Bab 2 Awal Bertemu
Bab 2 Awal Bertemu
“Aku menyukaimu. Namun aku harus melupakanmu, karena kamu bukanlah milikku.”
Seorang gadis berusia lima tahun terlihat tengah asyik bermain dengan beberapa boneka di hadapannya. Kedua tangan mungilnya tampak menggerakkan tubuh boneka beruang yang tengah ia pegang. Sesekali terdengah suara tawa dari gadis tersebut saat berhasil memerankan tokoh boneka yang ia inginkan.
“SHENA TURUN SEBENTAR SAYANG!”
Teriakan yang berasal dari lantai satu tersebut membuat gadis kecil tadi menghentikan aktivitasnya. Ia tampak meletakkan boneka mainannya kemudian beranjak berdiri.
“IYA BUNDA!” seru gadis kecil bernama Shena sambil berjalan turun ke lantai satu.
Langkah kecil Shena yang terdengar menuruni anak tangga membuat beberapa orang yang berada di lantai satu tampak menoleh.
“Hati-hati sayang jalannya,” kata Mina - ibunda Shena terlihat berjalan mendekati putrinya.
Shena pun kini berjalan ke arah ruang tamu sambil berpegangan tangan dengan bundanya. Di dalam ruang tamu sudah terlihat beberapa orang yang tengah duduk sambil melihat ke arah Shena.
“Nah, Shena beri salam dulu ke Om Dika, Tante Rosa dan juga Dean,” pinta Mina kepada putri semata wayangnya.
Shena terdiam sembari menatap tiga orang asing yang tengah berdiri di hadapannya. Kedua tangannya tampak menggenggam erat kemeja yang dikenakan oleh ibunya. Shena tampak bersembunyi dibalik tubuh Mina dengan raut wajah ketakutan.
“Ayo Shena beri salam dulu untuk tetangga baru kita,” rayu Mina sambil menarik lembut tangan putri semata wayangnya.
Shena menggeleng pelan. Ia kembali menyembunyikan wajahnya di balik tubuh Mina. Sangat jarang bagi Shena untuk melihat orang asing yang belum pernah ia temui.
“Hai! Namaku Dean,” kata seorang laki-laki berusia sekitar satu tahun di atas Shena.
Bocah laki-laki bernama Dean tersebut tampak mendekat ke arah Shena sembari mengulurkan tangan kanannya.
Shena yang melihat sikap Dean yang sangat tidak disangka pun masih terus terdiam. Belum berani untuk membalas uluran tangan dari Dean.
Sadar dengan respon yang diberikan oleh Shena membuat Dean menarik kembali uluran tangannya. Ia kemudian meraih tas ransel miliknya kemudian mengambil satu benda yang ada di dalam tas tersebut.
“Untuk kamu,” kata Dean sambil menyerahkan setangkai bunga mawar merah pada Shena.
Bunga mawar merah tersebut Dean bawa saat ia akan berkunjung ke rumah Shena. Ia pikir teman barunya akan senang jika ia bawakan hadiah.
Beberapa saat berlalu dan Dean masih menunggu respon dari Shena. Namun, saat ia melihat Shena tidak kunjung menerima bunga pemberian darinya membuat Dean menarik kembali bunga tersebut.
“Jangan!” kata Shena saat Dean akan memasukkan bunga mawar tadi ke dalam tas.
“Mau bunganya…” lirih Shena yang terlihat menundukkan kepala.
Dean yang mendengar hal tersebut pun terlihat menyunggingkan senyum di wajahnya. Ia kemudian menyerahkan kembali bunga mawar tadi kepada Shena.
Perlahan tangan mungil Shena mengambil bunga mawar dari tangan Dean. Sebuah senyuman merekah dari wajah Shena saat ia berhasil menerima bunga mawar tersebut.
“Jadi, Dean boleh menjadi teman Shena?” tanya Dean yang terlihat diangguki oleh Shena.
“Dean suka melihat Shena tersenyum. Terlihat lebih cantik seperti bunga mawar,” kata Dean membuat Shena mendongak.
Berawal dari ucapan konyol yang dilontarkan oleh bocah laki-laki berusia enam tahun yang berhasil membuat kepribadian baru bagi Shena. Sejak saat itulah Shena mulai menyukai bunga mawar merah. Shena selalu ingin terlihat cantik seperti bunga yang diberikan oleh Dean. Sahabat kecil Shena, sekaligus menjadi cinta pertama Shena.
***
Kringggg! Kringgg! Kringggg!
Bel tanda istirahat terdengar menggema di seluruh sudut SMA Ganesha. Ratusan siswa terlihat berdesakan keluar kelas. Setelah lebih dari satu jam otak mereka dipenuhi dengan materi pelajaran, membuat para siswa tersebut ingin mengisi kembali tenaganya yang sudah habis untuk berfikir.
Dari sekian banyak siswa yang bergerombol keluar kelas, Shena justru memilih untuk tetap di dalam kelas. Tatapannya terlihat kosong seolah tengah memikirkan sesuatu yang begitu mengusiknya
“Ayo ke kantin, Shen?” ajak Brenda yang barusaja kembali dari toilet.
“Malas,” kata Shena terdengar menghela napas panjang.
“Perut kita itu harus diisi, Shena. Setelah ini masih ada pelajaran Matematika yang pasti akan menguras tenaga kita,” kata Brenda mengingatkan sahabatnya tersebut.
Shena menggeleng pelan. Ia tidak mau ke kantin bukan karena tidak lapar. Tapi karena ia tidak mau melihat kemesraan Dean dan Grace yang selalu duduk satu meja.
“Kita ke kantin beli makanan saja, Shen. Nanti makannya di kelas juga tidak apa-apa,” kata Brenda yang berhasil membuat Shena mendongak.
“Kamu tidak suka melihat Grace dekat-dekat sama Dean. Jadi kamu bisa makan di kelas dan tidak terlalu lama melihat pemandangan yang tidak kamu sukai,” ujar Brenda seperti memiliki kemampuan untuk mengetahui pikiran orang lain.
“Shena tidak benci Grace. Hanya saja--”
“Kamu suka Dean. Jadi wajar saja kalau kamu tidak menyukai setiap wanita yang menjadi kekasih Dean,” potong Brenda sebelum Shena menyelesaikan ucapannya.
“Brenda tahu dari mana kalau Shena suka dengan Dean?” tanya Shena. Seingatnya, Shena tidak pernah memberitahu pada siapa pun jika ia menyukai Dean.
“Tidak ada persahabatan yang tulus di antara laki-laki dan perempuan. Salah satu di antaranya pasti akan jatuh atau dengan kata lain akan merasakan cinta dengan sahabatnya sendiri,” papar Brenda membuat Shena membulatkan mulutnya.
Benar juga apa yang dikatakan oleh Brenda. Seperti beberapa film yang pernah Shena tonton juga menceritakan hal semacam tadi. Persahabatan diantara laki-laki dan perempuan memang tidak akan pernah ada yang tulus.
Seperti yang dikatakan oleh Brenda, salah satu pihat pasti akan merasakan cinta diantara persahabatan yang sudah mereka pertahankan. Dan biasanya pihak yang akan jatuh terlebih dulu adalah pihak perempuan. Seperti yang saat ini sedang Shena rasakan.
“Kalau kamu tidak mau ke kantin, aku pergi ke kantin sendirian saja. Kamu bisa titip makanan--”
“Shena ikut,” kata Shena membuat Brenda mengernyit.
“Kamu yakin?” tanya Brenda.
Shena mengangguk sembari beranjak dari duduknya. “Ayo ke kantin sekarang. Sebelum istirahatnya habis.”
Brenda pun ikut mengangguk. Mereka berdua kemudian keluar kelas dan berjalan bersama menuju kantin sekolah.
Karena letak kantin yang hanya berselisih satu ruangan dengan kelas Shena membuatnya tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat yang Shena tuju. Saat ini sudah terlihat jelas puluhan siswa tengah berdesakan mengantri makanan di kantin tersebut.
“Mau pesan apa, Shen?” tanya Brenda.
“Aku pesan minum saja, Bren. Tadi sudah dibawakan bekal sama Bunda,” jawab Shena.
“Mau pesan minuman apa? Biar aku yang pesankan,” ujar Brenda menawarkan bantuan.
“Es teh manis seperti biasa,” kata Shena yang terlihat diangguki oleh Brenda.
“Oke. Aku pergi ke sana dulu ya,” pamit Brenda kemudian berlari ke arah penjual kantin.
Sembari menunggu Brenda selesai membeli makanan, Shena terlihat duduk di salah bangku dekat kantin. Jenuh karena hanya berdiam diri membuat Shena memikirkan hal apa yang bisa ia lakukan untuk menghilangkan rasa bosannya.
Sesaat Shena teringat jika ia sempat menyimpan satu lembar kertas di dalam saku rok seragamnya. Ia pun kemudian mengambil satu lembar kertas tersebut lengkap beserta pensilnya juga.
Karena hobi menggambar membuat Shena selalu membawa kertas kosong dan juga pensil di mana pun ia pergi. Seperti sekarang ini, Shena membawa dua alat tersebut bahkan di saat ia tidak memiliki niat awal untuk menggambar. Alhasil, kertas dan pensil yang Shena bawa bermanfaat baginya untuk mengusir rasa bosannya saat sendirian.
Sebelum menggambar Shena selalu menentukan satu hal penting yaitu objek apa yang akan ia gambar. Dan sekarang kedua mata Shena tampak meneliti ke seluruh penjuru kantin dan sekitarnya untuk menentukan satu objek menarik. Cukup lama Shena mencari objek yang sesuai dengan keinginannya, hingga akhirnya tatapan Shena terhenti saat ia menemukan sepasang kekasih yang tengah duduk mesra sembari melontarkan candaan yang membuat keduanya saling tertawa.
“Kenapa harus mereka?” batin Shena terdengar menghela napas panjang.
“Kenapa Shena harus melihat mereka berdua?” tanya Shena pada dirinya sendiri.
Bagaimana bisa Shena menjatuhkan tatapannya tepat di mana Dean dan Grace tengah duduk bersama. Potret keduanya yang terlihat mesra membuat Shena seolah tersihir untuk terus menatapnya. Bukan mereka berdua, melainkan hanya satu orang yang Shena lihat.
“Kenapa harus Dean lagi?” tanya Shena sembari menatap ke arah kertas kosong yang sedang ia pegang.
Hampir semua objek yang Shena gambar selalu memperlihatkan wajah Dean. Entah saat pria tersebut tengah tertawa, marah, sedih, atau pun sedang tidak melakukan apa-apa. Tangan Shena selalu tertarik untuk menggambar segala hal yang berkaitan dengan Dean.
“Ingat Shena ingat! Dean itu sudah punya pacar. Tidak seharusnya Shena menyukai Dean,” kata Shena berusaha meyakinkan dirinya.
Berkali-kali Shena memantapkan diri untuk tidak lagi menyukai Dean, namun berkali-kali pula Shena merasa gagal dengan usahanya. Sekali pun Shena tidak pernah berhasil untuk melupakan Dean. Semakin Shena berusaha keras untuk melupakan, justru membuatnya semakin menyukai Dean.
“Mengapa sangat sulit untuk melupakan Dean?”
***