Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Pria Asing

Bab 3 Pria Asing

“Menjauhimu akan terasa lebih baik, daripada tetap mendekatimu namun terus merasa sakit.”

Lima belas menit setelah bel pulang sekolah…

Shena masih duduk di dalam kelas untuk menyalin catatan materi sejarah yang terpampang di papan tulis. Setelah istirahat kedua berakhir Shena mengikuti latihan paskibra yang membuatnya tidak bisa mengikuti pelajaran sejarah. Alhasil, sekarang Shena harus tinggal lebih lama di dalam kelas untuk menyelesaikan catatannya.

“Kenapa belum pulang?”

Pertanyaan tersebut membuat Shena yang tengah fokus menulis pun terlihat menoleh. Saat ini tepat di hadapan Shena sudah terlihat sosok Dean yang sedang berdiri tegap dengan kedua tatapan lurus ke arah Shena.

“Kamu sendiri kenapa belum pulang?” tanya Shena sembari melanjutkan aktivitas menulisnya.

“Kamu?” tanya Dean merasa aneh saat mendengar Shena memanggilnya dengan sebutan “kamu”.

“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Shena tanpa menolehkan wajahnya ke arah Dean.

Dean tampak mengernyit mendengar pertanyaan yang barusaja diucapkan oleh Shena. Jarang sekali Shena menjawab pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan. Dan juga, Shena tidak pernah menyebut Dean dengan sebutan “kamu”, melainkan selalu menyebuat nama “Dean” setiap kali berbicara dengannya.

“Aku baru selesai latihan basket,” kata Dean berusaha mengalihkan pembicaraan.

Shena hanya mengangguk pelan sebagai respon dari ucapan Dean. Hal tersebut tentu membuat Dean semakin merasa aneh dengan sikap gadis tersebut.

“Masih lama?” tanya Dean yang dijawab anggukan kepala oleh Shena.

“Diselesaikan di rumah saja. Aku ada catatannya,” kata Dean.

“Tidak perlu,” tolak Shena cepat.

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa,”

“Shena!” seru Dean membuat Shena menoleh. Dilihatnya pria yang sedang berdiri di hadapannya dengan wajah yang terlihat merah.

“Tenaga aku sudah habis untuk pelajaran dan latihan basket. Pengin cepat-cepat pulang ke rumah,” kata Dean berusaha menjelaskan pada Shena jika tubuhnya sudah merasa sangat lelah.

“Terus hubungannya dengan Shena apa?” tanya Shena.

“Aku harus menunggu kamu selesai dulu baru bisa pulang--”

“Shena bisa pulang sendiri,” kata Shena terdengar santai.

“Pulang sendiri?” tanya Dean merasa belum percaya dengan ucapan Shena.

“Iya. Shena bawa uang sendiri buat naik taxi,” kata Shena.

“Kamu berani?” tanya Dean yang segera diangguki oleh Shena.

“Tidak-tidak,” kata Dean menggeleng cepat.

“Kamu tadi pagi berangkat sekolah denganku. Pulang sekolah juga harus denganku. Lagi pula juga kamu setiap hari pulang pergi ke mana pun denganku, Shena” ujar Dean menatap lurus ke arah gadis yang sedang duduk di hadapannya.

Shena menghentikan aktivitas menulisnya kemudian menoleh ke arah Dean. Satu kelemahan terbesar Shena adalah saat ia harus bertukar pandang dengan Dean. Sekali pun Shena tidak pernah bisa melawan tatapan lembut yang Dean berikan untuknya.

“Shena mau pulang sendiri,” kata Shena berusaha keras untuk menolak ajakan Dean.

“Tapi kamu belum pernah--”

“Shena mau mencoba banyak hal yang belum pernah Shena lakukan,” kata Shena.

Dean tampak membuang napas kasar. “Kamu ingin naik taxi? Kalau iya, aku temani kamu--”

“Sayang!”

Panggilan nyaring tersebut membuat Shena dan Dean menoleh serempak. Di depan pintu sudah terlihat Grace yang sedang berdiri sambil menyunggingkan senyum lebar ke arah Dean.

“Ayo ... Sayang, pulang sekarang,” kata Grace yang tentu ia tujukan pada kekasihnya - Dean.

“Lihat? Sudah ada yang menunggu Dean pulang bersama,” kata Shena mencoba tetap tersenyum.

“Dean harus lebih memperhatikan pacar Dean daripada Shena yang hanya berstatus sebatas teman,” imbuhnya membuat Dean berdecak pelan. Ia hendak membalas ucapan Shena namun suara nyaring Grace membuat Dean kembali diam.

“Sayang ayo pulang! Kenapa masih di sana terus?” kesal Grace terlihat menatap sinis ke arah Shena.

Mendengar ucapan Grace membuat Shena kembali menoleh ke arah pria yang masih duduk di sebelahnya.

“Sana pulang. Nanti Shena kabari kalau sudah sampai rumah,” kata Shena lembut.

Dengan terpaksa Dean pun mengangguk pelan. “Begitu tugasnya selesai langsung pulang. Tunggu taxi di halte depan sekolah, jangan terima tawaran dari orang yang tidak dikenal. Lima menit taxi belum datang langsung kabari aku. Paham?”

Shena mengangguk paham. Ia kembali menyuruh Dean untuk segera pulang bersama Grace. Jangan sampai Grace berpikiran buruk tentang Shena gara-gara melihat Dean berada di sebelah Shena.

“Aku pulang dulu,” pamit Dean kemudian beranjak pergi dari hadapan Shena.

Sekarang, dapat Shena lihat dengan jelas bagaimana Dean akan semakin menjauh darinya. Meskipun Dean tetap memberi perhatian pada Shena, namun kehadiran Grace yang berstatus sebagai kekasih Dean tentu akan lebih banyak mendapat perhatian dari Dean. Akan terlihat tidak wajar jika Dean justru lebih memperhatian Shena daripada Grace.

Sudahlah. Tidak akan ada habisnya jika Shena terus memikirkan hubungannya dengan Dean. Lebih baik sekarang Shena fokus menyelesaikan catatannya supaya ia bisa secepatnya pulang ke rumah. Oke?

***

Pukul 16.15 WIB

Sudah lebih dari lima belas menit Shena duduk terdiam di halte yang berada di depan sekolah. Kondisi sekolah saat ini sudah benar-benar sepi. Tidak ada satu pun suara manusia yang dapat Shena dengar.

Wajar saja jika sekolah sudah terlihat sepi. Sudah lebih dari satu jam sejak bel pulang sekolah berbunyi. Ditambah hari ini tidak ada jadwal ekstrakurikuler, membuat suasana sekolah terlihat lebih cepat sepi dari biasanya.

“Kenapa belum ada kendaraan umum yang lewat?” tanya Shena sembari menatap ke arah jalanan yang berada di depannya.

Berkali-kali Shena mencoba untuk memesan taxi online, namun berkali-kali juga Shena gagal memperoleh driver. Mungkin karena sekarang adalah puncak waktu kemacetan sehingga membuat para driver ojek online juga sibuk.

Sebenarnya Shena bisa saja menghubungi Dean untuk menjemputnya, lagi pula ini sudah lebih dari lima menit sejak Shena duduk di halte. Namun, lagi-lagi Shena teringat akan status Dean yang sekarang sudah memiliki kekasih.

“Dean itu ganteng, pantas saja dia playboy,” gumam Shena tanpa sadar tersenyum karena menyebut nama Dean.

Orang yang paling Shena sayangi setelah keluarganya adalah Dean. Shena merasa sangat bersyukur bisa mengenal Dean dengan baik. Mengenal Dean secara tidak terduga, dan memiliki rasa suka terhadap Dean secara tiba-tiba.

“Kenapa Shena harus suka dengan laki-laki yang tidak suka dengan Shena?” tanya Shena pada dirinya sendiri.

Kepribadian Shena yang tidak mudah bergaul dengan orang membuat Shena hanya memiliki sedikit teman dekat. Dan dari beberapa teman dekat yang Shena punya, Dean lan sosok manusia yang paling dekat dengan Shena. Hanya dengan Dean saja Shena bisa mengatakan semua hal tanpa merasa malu ataupun canggung.

Tin tin!

Suara klakson motor yang begitu keras membuat Shena menoleh. Ia melihat sebuah motor besar berhenti tepat di depan halte. Sosok pria terlihat membuka helm fullface yang sedang ia pakai, seolah ingin memperlihatkan wajahnya pada Shena.

“Mau pulang denganku?” tanya pria tadi segera dijawab gelengan kepala oleh Shena.

Melihat ekpresi wajah Shena yang terlihat takut membuat pria yang tengah duduk di atas motor sport-nya itu pun tersenyum. Sedangkan Shena semakin menundukkan kepalanya, berusaha untuk tidak menatap pria yang tidak ia kenal.

Tanpa Shena duga, pria yang tadi menawarinya tumpangan tersebut baru saja turun dari motor kemudian berjalan mendekat ke arah Shena. Hal tersebut tentu membuat Shena semakin was-was.

“Kita satu sekolah. Jadi kamu tidak perlu takut,” kata pria tadi yang kini sudah berdiri di depan Shena.

Tentu saja Shena tahu jika pria tersebut satu sekolah dengannya. Jelas-jelas jika motor pria tadi keluar dari gerbang sekolah yang sama dengan Shena.

“Sudah lebih dari jam empat sore, tidak akan ada kendaraan umum yang lewat depan sekolah. Lebih baik aku antar kamu pulang ke rumah,” tutur pria tadi terdengar membujuk Shena untuk pulang dengannya.

“Ayo aku antar pulang,” kata pria tadi berusaha meraih tangan Shena namun segera Shena tepis.

“Wah! Gadis manis sepertimu bisa kasar juga?” heran pria tadi sembari menatap takjub ke arah Shena.

“Aku pikir wajah polos kamu sebanding dengan ucapanmu. Ternyata dugaanku salah,” ujar pria tadi membuat Shena tiba-tiba merasa merinding.

Sesaat Shena teringat ucapan teman-teman kelas yang membicarakan tentang kumpulan preman sekolah. Jika Shena tidak salah dengar, ada sebuah perkumpulan para siswa yang terbilang nakal dan sering melakukan tawuran di dalam mau pun di luar sekolah. Apa mungkin pria yang tengah berdiri di depan Shena adalah salah satu di antara preman sekolah?

“Aku bukan preman sekolah, Cantik. Wajah tampanku bahkan lebih cocok dikatakan sebagai pangeran sekolah,” kata pria tadi terdengar begitu percaya diri.

Shena hanya terdiam di tempat. Tidak mau merespon ucapan dari pria yang tidak ia kenal. Keterdiaman Shena justru membuat pria mengerikan tadi semakin tertarik dengan gadi tersebut. Satu tangannya tampak meraih dagu Shena namun lagi-lagi ditepis kasar oleh Shena.

“Ck. Kenapa kamu selalu menghindariku? Apa aku terlihat menyeramkan? Kau bahkan belum melihat wajahku, Cantik” kata pria tadi masih terus menatap Shena.

“Shena tidak mengenalmu,” lirih Shena membuat pria tadi mengernyit.

“Shena? Nama kamu Shena?” tanya pria tadi.

Sial. Bagaimana bisa Shena menyebutkan namanya di hadapan orang yang tidak ia kenal?

“Ayo Shena pulang bersamaku. Akan aku antarkan kamu sampai rumah dengan selamat,” kata pria tadi kembali membujuk Shena. Namun lagi-lagi Shena menggeleng.

Melihat respon Shena yang kembali menolak justru membuat pria tadi semakin tertarik dengannya. Ia mulai meraih tangan Shena dan mencoba untuk mengajak gadis tersebut pulang bersamanya.

“Jangan pegang-pegang,” kata Shena berusaha menghindari tangan pria tersebut.

“Ayolah pulang bersamaku,” kata pria tadi masih terus gencar mengajak Shena.

“Tidak,” tolak Shena namun sama sekali tidak berpengaruh apapun pada pria tadi.

Susah payah Shena berusaha mempertahankan diri untuk tidak bergerak dari tempatnya. Namun, tenaga pria yang berada di depannya tentu lebih kuat daripada tenaga milik Shena. Air mata Shena mulai mengalir keluar dari pelupuk matanya melewati kedua pipi tirusnya. Kedua mata Shena terpejam sambil terus berharap ada malaikat penolong yang datang untuk menyelamatkannya.

BUGH!

Suara pukulan yang terdengar begitu keras membuat Shena membuka matanya. Pria yang tadinya mencekal tangan Shena kini sudah tersungkur ke bawah dengan noda darah di sudut bibirnya. Sedangkan tatapan pria tadi tampak melirik sengit ke arah pria yang barusaja memukulnya.

“Sialan!”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel