Pulang pergi setiap hari dengan laki-laki yang sudah memiliki kekasih dan membuat kekasih orang terluka hanya gara-gara sikap bodoh kamu. Itu yang kamu bilang tidak licik? Ha!” lagi-lagi bentakan Grace membuat Shena menunduk.

Merupakan suatu hal baru bagi Shena saat mendapat bentakan dari orang lain. Seumur hidup Shena, ia selalu berada di antara orang-orang baik yang menyayanginya. Sekali pun Shena belum pernah bertemu dengan seseorang yang memperlakukannya secara kasar.

Bahkan, beberapa mantan kekasih Dean pun tidak ada yang membentak Shena. Meskipun semua gadis yang pernah berkencan dengan Dean tahu jika Dean memiliki hubungan yang dekat dengan Shena. Baru kali ini Shena mendengar kemarahan kekasih Dean karena tidak terima jika Dean dekat dengan dirinya.

“Shena tidak pernah mendekati Dean,” lirih Shena sambil mencoba mendongakkan kepalanya menatap Grace.

“Really? Kamu ingin bilang kalau Dean yang mendekati kamu?” tanya Grace masih terus menatap sinis ke arah Shena.

“Hello! Just take a look for yourself! You never be better than me, Shena!” kata Grace yang terdengar seperti sebuah ejekan untuk Shena.

“Wajah polosmu itu sama sekali tidak layak untuk diperjuangkan!” ujar Grace sambil menggelengkan kepalanya.

Shena yang mendengar ejekan tersebut pun tidak bisa menyembunyikan rasa sakit di dadanya. Rasanya begitu sesak hingga Shena tidak mampu untuk menahannya. Tangisan Shena yang sudah tidak bisa ditahan justru membuat Grace semakin geram.

“Apa seperti ini cara kamu menggoda lelaki orang?” tanya Grace tampak mencodongkan tubuhnya. Dengan jarak yang semakin dekat membuat tatapan dari kedua mata Grace yang sedang melihat Shena terlihat begitu tajam dan menusuk.

“Jauhi Dean dari sekarang sebelum aku bertindak lebih kejam lagi!” tegas Grace seraya mendorong dahi Shena dengan satu tangannya.

Setelah puas memarahi Shena, Grace kemudian berlalu meninggalkan Shena yang masih terdiam ketakutan. Tubuh Shena terasa bergetar hebat saat mendengar setiap bentakan yang diucapkan oleh Grace. Ini pengalaman pertama Shena mendapat caci maki dari gadis yang menjadi kekasih Dean. Baru pertama kali dan tidak ingin lagi Shena ulangi.

***

Setelah membasuh muka hingga bersih, Shena segera mengenakan masker untuk menutupi wajahnya yang terlihat merah. Gara-gara kejadian di gudang tadi membuat Shena terus menangis sepanjang waktu istirahat hingga waktu pembelajaran selesai. Beruntung jam terakhir di kelas Shena kosong, sehingga dapat memberikan Shena waktu untuk menyendiri.

“Ingin berangkat sekarang?” tanya Brenda saat melihat Shena keluar dari kamar mandi.

“Brenda sudah ketemu, Dean?” tanya Shena yang kemudian diangguki oleh Brenda.

“Tadi aku ketemu Dean di kantin terus sekalian bilang kalau kamu pulang denganku,” kata Brenda menjawab pertanyaan Shena.

“Terima kasih,” kata Shena sambil tersenyum dibalik masker yang ia kenakan.

“Ayo pergi sekarang,” ajak Shena sambil beranjak pergi bersama Brenda.

Hari ini Shena berniat untuk pergi ke toko alat tulis untuk membeli kanvas. Selain karena tersebut, Shena sengaja pergi bersama Brenda untuk menghindar terlebih dulu dari Dean. Ia tidak mau Dean melihat wajahnya yang terlihat merah karena habis selesai menangis.

“Shena tidak bisa menyetir,” kata Shena membuat Brenda tersenyum.

“Aku yang akan menyetir, Shen” ujar Brenda kemudian mempersilakan Shena untuk masuk ke dalam kursi sebelah kemudi.

Setelah mendapat perintah dari pemilik kendaraan, Shena segera masuk ke dalam mobil dan bergegas mengenakan sabuk pengaman. Tidak lama setelah itu Brenda terlihat sudah duduk di sebelah Shena dan mulai menyalakan mesin mobil. Selang beberapa waktu mobil yang Shena tumpangi mulai berjalan meninggalkan area sekolah.

Sesuai dengan permintaan Shena, siang ini Brenda akan menemani Shena untuk membeli peralatan menggambar di salah satu toko alat tulis langganan Shena. Brenda yang juga akan membeli alat tulis untuk sekolah pun tidak berfikir lama untuk menerima ajakan Shena.

“Tadi kamu diapakan oleh Grace?” tanya Brenda memecah keheningan.

“Tidak diapa-apakan,” jawab Shena.

“Grace marah karena kamu dekat-dekat dengan Dean?” tanya Brenda lagi.

Kali ini Shena terlihat mengangguk pelan. Sepertinya jika Shena terus menutupi kejadian yang sebenarnya justru akan membuat Brenda semakin curiga.

“Kamu marah dengan Grace?” tanya Brenda. Namun kali ini Shena menjawabnya dengan gelengan kepala.

“Grace tidak salah apa-apa. Dia hanya mengingatkan Shena untuk tidak terlalu dekat dengan Dean,” kata Shena.

“Tapi, Grace bilang seperti itu dengan cara memaki kamu, Shena” timpal Brenda.

“Tetap saja Grace tidak salah apa-apa, Brenda. Shena juga tidak terluka sama sekali,” ujar Shena membuat Brenda mengernyit.

“Selagi Shena tidak merasakan kesakitan fisik, Shena tidak akan membenci atau menyalahkan orang lain,” tutur Shena.

Brenda menggeleng cepat. “Grace tidak akan pernah tidak memakai cara kasar untuk memberi peringatan sama kamu, Shen”

“Brenda tahu dari mana?” tanya Shena penasaran.

“Brenda itu suka dengan Dean, jadi dia tidak akan memperlihatkan sisi buruknya di hadapan laki-laki yang dia sukai,” jawab Brenda sambil sesekali menatap ke arah Shena.

“Shena belum paham sama jawaban Brenda,” kata Shena jujur.

Tepat saat Shena mengajukan pertanyaan tersebut, rambu-rambu lalu lintas di depan memperlihatkan warna merahnya. Perlahan Brenda mulai menghentikan mobilnya dan beralih menatap ke arah Shena.

“Kita pikir dengan logika saja, Grace itu benci kamu, yang terlihat lebih dekat dengan Dean. Grace pasti bakal melakukan hal apa pun untuk bisa menjauhkan kamu dari Dean, tapi tanpa menggunakan tangannya sendiri. Kenapa seperti itu?”

“Kalau sampai kamu terluka dan Dean tahu jika pelakunya itu Grace, pasti Dean akan marah sama Grace dan memberi kemungkinan jika Dean akan memutuskan Grace,” papar Brenda memberi penjelasan pada Shena.

“Tapi, bisa saja Shena tidak memberi tahu--”

“Wajah polos kamu itu sering membuat orang berfikir kalau kamu tidak akan mungkin bisa berbohong,” saut Brenda sebelum Shena menyelesaikan ucapannya.

Shena mulai mengangguk paham. Ternyata wajah polosnyalah yang membuat orang lain mudah mempermainkannya.

“Jangan menyalahkan diri sendiri. Kadang, ada baiknya juga menjadi gadis yang polos,” kata Brenda sebelum ia kembali melajukan mobilnya.

Lima belas menit berlalu, dan tidak ada satu pun suara yang keluar dari mulut Shena maupun Brenda. Sampai akhirnya Brenda mulai membelokkan mobilnya di area parkir toko buku yang berdiri megah di depannya. Setelah mobil sudah terparkir dengan pas, Brenda segera melepas sabuk pengamannya.

“Ayo Shen,” kata Brenda yang berhasil membuyarkan lamunan Shena.

Melihat Brenda yang sudah terlebih dulu keluar membuat Shena buru-buru menyusul temannya tersebut. Mereka berdua pun kembali berjalan bersama memasuki toko buku bertuliskan “Toko Buku Cendekia”.

“Kita pisah di sini ya? Nanti kalau sudah selesai berbelanja kamu bisa mengirim pesan ke aku,” kata Brenda yang segera diangguki oleh Shena.

Setelah melihat respon dari Shena, Brenda segera berlari ke arah rak yang menyediakan beraneka macam buku tulis. Sedangkan Shena, ia mulai berjalan pelan menuju tempat di mana terdapat banyak peralatan untuk menggambar dan melukis.

Karena Shena tiba-tiba ingin belajar melukis, ia pun mencari tempat di mana alat-alat melukis berada. Kedua tangan Shena tampak memilih beberapa kanvas yang terpampang di depannya. Sesekali Shena melirik ke arah cat air yang terlihat begitu cantik.

Selesai memilih kanvas dan beberapa warna cat air untuk melukis, Shena beralih ke arah rak yang menjual berbagai jenis pigura dengan bentuk dan warna yang beragam. Untuk beberapa saat Shena mengingat apakah ia masih memiliki foto yang belum ia letakkan di dalam pigura atau belum.

Beberapa saat Shena terdiam, hingga akhirnya ia teringat jika ada salah satu hasil gambarannya yang ingin ia letakkan dalam sebuah bingkai. Ya. Salah satu hasil menggambar Shena yang berupa wajah Dean dan ingin Shena letakkan pada tempat yang terlihat cantik.

Cukup lama Shena memilih bentuk dan warna pigura yang sesuai dengan karakter yanag Shena gambar. Untuk menghiasi wajah Dean, Shena akan memilihkan warna biru donker yang sesuai dengan warna kesukaan Dean.

“Ya ampun! Shena tidak bisa mengambil bingkainya,” keluh Shena saat ia tidak bisa mengambil pigura yang berada di rak paling atas.

Susah payah Shena berjinjit untuk bisa meraih pigura tersebut, namu setiap percobaan yang Shena lakukan selalu gagal. Hampir saja Shena menyerah, namun tiba-tiba saja sebuah tangan kekar tampak mengambil pigura yang sejak tadi ingin Shena ambil.

“Mau ambil yang ini?” tanya seorang pria dengan setelan jaket denim yang baru saja mengambil piguran incaran Shena.

“Iya,” jawab Shena pelan.

Pria tersebut tampak tersenyum ke arah Shena. Ia kemudian memberikan pigura yang tadi ia pegang pada Shena.

“Eh, kenapa piguranya--”

“Nama kamu Shena, kan?” tanya pria tadi yang berhasil membuat Shena mendongak.

“Namaku Ragil,” kata pria bernama Ragil tersebut sembari mengulurkan tangan kanannya di hadapan Shena.

Sesaat Shena terdiam penuh bingung. Bagaimana bisa pria asing ini mengenal dirinya? Sepertinya, Shena belum pernah bertemu dengan pria tersebut.

“Aku salah satu teman dekatnya Dean,” kata Ragil tanpa sadar membuat Shena menghela napas lega.

“Ini…” Ragil tampak menggerak-gerakan tangan kanannya yang belum juga mendapat balasan. Shena yang menyadari hal tersebut pun langsung meraih tangan Ragil.

“Shena Adiningrum. Ragil cukup panggil dengan nama Shena saja,” kata Shena yang justru membuat Ragil terkekeh.

Sepertinya Shena memang tidak mengingatnya sama sekali. Baiklah, Ragil tidak perlu dan tidak berhak merepotkan hal tersebut. Tugas dia ketika bertemu dengan Shena bukanlah soal Shena mengingatnya atau tidak.

“Persis seperti yang Dean ceritakan,” kata Ragil sambil melepaskan tangannya dari Shena.

“Maksudnya?” tanya Shena bingung.

“Aku sering mendengar serita tentang kamu dari Dean,” jawab Ragil membuat Shena mengangguk.

“Dean cerita apa saja sama Ragil?” tanya Shena.

Ragil tampak berfikir sejenak. Ia kemudian mulai menceritakan hal apa saja yang sudah Dean ceritakan tentang Shena. Dan tanpa sadar Shena ikut larut dalam cerita yang Ragil ucapkan sambil berjalan bersama mengelilingi toko buku.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel