Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Penasaran

Bab 13 Penasaran

Pagi ini Shena berangkat sekolah diantar oleh Dean. Tadi malam Dean sudah memberitahu Shena untuk bersiap-siap lebih pagi. Karena setelah mengantar Shena ke sekolah, Dean akan kembali ke luar sekolah untuk menjemput Grace.

“Sepuluh menit lagi sudah bel masuk,” kata Shena sambil melihat Dean yang sedang menyantap sarapan yang dibawakan oleh Mina.

“Maksudnya?”

“Dean akan terlambat sekolah kalau harus menjemput Grace,” jawab Shena.

Meskipun Shena tidak terlalu mengetahui lokasi rumah Grace, tapi mengingat kemarin saat Dean harus mengantar Grace pulang dan Kembali lagi ke sekolah, membutuhkan waktu lebih dari tiga puluh menit.

“Aku bisa menyetir dengan cepat, Shen” kata Dean.

“Jangan biasakan seperti itu. Dean bisa celaka kalau tidak hati-hati,” ujar Shena menasihati Dean.

“Aku bisa menjaga diriku sendiri, Shen” kata Dean mencoba meyakinkan Shena bahwa dirinya akan baik-baik saja.

“Kenapa Dean harus menjemput Grace?”

“Karena dia kekasihku,” jawab Dean cepat.

“Maksud Shena, kenapa Dean tidak menyuruh Grace berangkat sendiri ke sekolah?” tanya Shena membuat Dean mengernyit.

“Untuk hari ini saja. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi, Dean pasti akan terlambat ke sekolah kalau harus menjemput Grace,”

Dean menghentikan aktivitas makannya. Ia kemudian menatap Shena yang sejak tadi sudah menatapnya dengan wajah gelisah.

“Kamu menyuruhku untuk menelantar Grace?” tanya Dean yang saat itu juga membuat Shena menggeleng.

“Dia kekasihku, Shena. Meskipun aku tidak benar-benar menyukainya, selama statusku dengan Grace masih menjadi sepasang kekasih, aku punya kewajiban untuk membahagiakan dia,”

“Grace hanya menyuruhku untuk menjemputnya. Hal semacam itu wajar sekali dilakukan oleh seorang gadis yang sudah memiliki kekasih,” tutur Dean. Terlihat raut kekecewaan pada wajah Dean yang jelas ia tujukan untuk Shena.

“Dia hanya meminta perhatianku. Apa aku salah jika memperhatikan kekasihku?”

Shena menggeleng pelan. Kepalanya sudah menunduk sejak intonasi suara Dean sudah mulai meninggi.

“Maaf. Shena tidak tahu hal seperti itu. Shena tidak tahu karena Shena belum—”

“Coba buka hati kamu buat pria yang menyukaimu. Supaya kamu tahu bagaimana keinginan seorang gadis untuk bisa mendapatkan perhatian dari kekasihnya,” potong Dean sebelum Shena selesai mengucapkan ucapannya.

Saat itu juga Shena mendongak. Dilihatnya Dean yang sudah sudah berjalan keluar kelar. Sepertinya Dean sedang marah dengan Shena.

Ya. Tentu saja Dean marah karena kecerobohan Shena. Dean pasti kecewa karena Shena menyuruh dan bahkan mengatur kehidupan Dean yang sama sekali bukan haknya.

“Tapi… bukankah baru saja Dean menyuruh Shena untuk berkencan dengan seorang pria?”

Seingat Shena, baru kemarin Dean menyuruh Shena untuk tidak menyukai Barents. Hanya untuk Barents saja. Apa berarti jika untuk pria lain, Shena boleh memiliki perasaan suka?

***

Kringggg!

Seluruh siswa SMA Ganesha terlihat berhamburan keluar kelas. Mereka tampak berbondong-bondong berlarian menuju ke kantin. Rasa lapar sudah mendominasi seluruh siswa selepas menggunakan seluruh tenaga dan pikiran untuk belajar.

“Mau ke kantin sekarang?” tanya Brenda.

“Iya,” jawab Shena yang terlihat mengeluarkan satu lembar uang lima puluh ribu dari dalam dompetnya.

Jika biasanya Shena merasa malas untuk pergi ke kantin, namun untuk hari ini Shena justru sangat bersemangat untuk segera kelar kelas. Ia tidak mau berlama-lama di dalam kelas dan harus melihat Dean yang masih asyik berbincang dengan Grace.

“Mau makan apa, Shen?” tanya Brenda. Kini ia dan Shena sudah berjalan menuju kantin.

“Menurut Brenda, menu di kantin yang paling enak apa?” tanya Shena. Karena ia tidak sering pergi ke kantin, jadi tidak paham dengan menu yang tersedia di kantin sekolah.

“Batagor Pak Maman, Siomay Pak Udin, Bakso Wonogiri, Mie Ayam Goreng Mbak Yanti, Pecel Mang Memet, Nasi Uduk Bu Tun, terus—”

“Kenapa banyak sekali?” heran Shena karena Brenda menyebutkan banyak sekali makanan.

“Semua menu di kantin itu enak, Shen. Aku bingung jika harus memilih,” kata Brenda sambil menunjukkan cengirannya.

“Yang paling enak, Brenda”

“Beli soto saja. Aku sudah satu minggu ini tidak membeli Soto Mak Yayah,” jawab Brenda cepat.

Padahal tadi saat Shena pertama kali bertanya, Brenda tidak menyebutkan soto diantara banyaknya menu makanan yang ia sebutkan. Dan sekarang, dengan sangat cepat dan antusias Brenda mengajak Shena untuk mencicipi soto di kanti. Brenda memang aneh.

“Kedai sotonya masih ramai,” kata Shena saat melihat beberapa siswa yang berkerumunan di depan penjual soto.

“Ditunggu sambil minum es teh saja,” ujar Brenda sambil meraih tangan Shena untuk berjalan mengikutinya.

Mereka berdua kemudian duduk di sebuah gazebo yang berada di dekat kantin. Sebelum itu Brenda sudah membeli dua bungkus es teh manis untuknya dan untuk Shena.

“Kalau kita hanya duduk di sini, bagaimana bisa memesan soto?” tanya Shena saat menyadari jika tempat duduknya saat ini sangat jauh dari tempat penjual soto.

“Mudah saja,” kata Brenda. Membuat Shena yang mendengarnya hanya terdiam dan mengernyit bingung. Sebelum akhirnya sebuah suara yang sangat melengking membuat Shena terkejut.

“BU YAYAH PESEN SOTO AYAM SPECIAL DUA YA! DIANTAR KE GAZEBO BIASA!”

Teriakan dari mulut Brenda terdengar begitu menggelegar. Shena yang duduk di sebelah Brenda saja sudah sejak tadi menutup kedua telinganya. Namun saat Shena menatap ke sekitar kantin, puluhan siswa yang duduk di bangku kantin terlihat biasa saja saat mendengar teriakan Brenda.

“Selesai. Tinggal kita tunggu pesanannya datang,” kata Brenda setelah ia berhasil memesan makanan.

“Suara Brenda keras sekali,” cicit Shena.

“Kalau tidak keras, Bu Yayah tidak akan mendengar suaraku,” ujar Brenda kemudian mulai menyeruput es teh miliknya.

“Brenda tidak malu?” tanya Shena.

“Malu kenapa?”

“Baru saja Brenda teriak-teriak di kantin,”

Brenda tertawa pelan mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Shena. Jelas sekali jika Shena memang sangat jarang makan di kantin. Shena juga terlihat belum nyaman untuk duduk diantara banyaknya siswa dari berbagai kelas.

“Hal semacam itu sudah biasa, Shen. Kalau kita mau beli makan di kantin, apa pun caranya akan kita lakukan supaya makanan kita cepat datang. Masih terbilang biasa kalau hanya berteriak untuk memesan makanan. Kamu kalau tahu anak-anak jurusan Bahasa, mereka lebih brutal lagi kalau pesan makanan di kantin,” papar Brenda.

“Brutal bagaimana?” tanya Shena.

“Mereka langsung masuk ke dalam kedai terus mencomoti setiap masakan satu persatu. Anak-anak Bahasa juga lebih sering mengambil makanan sendiri dan mengabaikan penjual. Karena kalau mengambil makanan sendiri, pasti porsinya akan lebih banyak,” jawab Brenda memberitahu hal yang belum diketahui oleh Shena.

Wajar saja jika anak-anak jurusan Bahasa itu brutal. Mayoritas dari mereka berjenis kelamin laki-laki. Dan juga, Shena sering melihat para pengurus OSIS menghukum mereka karena terlambat sekolah atau karena pelanggaran lainnya.

“Oh ya. Tadi aku melihat Dean dihukum sama OSIS di lapangan. Waktu aku tanya sama Thomas—”

“Thomas bilang apa?” tanya Shena cepat. Thomas adalah Ketua OSIS di SMA Ganesha. Jadi dia pasti tahu kenapa Dean sampai mendapat hukuman.

“Tadi saat jam pelajaran pertama kamu sedang ada rapat sama anak-anak paskibra ya?” tanya Brenda membuat Shena segera mengangguk.

“Dean dan Grace terlambat ke sekolah,” kata Brenda. Shena yang mendengar hal tersebut tampak menghela napas panjang.

Dugaan Shena sama sekali tidak meleset. Dean pasti akan terlambat sekolah jika harus menjemput Grace. Coba saja pagi tadi Shena tidak salah memilih kata-kata, Dean pasti akan menuruti saran darinya.

Memikirkan hal tersebut membuat Shena kembali teringat jika saat ini Dean masih marah dengannya. Lagi-lagi Shena mengingat kalimat terakhir yang Dean ucapkan sebelum keluar dari kelas.

“Shena boleh tanya sesuatu sama Brenda?” tanya Shena.

“Boleh. Langsung tanyakan saja,” jawab Brenda tanpa perlu berpikir panjang.

“Apa Brenda pernah… berkencan dengan pria?” tanya Shena dengan suara pelan. Takut-takut jika ada orang lain yang mendengarnya.

“Pernah. Aku pernah melakukannya dua kali,” jawab Brenda. Terdengar tidak ada keraguan sama sekali.

“Dua kali? Dengan siswa di sekolah ini?” tanya Shena lagi.

“Yang satu iya, dan yang satu sama siswa di sekolah tetangga,”

Shena tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata hampir semua ramaja seusianya pernah berkencan. Hanya sedikit yang belum pernah melakukannya. Termasuk Shena.

“Apa menyenangkan jika berkencan dengan seorang pria?” tanya Shena.

“Akan sama-sama senang kalau keduanya saling mencintai,” jawab Brenda. “Tapi, kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal seperti ini?”

“Tidak apa-apa. Shena hanya iseng saja,” jawab Shena.

“Ada pria yang mengajakmu berkencan?” tanya Brenda. Shena dengan cepat menggelengkan kepalanya.

“Lalu, untuk apa kamu menanyakan perihal seperti tadi kepadaku?” tanya Brenda penasaran.

“Shena hanya penasaran,” kata Shena.

“Penasaran soal apa?”

“Berkencan,” jawab Shena yang masih membuat Brenda bingung.

“Shena belum pernah berkencan sama sekali. Kadang Shena penasaran dengan perasaan gadis-gadis lain seusia Shena yang sudah memiliki kekasih,” ujar Shena sambil menatap kearah beberapa pasang remaja yang tengah duduk asyik di kantin.

Shena memang belum pernah berkencan dengan seorang pria. Bagaimana bisa Shena berkencan jika Shena sendiri tidak memiliki teman selain Dean dan Brenda.

“Kenapa tidak mencobanya saja?” ujar Brenda membuat Shena menoleh kearah gadis tersebut.

“Mencoba apa?” tanya Shena polos.

“Berkencan dengan pria,” jawab Brenda. “Kalau kamu penasaran dengan suatu hal, solusi yang paling tepat supaya kamu tidak penasaran lagi adalah dengan mencoba hal yang belum pernah kamu coba,”

Sebuah saran yang sangat tepat. Memang hanya dengan hal seperti itulah Shena tidak lagi merasa penasaran. Namun, masih banyak hal yang membuat Shena belum siap untuk mulai mencoba.

“Bagaimana dengan saranku, Shen?” tanya Brenda.

“Bagus. Tapi Shena masih ragu,” jawab Shena

“Ragu?”

Shena mengangguk. “Shena masih ragu dan juga takut,”

“Apa yang membuatmu berkata seperti itu, Shena?” tanya Brenda lagi.

“Shena belum siap untuk berkencan, Brenda. Lagi pula, Shena tidak memiliki teman pria selain Dean. Selain itu, Shena sama sekali tidak tahu bagaimana cara berkencan. Bagaimana mungkin Shena melakukan suatu hal yang bahkan Shena sendiri tidak tahu bagaimana cara melakukannya.” tutur Shena dengan wajah gelisah bercampur kesal.

“Mau aku ajari caranya?”

Deg.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel