Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tujuh

Tujuh

Tatapan mata Chrissa tertuju pada Cindy yang baru saja diusir oleh oleh Alvian tersebut. Ia kemudian berdecak sambil menggeleng iba.

"Sungguh menyedihkan, gadis secantik dia mendapat perlakuan kasar darimu," ucapnya.

Alvian menoleh cepat dan menatap Chrissa yang kembali tersenyum padanya.

"Kau tidak berhak ikut campur. Jika kau tidak sadar, biar aku mengingatkanmu kalau kau sendiri berada dalam masalah besar," tukas pria itu.

"Masalah? Masalah apa? Aku merasa tidak membuat masalah apa pun."

Jawaban tanpa rasa bersalah Chrissa tersebut membuat amarah Alvian memuncak. Pria itu kemudian memejamkan mata dengan tangan terkepal erat di sisi tubuhnya. Mati-matian ia menahan gejolak emosi yang meluap dalam dirinya. Andai saja Chrissa laki-laki, ia tidak akan menahan diri seperti sekarang.

"Kau kenapa?" Pertanyaan tersebut membuat Alvian. Ia terkesiap hingga tersuruk mundur saat melihat wajah gadis itu berada begitu dekat dengan wajahnya. Mata bening nan indah itu bahkan menatap langsung pada manik matanya.

"Kau sendiri mau apa?" tanya pria itu kemudian.

"Aku hanya mencemaskanmu. Aku ingin tahu kenapa kau memejamkan mata seperti itu," sahut Chrissa sambil bersidekap.

"Ini semua karenamu. Kenapa kau jadi membuat banyak masalah, padahal dulu kau begitu diam?"

"Di tempat ini, tidak ada yang membelaku. Kau juga tidak peduli apa yang terjadi padaku. Jika aku tetap diam, nyawaku justru mungkin akan melayang. Aku tidak mau itu terjadi, jadi aku tidak akan berdiam diri lagi. Aku akan melawan semua orang yang hendak jahat padaku," ucap Chrissa. Ia kemudian menunjuk pada Alvian.

"Itu juga berlaku untukmu. Kau tidak akan bisa menindasku lagi. Jika macam-macam, aku juga tidak akan segan padamu."

"Baiklah, aku tidak mencampuri urusanmu. Masalahmu dengan Cindy, kau selesaikan sendiri, tapi kau tidak boleh tinggal di sini."

"Tidak akan mencampuri, tapi kau berniat mengusirku."

"Aku tidak mengusirmu, tapi tempat ini bukan milikmu. Ini adalah kediaman Vania."

"Kau begitu ingin mengusirku rupanya," tukas Chrissa. Ia kemudian menghela napas perlahan.

"Aku tidak mau tinggal di gubuk bobrok itu lagi," ucapnya kemudian.

"Jika ingin aku pergi dari sini, maka suruh Cindy mengembalikan kediaman milikku. Kalau dia tidak mau, maka aku akan tetap di sini."

***

Alvian berjalan menuju ke tempat Cindy. Gadis yang berpenampilan menawan tersebut tampak begitu senang saat melihat dia. Alvian juga melihat bahwa Cindy memakai riasan lebih dari biasa. Gadis itu juga mengenakan pakaian yang sangat bagus. Alvian menduga pakaian itu baru saja dibeli gadis itu karena ia seperti tidak pernah melihat Cindy mengenakan pakaian semacam itu sebelumnya. Yang dipakai gadis itu kini, itu adalah gaya pakaian Vania.

"Yang Mulia," panggil Cindy sambil bergegas menyambut. Ia begitu bersemangat karena yakin Alvian akan senang. Model pakaian tersebut adalah model pakaian Vania, tetapi Cindy yakin Alvian pasti menyukainya karena dia jauh lebih cantik dari Vania saat mengenakan pakaian indah tersebut.

Akan tetapi, yang tidak diharapkan Cindy justru terjadi. Alvian justru memaki dan memarahi dia. Menegur dengan begitu keras hingga ia nyaris menangis karenanya.

"Ganti pakaianmu dan segera pindah dari tempat ini!" gertak Alvian pada akhirnya. Ia kemudian hendak melangkah pergi.

"Mengapa aku harus pindah? Aku tidak mau!" cetus Cindy bersikeras. Alvian segera berbalik menghampiri.

"Kau harus mau untuk pindah agar Chrissa bisa pindah kembali kemari."

"Ke-napa Yang Mulia membela dia sekarang? Apakah Yang Mulia mulai menyukai dia?"

"Aku tidak menyukai dan aku juga tidak membela dia, aku melakukan ini agar dia tidak lagi menempati kediaman Vania. Kalian berdua sama saia bagiku dan aku tidak menyukai kalian, hanya Vania yang aku cintai dan itu tidak akan pernah berubah," ucap Alvian sambil kemudian segera pergi dari tempat itu. Meninggalkan Cindy yang menatap dia dengan pandangan mengabur karena air mata menitik deras.

***

Cindy begitu marah saat kembali masuk ke kediaman yang telah ia anggap menjadi miliknya tersebut. Berani benar Chrissa melakukan itu. Begitu berani hingga meminta seperti itu pada Alvian. Alvian juga hanya menurut saja, justru ia yang malah menjadi sasaran kemarahan Alvian. Siapa menyangka orang yang selama ini ia anggap lemah kini justru berbalik dan menjadi lawan kuat baginya.

Tangan Cindy tergenggam erat dengan mata menatap lurus ke depan. Ia kemudian membanting poci dan cangkir teh yang tersaji di meja hingga pecah berkeping.

"Tuan Putri," ucap Bibi An.

"Anda harus tetap tenang dan memikirkan jalan keluarnya."

Cindy terbahak sambil melihat pada wanita paruh baya yang membungkuk hormat di hadapannya tersebut.

"Tentu, tentu aku sangat tenang. Aku telah menemukan cara. Menyingkirkan tempat itu dan juga Chrissa. Setelahnya, Alvian pasti akan bisa menyukaiku. Aku akan menjadi permaisuri dia, calon ratu kerajaan ini," ucapnya. Ia kemudian berjalan menghampiri Bibi An.

"Saat semua berhasil, hidupmu juga akan makin terjamin. Kita akan bisa menikmati semua di kerajaan ini."

Bibi An hanya mengangguk.

"Karena itu, kita tidak boleh gagal. Jika ini gagal, maka nyawamu yang akan menjadi bayarannya."

Bibi An tertegun sejenak kemudian mengangguk. Detak jantungnya menjadi lebih cepat karena ancaman itu. Tidak ada pilihan, rencana yang dilakukan harus berhasil.

***

Chrissa menyuruh Lily duduk untuk menemani dia makan malam. Gadis itu semula menolak dengan berkata bahwa seorang pelayan tidak pantas untuk duduk dengan tuannya, tetapi Chrissa terus memaksa.

"Aku juga tidak enak jika hanya makan seorang diri, sedang kau terus melihatku. Jika kau tetap tidak mau, maka aku tidak akan makan," tukas Chrissa. Ancaman Chrissa berhasil dan Lily menurut untuk duduk meski masih terlihat ragu.

Chrissa dan Lily kemudian segera menyantap hidangan di depan mereka itu.

"Kita harus bersiap," ucap Chrissa di sela makan. Lily tertegun dan menatap Chrissa bingung.

"Bersiap untuk apa?"

"Penjahat tidak kembali di siang hari, berarti ia akan kembali di malam hari."

Lily masih tetap terlihat bingung. Namun Chrissa tersenyum dan mengedipkan sebelah mata padanya.

"Ikuti saja rencanaku!"

***

"Tuan Putri," panggil Bibi An dengan suara berbisik.

"Sstttsss ...," tukas Cindy sambil meletakkan telunjuk di bibirnya.

"Mereka memang telah terlelap, tapi akan gawat jika kita ketahuan."

Bibi An segera menurut dan tidak lagi berbicara. Meski begitu, ia masih merasa was-was. Menurutnya, mereka seharusnya menyuruh orang untuk melakukan hal tersebut, tetapi tuan putri Cindy begitu keras kepala. Gadis itu bertekad untuk melakukan sendiri.

Cindy kemudian mengeluarkan belati yang ia bawa. Dalam keremangan cahaya purnama, bagian tajam benda tersebut tampak berkilat. Segera Cindy menerobos masuk ke tempat tersebut dan tidak lama ia menjerit ketakutan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel