Bab 14 Berkencan?
Bab 14 Berkencan?
Pulang sekolah…
Shena sedang berjalan sendirian melewati lorong-lorong kelas yang masih banyak terlihat siswa berlalu lalang. Setelah mendengar bel pulang sekolah berbunyi, Shena segera bergegas keluar dari kelas. Ia bahkan tidak sempat berpamitan dengan Brenda, karena gadis tersebut sedang berada di kamar mandi.
Ting!
Shena merogoh ponsel yang berada di dalam saku roknya. Mendengar satu notifikasi pesan masuk membuat Shena langsung bergegeas membukanya. Mengantisipasi jika pesan tersebut memang sangat penting.
DEAN: tunggu di tempat parkir
DEAN: Grace pulang sendiri
Selesai membaca pesan tersebut Shena Kembali memasukkan ponsel ke dalam saku. Tidak berniat untuk membalas pesan dari Dean. Baru kali ini Shena melakukan hal seperti itu. Biasanya ketika mendapat pesan dari Dean pasti akan langsung Shena balas.
Kedua kaki Shena terus berjalan menuju parkiran. Sesekali mulut Shena bergumam pelan, menyanyikan beberapa lagu yang ia sukai. Sampai akhirnya Shena sampai di parkiran sekolah.
Shena memilih untuk duduk di salah satu bangku yang berada di lorong dekat parkiran. Daripada harus menunggu di depan mobil Dean, Shena lebih memilih untuk duduk sendirian asal tidak mendapat tatapan-tatapan aneh dari para gadis yang berada di sekitar parkiran.
Setiap kali Shena berada di dekat Dean, atau hanya berdiri di sebelah mobil Dean, pasti ada saja siswi di sekolahnya yang menatap tidak suka ke arah Shena. Awalnya Shena merasa biasa-biasa saja karena ia tidak tahu alasan para siswi menatapnya seperti itu. Tapi lama kelamaan Shena mulai jengah dan risih. Oleh sebab itu sekarang Shena lebih memilih menunggu Dean dengan duduk manis di atas bangku berbahan dasar kayu ini.
“Sendiri?”
Pertanyaan tersebut membuat Shena menoleh. Bisa Shena lihat dengan jelas wajah Barents yang saat ini sedang menatapnya. Entah sejak kapan Barents sudah berdiri di hadapan Shena.
“Iya,” jawab Shena singkat. Shena merasa jika pertanyaan Barents masih wajar, jadi tidak ada salahnya jika Shena jawab pertanyaan tersebut.
“Boleh duduk di sebelah kamu?” tanya Barents yang lagi-lagi membuat Shena menoleh.
“Aku juga sedang menunggu temanku yang masih latihan futsal. Daripada menunggu di dalam mobil, sepertinya akan lebih nyaman jika menunggu di luar sambil menghirup udara segar,” papar Barents yang terdengar mencoba memberi keyakinan pada Shena bahwa dia tidak memiliki niat jahat pada gadis tersebut.
Bagi Shena yang memiliki pengalaman buruk saat pertama kali bertemu dengan Barents, tentu Shena sangat was-was ketika melihat pria tersebut mendekatinya. Segala pikiran negatif bermunculan dalam otak Shena jika harus berdekatan dengan Barents.
“Boleh aku duduk—”
“Boleh,” jawab Shena.
Merasa sudah mendapat ijin dari Shena, Barents kemudian duduk di sebelah gadis tersebut. Tujuan Barents mendekati Shena tentu bukan karena keisengan belaka. Barents memiliki maksud tersendiri kenapa ia mendekati Shena.
“Jadi, kamu mau menerima tawaran dariku apa tidak?” tanya Barents yang terdengar sangat tiba-tiba.
Shena yang mendapat pertanyaan tersebut terlihat menoleh. Gadis polos tersebut tampak mengernyit bingung. Tidak paham dengan pertanyaan dari Barents.
“Tawaran apa?” tanya Shena.
“Kantin,” jawab Barents. Sengaja tidak langsung memperjelas maksud ucapannya.
Barents mulai tahu jika Shena memang benar-benar gadis yang polos. Shena akan terus bertanya pada sesuatu yang membuat dia penasaran. Dan Barents, ia sengaja mengulur waktu supaya bisa memiliki waktu lebih lama bersama Shena.
“Shena tidak paham dengan pertanyaan dari Barents. Boleh dijelaskan lebih detail lagi?” tanya Shena memohon. Kali ini Shena tidak menatap Barents dengan tatapan sengit ataupun dengan perasaan takut.
“Kamu masih ingat pembicaraan kamu dengan Brenda saat di kantin?” tanya Barents yang membuat Shena mengangguk.
“Tadi kamu menanyakan apa sama Brenda?”
“Soal berkencan,” jawab Shena. Tiba-tiba saja Shena langsung terpikirkan dengan jawaban tersebut.
“Kamu ingin tahu rasanya berkencan?” tanya Barents.
Shena menggeleng. “Shena tidak tahu. Shena belum pernah merasakannya. Shena masih bingung dan juga Shena tidak tahu bagaimana caranya berkencan—”
Tiba-tiba saja Shena teringat dengan kejadian tadi siang di kantin. Saat Shena tengah asyik berbincang dengan Brenda, tiba-tiba Barents datang menghampiri mereka berdua dan ikut berbincang dengan Shena juga.
Selain itu, Shena masih ingat dengan pertanyaan yang terus Barents tanyakan padanya, “Mau aku ajari caranya?”
“Kamu kenapa, Shen? Sakit?” tanya Barents saat melihat Shena terdiam dengan wajah gelisah.
“Tidak. Shena sehat-sehat saja,” jawab Shena.
“Wajah kamu terlihat pucat,” kata Barents.
“Kata Dean kalau Shena sedang berpikir keras memang terlihat pucat,” ujar Shena yang tampak membuat Barents mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalian berdua sudah dekat sejak kapan?” tanya Barents yang lagi-lagi membuat Shena mengernyit. “Kamu dan Dean. Sejak kapan kalian berdua memiliki hubungan yang sangat dekat?” ujar Barents memperjelas ucapannya.
“Sejak umur lima tahun,” jawab Shena.
Sebelum Kembali melanjutkan ucapannya, Shena terlebih dahulu menyandarkan tubuhkan ke sandaran bangku yang berada di belakang. Mencari posisi yang nyaman untuk mulai bercerita.
“Rumah Shena ada di sebelah rumah Dean. Dari kecil Dean selalu mengajak Shena bermain bareng. Dean sangat baik dengan Shena. Dan karena itulah Shena dan Dean bisa dekat sampai sekarang,” tutur Shena menjelaskan pada Barents.
“Kamu tetap mendekati Dean, walaupun kamu tahu kalau Dean sudah punya kekasih?” tanya Barents.
Shena menggeleng. “Shena tidak mendekati Dean. Shena dan Dean memang sudah dekat sejak kecil. Sebatas dekat sebagai teman,” kata Shena.
Memang hanya sebatas teman. Dean hanya menganggap Shena sebagai temannya. Lain halnya dengan Shena yang sudah sejak lama memiliki perasaan pada Dean.
“Kamu yakin hanya sebatas teman?” tanya Barents memastikan.
“Iya. Lagi pula Dean memang menganggap Shena sebagai temannya—”
“Dan kamu?” tanya Barents. “Apa kamu juga menganggap Dean sebagai temanmu?”
“Tentu,” jawab Shena cepat.
Jangan heran jika Shena bisa menjawab pertanyaan dari Barents dengan begitu cepat dan lantang. Dean sudah sering mengajari Shena bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak penting dari orang lain.
“Apa kamu tidak menyukai Dean?”
“Barents sudah diluar batas,” kata Shena membuat Barents menoleh.
“Tidak seharusnya Barents menanyakan hal semacam itu pada orang asing.”
“Aku tidak menganggapmu sebagai orang asing,” kata Barents.
“Tapi Shena dan Barents belum lama kenal. Jadi tetap saja Shena masih menganggap Barents sebagai orang asing,” ujar Shena yang membuat Barents terkekeh.
“Kenapa Barents tertawa?” tanya Shena heran.
“Karena kamu lucu, Shena” jawab Barents jujur.
“Mengapa gadis cantik dan lucu sepertimu tidak memiliki kekasih. Hm?”
“Tidak ada yang mau sama Shena,”
“Aku mau,”
Kedua bibir Shena seketika melongo. Ia menatap Barents tidak percaya. Bagaimana bisa pria tersebut mengatakan hal seperti tadi?
“Just kidding, baby” canda Barents sambil mengusap pelan puncak kepala Shena.
Satu hal kecil yang akan membuat jantung setiap gadis berdetak cepat. Mendapat perlakuan manis dari most wanted sekolah memang menjadi dambaan semua kaum hawa. Sangat mirip dengan jalan cerita yang ada di novel-novel remaja.
“Apa aku terlihat tampan?” tanya Barents membuat Shena mengerjapkan kedua matanya beberapa kali.
Shena memang terlihat diam tanpa suara. Saat Barents mengusap puncak kepalanya, saat itu juga Shena langsung berpikir bahwa,
Barents memang tampan…
Wajar jika Barents mendapat julukan sebagai most wanted di sekolah. Meskipun Barents sangat nakal, namun wajah tampannya tidak akan bisa membuat para gadis berpaling.
“Lebih tampan mana, akua tau Dean?” tanya Barents. Membuat Shena yang mendengar hal tersebut segera mengalihkan tatapannya dari pria tersebut.
“Semua pria itu tampan,” jawab Shena.
“Sungguh?”
“Ya,” jawab Shena cepat. “Shena pikir semua pria itu pasti tampan. Kalau cantik itu artinya dia bukan seorang pria.”
“Jadi menurutmu aku juga tampan?”
“Iya.” Jawaban yang Shena katakana baru saja terdengar sangat jujur dan meyakinkan. Barents yang mendengarnya pun tidak bisa menyembunyikan senyuman di wajahnya. Merasa menang dan bangga karena Shena mengakui ketampanannya.
“Tapi masih lebih tampan Dean,” imbuh Shena.
“Apa yang Dean miliki tapi tidak aku miliki?”
“Hati.”
Itu bukanlah suara Shena. Melainkan suara Dean. Pria tersebut sudah terlihat berdiri di hadapan Shena dan Barents.
“Dean sejak kapan ada di sini?” tanya Shena.
“Pulang sekarang.” titah Dean.
“Tapi Shena—”
“PULANG SEKARANG SHENA!” tegas Dean.
Mendengar bentakan dari Dean membuat Shena terkejut. Suara keras Dean terasa menusuk dan menakutkan. Karena tidak mau membuat Dean lebih marah lagi, Shena segera berkemas kemudian beranjak berdiri.
“Barents, Shena pulang dulu—”
Belum sempat Shena menyelesaikan ucapannya, Dean sudah terlebih dulu menarik tangan Shena untuk menjauh dari hadapan Barents.
Dean segera membawa Shena menuju mobilnya dan menyuruh gadis tersebut untuk masuk ke dalam mobilnya. Setelahnya Dean menyusul masuk ke dalam mobil dan bergegas melajukan mobilnya keluar dari halaman sekolah.
Shena yang melihat amarah dari wajah Dean hanya mampu diam. Tidak berani mengeluarkan suara. Bisa-bisa Dean akan lebih marah kalau Shena salah mengeluarkan kata-kata.
“Kenapa diam?” tanya Dean datar. Bahkan Dean tidak melirik sedikitpun ke arah Shena.
“Maksudnya?” tanya Shena pelan.
“Tidak mau menjelaskan padaku?” tanya Dean.
“Soal apa?”
“Kenapa harus berbicara dengan Barents.” kata Dean sambil menekankan pada setiap suku katanya.
“Hanya kebetulan,” lirih Shena.
“Kamu tidak sedang membohongiku?” tanya Dean penuh selidik.
“Tidak. Shena tidak membohongi Dean,” jawab Shena berusaha untuk menutupi rasa takut yang melanda dirinya.
Masih terus terngiang-ngiang dalam otak Shena, bagaimana tadi Dean membentaknya dengan sangat keras. Hari ini, sudah dua kali Dean memarahi Shena. Sampai berhasil membuat tubuh Shena bergetar karena takut.
“Aku melakukan semua ini untuk kebaikan kamu, Shena” kata Dean pelan. Tidak terdengar marah ataupun menggunakan kalimat keras dan kasar seperti tadi.
“Aku hanya akan melarangmu melakukan sesuatu, jika memang sesuatu itu tidak baik untukmu,” ujar Dean lagi.
Shena kembali terdiam. Tubuhnya sudah tidak lagi merasa takut saat mendengar nada bicara Dean yang mulai membaik. Perlahan Shena menolehkan kepalanya ke arah Dean. Dan saat ini, bukan raut amarah yang tercetak pada wajah tampak milik pria tersebut. Wajah Dean lebih terlihat seperti tengah merasa khawatir.
Ya. Khawatir. Dean sangat khawatir jika terjadi apa-apa dengan Shena. Karena jika hal buruk terjadi dengan Shena, maka Dean tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Sampai kapan pun.
***