Bab 11 Mulai Waspada
Bab 11 Mulai Waspada
KRINGGGG!
Bel pulang sekolah berbunyi. Seluruh siswa SMA Ganesha tampak berhamburan keluar kelas. Begitu pula dengan para siswa di kelas XI IPA 5. Tempat dimana Shena belajar untuk tahun keduanya berada di sekolat elit ini.
"Shena," panggil Brenda setelah ia selesai merapikan buku-bukunya ke dalam tas.
"Iya?" jawab Shena sambil memasukkan buku matematikanya ke dalam tas ransel warna tosca miliknya.
"Kamu masih marah sama aku?" tanya Brenda pelan.
Shena yang sudah selesai membereskan buku pun mendongak. Menatap Brenda yang saat ini sedang melihat Shena dengan wajah khawatir.
"Kenapa Shena harus marah? Memangnya Brenda sudah melakukan apa sama Shena?" tanya Shena bingung.
"Soal yang di luar lapangan tadi... aku minta maaf, Shen. Aku tidak bermaksud mempermalukan kamu di depan Barents. Kamu mau memaafkan aku tidak?" ujar Brenda beruntun.
Jelas saja jika Brenda takut kalau Shena marah padanya. Tadi setelah Shena pergi begitu saja dari hadapannya dan Barents, Brenda tidak juga melihat keberadaan Shena sampai akhirnya jam terakhir sekolah tiba. Brenda takut jika Shena marah dan tidak mau lagi bertemu dengannya.
"Shena tidak marah sama Brenda," kata Shena membuat Brenda menatap tak percaya.
"Lagipula Brenda tidak melakukan kesalahan apapun. Setelah Shena pikir-pikir lagi, wajar kalau Brenda curiga sama Shena. Karena memang Shena tidak mau memberitahu siapa sebenarnya wajah seseorang yang tadi Shena gambar," imbuh Shena sambil menyunggingkan senyum ke arah Brenda.
"Jadi, kamu serius tidak marah denganku?" tanya Brenda memastikan.
Shena terlihat mengangguk mantap. "Iya. Shena tidak marah sama Brenda,"
Mendengar jawaban dari Shena berhasil membuat Brenda dapat bernapas lega. Akhirnya ia tidak perlu takut lagi jika sahabatnya ini marah kepadanya.
"Kalau kamu tidak marah, berarti yang kamu gambar tadi betul-betul Barents?" tanya Brenda yang lagi-lagi menyebut nama Barents di hadapan Shena.
"Brenda…" rengek Shena sambil memperlihatkan wajah tidak suka karena Brenda menanyakan hal tersebut.
Brenda pun tertawa lepas saat melihat perubahan wajah Shena. Sepertinya sudah menjadi hobi baru bagi Brenda untuk menjahili sahabatnya tersebut.
"Shena tidak suka kalau Brenda menyebut nama itu lagi," kata Shena memperingati Brenda untuk tidak lagi mengungkit nama Barents.
"Oke!" jawab Brenda sambil mengacungkan kedua jempol tangannya. Membuat Shena yang melihat hal tersebut pun tersenyum simpul.
"By the way, tadi waktu pelajaran Bahasa Indonesia kenapa kamu tidak ada di kelas, Shen?" tanya Brenda.
"Tadi Shena ada latihan paskibra. Mendadak sekali. Shena saja tidak tahu kalau hari ini ada latihan," jawab Shena membuat Brenda mengangguk paham.
"Apa kamu tidak lelah ikut ekstrakurikuler seperti itu?" tanya Brenda penasaran. Pasalnya, Brenda sangat tidak menyukai kegiatan di luar kelas.
"Sebenarnya memang cukup lelah. Shena seringkali mengeluh saat selesai latihan paskibra," kata Shena sambil membayangkan kondisinya setiap usai melakukan ekstrakurikuler.
"Lalu, kenapa kamu tetap melanjutkan kegiatan yang seperti menyiksa diri kamu?" tanya Brenda.
"Karena Shena sudah pernah ikut paskibra saat SMP. Pelatih paskibra di sini juga sudah bilang kalau kemampuan Shena sudah bagus. Kalau Shena sudah bagus melakukan setiap gerakan, pasti Shena tidak perlu banyak bertanya dengan teman-teman lain,"
"Brenda tahu sendiri kan? Kalau Shena tidak pandai berkomunikasi dengan siswa-siswa di sekolah ini," tutur Shena menjelaskan.
Brenda yang mendengar hal tersebut pun mengangguk. Mungkin jika ia tidak duduk di sebelah Shena, gadis tersebut tidak akan mau berbicara dengannya.
"Brenda mau ikut Shena pulang?" tanya Shena.
Brenda segera menggeleng. "Masih ada rapat OSIS. Jadi aku belum bisa pulang sekarang,"
"Shena pulang duluan boleh?"
"Silakan-silakan," kata Brenda mempersilakan Shena untuk keluar.
"Brenda hati-hati di sekolah," kata Shena yang saat ini sudah berdiri di hadapan Brenda.
"Kamu juga hati-hati di jalan. Titip salam buat orangtua kamu," ujar Brenda yang segera diangguki oleh Shena.
"Shena pulang dulu. Daaah~."
Shena kemudian berjalan keluar kelas sendirian. Kondisi sekolah saat ini masih terbilang ramai dengan siswa yang memiliki kegiatan tambahan. Beberapa guru juga masih berlalu lalang di depan kelas.
Hari ini mood Shena bisa dikatakan lebih baik daripada hari sebelumnya. Karena untuk hari ini, Shena bisa kembali berbincang dengan Dean. Tadi sebelum bel sekolah berbunyi Dean mengirimkan pesan pada Shena, setelah pulang sekolah Dean harus mengantar pulang Grace terlebih dulu. Barulah setelah itu Dean akan kembali ke sekolah untuk mengantar Shena pulang.
Satu hal sederhana yang mampu membuat Shena merasa sangat bahagia. Sumber kebahagiaan Shena salah satunya adalah Dean. Jadi, apapun yang menyangkut tentang Dean benar-benar mampu mempengaruhi kehidupan Shena.
"Kenapa jalannya ditutup?" tanya Shena pada dirinya sendiri.
Lorong di depan Shena yang menghubungkan deretan ruang kelas dengan lobi terdapat tanda kalau tidak bisa dilalui. Membuat Shena yang melihat hal tersebut pun tampak bingung.
"Pak Dadang!" panggil Shena pada salah satu office boy sekolah.
"Ada apa, Neng? Butuh bantuan Bapak?" tanya Pak Dadang.
"Ini Pak. Kenapa jalannya ditutup?" tanya Shena sambil menunjuk ke arah palang bertuliskan "JALAN DITUTUP".
"Lantai di dekat lobi pecah, Neng. Jadi baru saja selesai diperbaiki dan semennya belum kering," jawab Pak Dadang memberi penjelasan pada Shena.
"Terus bagaimana Shena bisa sampai di depan sekolah?" tanya Shena bingung.
"Bisa lewat lorong dekat lapangan, Neng. Tadi meja-meja dan kursi rusak yang berserakan di sana sudah Bapak singkirkan," ujar Pak Dadang memberikan solusi.
"Terima kasih Pak Dadang. Maaf Shena sudah mengganggu Bapak," kata Shena sambil menundukkan kepalanya.
"Tidak apa-apa. Kalau begitu Bapak izin kembali bekerja, Neng" pamit Pak Dadang kemudian segera melanjutkan pekerjaannya.
Sedangkan Shena, ia sudah memutar balikkan langkahnya untuk berjalan menuju ke lapangan. Cukup membuang waktu Shena karena ia harus Kembali melewati kelasnya, lalu melewati ruang guru dan juga deretan ruang kelas IPS. Baru setelah itu Shena sampai di lapangan.
Beruntung hari ini Shena memiliki waktu untuk berbincang dengan Dean. Jadi, saat Shena sedang badmood seperti ini, ia bisa mengingat perbincangannya dengan Dean yang tentu bisa membuat mood-nya lebih baik.
"Apa Dean sudah ada di depan kelas? Atau masih di rumah Grace?" tanya Shena dalam hati.
"Kalau yang biasanya tertulis di novel, orang-orang yang sudah berpacaran pasti akan bermain dulu setelah pulang sekolah. Bisa mampir ke café atau mungkin ke time zone," kata Shena yang lagi-lagi membatin.
Berbicara tentang time zone, tiba-tiba saja membuat Shena ingin pergi ke tempat tersebut. Sudah lama Shena tidak pergi keluar rumah untuk sekadar bermain di time zone.
"Sepertinya enak kalau bisa punya pacar. A-ah, Shena jadi ingin punya pacar juga seperti Dean," batin Shena sambil tersenyum.
Selesai berbicara dengan batinnya sendiri, Shena terlihat menyenandungkan lagu I like you so much, you'll know it. Jika didengar-dengar, suara Shena terbilang cukup bagus jika dibandingkan dengan suara-suara remaja seusianya. Hanya saja Shena terlalu pemalu dan tidak percaya diri jika harus melihat orang lain mendengarkan suaranya.
JEDUG!
Suara pantulan bola yang cukup keras membuat Shena menghentikan langkahnya. Ia tampak meneliti ke sekitarnya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Tidak jauh dari tempat Shena berdiri, ia melihat sebuah bola basket yang tergeletak di lantai. Sepertinya bola tersebut lah yang menimbulkan suara keras karena terpantul dengan atap lorong yang terbuat dari asbes.
"BANGSAT!"
Teriakan keras dan kasar tersebut berhasil membuat Shena terkejut. Ia kemudian mendongakkan kepala dan melihat Dean dan juga Barents yang berada beberapa meter dari tempatnya berdiri.
"Kalau main bola itu yang bener!" kata Dean setelah dia berada di hadapan Barents.
"Jadi kapten basket tapi tidak bisa mencontohkan yang baik sama sekali."
Barents tampak terkekeh pelan sambil mendengarkan setiap kata yang berupa omelan dari Dean.
"Aku memang tidak pandai memainkan bola basket sepertimu," kata Barents santai.
"Tapi aku sangat pandai kalau harus mempermainkan perasaan wanita," bisik Barents tepat di depan telinga kanan Dean.
Mendengar ucapan dari Barents membuat Dean mendorong keras tubuh pria tersebut dari hadapannya. Kilatan kebencian saling terpancar satu sama lain dari tatapan dua pria tersebut.
"Kenapa? Apa yang membuatmu marah? Aku bahkan sama sekali tidak menyentuh Grace. Aku benar-benar tidak tertarik sama sekali dengan dia," kata Barents terdengar meremehkan. Jelas sekali kalau Barents sedang memberikan sindiran pada Dean.
"Atau mungkin, kamu marah karena aku berusaha mendekati…" Barents menjeda ucapannya dan sekilas melirik ke arah Shena yang masih berdiri di dekat lapangan.
"Shena?" imbuh Barents berhasil membuat Dean mendelik sempurna.
"Apa kamu serius, Dean? Kamu marah denganku hanya karena aku tertarik dengan Shena?" tanya Barents dengan wajah heran yang dibuat-buat.
"Kenapa harus marah? Gadis itu sama sekali tidak ada hubungan apa-apa denganmu, 'kan? Dia masih single dan bebas untuk didekati oleh pria mana pun,"
"Jaga ucapanmu, Barents!" Peringat Dean menatap tajam ke arah pria yang berdiri di hadapannya.
"Aku peringatkan sekali lagi padamu untuk tidak menganggu Shena." titah Dean.
"Kamu berusaha mengancamku?" tanya Barents.
"Ikuti saja perintahku. Atau kamu akan mati di tanganku." tegas Dean kemudian berlalu dari hadapan Barents.
Dean berjalan ke arah Shena lalu mengajak gadis tersebut menjauh dari lapangan. Berusaha secepat mungkin membawa Shena pergi dari depan pria jahat seperti Barents.
"Jangan sampai Shena masuk ke dalam jebakan Barents," batin Dean sambil terus menggenggam erat tangan Shena.