Tiga
Tiga
"Kau ...!" geram sang tuan putri, tetapi Chrissa mencengkeram makin kuat tangan gadis itu.
"Aku tidak terima ini. Aku pasti akan mengadukanmu!" gertak tuan putri tersebut. Wajah cantiknya tampak memerah karena amarah. Ia berpikir Chrissa pasti ketakutan sekarang. Namun ia kemudian tertegun saat mendapati senyum mengejek di wajah Chrissa.
"Kau!"
"Berhentilah menggertakku. Telingaku sakit mendengarnya," ucap Chrissa. Ia kemudian melepaskan tangan tuan putri tersebut. Tampak bilur merah di pergelangan tangan gadis itu.
Tuan putri itu kemudian segera pergi dari sana.
"Nona," panggil Lily dengan nada cemas.
"Kenapa Anda menantang dia? Dia pasti akan melapor dan membuat masalah."
"Tenanglah, hidupku ini sudah banyak masalah sebelumnya. Menghadapi masalah seperti ini, tidak akan membuatku ketakutan."
***
"Aku bersungguh-sungguh. Aku tidak berbohong. Lihat pergelangan tanganku, bahkan sampai merah seperti ini. Ini semua dia yang melakukan," ucap Cindy pada Alvian. Pangeran Alvian diam tepekur melihat itu. Cindy baru saja menceritakan yang terjadi bahwa Chrissa telah bertindak begitu berani padanya. Cindy memang seperti itu. Kadang Alvian merasa kesal. Gadis yang menjadi selir ketiganya tersebut memang cantik, tetapi terlalu agresif.
Alvian tidak menghendaki pernikahan yang seperti ini. Ia sebenarnya hanya membutuhkan seorang istri untuk dia cintai. Vania, gadis yang menjadi permaisuri kini adalah orang yang sebenarnya satu-satunya ia cintai, tetapi Vania hanya berasal dari kalangan keluarga jelata. Untuk memperkuat posisi, Alvian harus mendapat dukungan dan itu dengan cara menikah dengan gadis yang adalah para putri pejabat.
Ayah para gadis itu tentu berada pada pihak Alvian. Mendukung Alvian untuk menjadi putra mahkota, calon pewaris tahta. Sebenarnya tahta juga tidak pernah didambakan Alvian, ia hanya ingin sederhana dengan sebuah keluarga, seperti yang dilakukan oleh para rakyat biasa. Bekerja, pulang ke rumah, bertemu istri dan anak. Akan tetapi, Alvian sadar hal tersebut tidak mungkin bisa terwujud. Dengan posisi dia saat ini sebagai pangeran, kehidupan biasa semacam itu hanya akan menjadi mimpi belaka.
Vania kini telah tiada. Gadis itu telah meninggal dan menyisakan Alvian dalam kesendirian. Tidak ada lagi sosok yang bisa menggantikan posisi gadis berwajah lembut dan berhati baik tersebut dalam hatinya. Kebahagiaan yang dia rasakan dengan gadis itu sungguh tidak bertahan lama.
Alvian menghela napas mendengar cerita Karin. Ia tidak pernah peduli dengan para selirnya, terutama Chrissa. Ia membiarkan para pelayan dan Cindy berlaku merundung gadis itu. Ia tidak mau ikut campur, tetapi kini siapa sangka Chrissa juga melawan. Mungkin gadis itu juga mendambakan posisi sebagai permaisuri karena kini Vania telah tiada.
"Kau harus menegur dia. Kalau tidak, dia mungkin akan makin bersikap seenaknya," cetus Cindy. Alvian mengangguk setuju. Tentu ia harus menegur gadis yang selama ini ternyata berpura-pura lemah di depannya.
***
Chrissa berjongkok sambil menatap bunga-bunga yang bermekaran di tempat itu. Lily sedari tadi menegur, tetapi Chrissa tidak peduli. Bunga-bunga tersebut sungguh indah.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tegur sebuah suara. Saat menoleh, Chrissa tertegun. Wajah pria yang menegur dia tersebut sungguh tampan. Alis berwarna legam yang meliuk indah bagaikan lukisan, mata hitam yang sekelam malam yang kini menatap balik dia dengan tatapan tajam. Hidung pria tersebut juga mancung dengan dagu persegi dan bibir tipis melengkapi kesempurnaan wajah tampan tersebut. Tubuh pria itu juga tegap dan tinggi dengan kulit putih.
"Yang Mulia, kami hanya tersesat," ucap Lily sambil berlutut penuh hormat. Gadis itu bahkan tidak berani untuk melihat langsung pada pria tersebut. Lily memang menjawab pertanyaan itu karena ia tahu persis nonanya tidak akan berdaya di depan pria yang tidak lain adalah pangeran Alvian tersebut.
"Aku tidak menyuruhmu menjawab," tukas sang pangeran.
"Lancang sekali dirimu. Apa kau mau aku menyuruh orang untuk memotong lehermu itu?"
"Hei, kau pikir kau ini siapa? Seenaknya potong-potong leher orang, memangnya kau pikir itu leher ayam?" tukas Chrissa yang langsung maju berhadapan dengan pria itu.
"Kau sungguh berani sekarang. Sikap lembut dan cengengmu itu ternyata hanya sandiwara!" tuduh Alvian sambil menuding gadis itu.
"Bukan sandiwara. Aku hanya lelah saja kalian selalu memperlakukan aku seenaknya."
"Bagus juga kalau kau sudah berani bersikap. Sekarang ikut aku!" tukas Alvian sambil menggamit tangan gadis itu dan menyeret pergi.
"Kau ini siapa? Seenaknya saja main tarik-tarik tangan orang, aku bukan kuda!"
"Apa kau hilang ingatan hingga lupa bahwa aku adalah suamimu?" tanya Alvian sambil berbalik dan menatap tajam.
***
"Dia suamiku?" tanya Chrissa tidak yakin sambil berbisik pada Lily. Tidak jauh dari mereka berdua, tampak Cindy sedang berbisik pada Alvian,
"kurasa kita harus memanggil tabib untuk memeriksa dia. Kelihatannya ia terkena gangguan jiwa. Mungkin juga kita harus memulangkan dia pada keluarganya."
"Kalian bicara apa? Jangan berbisik-bisik di depanku. Jika mau katakan, katakan saja langsung padaku. Tidak disangka seorang pangeran dan selir terhormat suka bergosip seperti ibu-ibu di pasar," tukas Chrissa.
"Kau sendiri juga bergosip dengan pelayanmu. Bukankah sedang membicarakan kami?" sahut Alvian. Chrissa terbahak.
"Jadi kau menyamakan dirimu sama seperti kami? Pangeran negeri ini suka bergosip dan membicarakan orang lain."
Alvian menatap geram pada Chrissa yang terus menertawakan dan menatap mengejek.
"Kau berubah seperti ini, tapi masih bisa mengejekku. Sakit ingatanmu pasti sungguh parah," tukas pria itu.
"Siapa bilang aku berubah?" tanya Chrissa sambil menatap langsung manik mata Alvian. Senyum juga memudar dari wajahnya.
"Masih bilang tidak berubah. Kau menertawakan aku dan bersikap kasar. Tadi kau juga tidak mengingat siapa diriku. Mungkin benar tabib harus memeriksamu."
"Aku tidak berubah dan aku masih mengingatmu, kau adalah suamiku. Dan dia ...." Chrissa menunjuk pada Cindy.
"Dia adalah selir ketigamu."
"Lalu kenapa ...?"
"Karena aku tidak mau lagi bersikap lemah," potong Chrissa.
"Aku tidak mau lagi terus ditindas. Dan terutama aku tidak mau lagi menjadi selirmu."
Alvian tersentak mendengar ucapan gadis yang berdiri di hadapannya itu.
"Kau ingin ...."
"Aku ingin kita berpisah. Hubungan kita, kita akhiri saja dan aku akan pulang pada rumah keluargaku," tandas Chrissa yang kembali memotong ucapan Alvian. Alvian hanya berdiri tertegun. Tidak disangka olehnya, Chrissa begitu berani menyatakan permintaan berpisah darinya.
"Aku tidak akan mengabulkannya," tukas Alvian.
"Kau akan tetap menjadi selirku."
Mata Chrissa membeliak lebar dan kembali menatap tajam padanya.
"Aku tidak akan berhenti. Aku akan meminta untuk berpisah darimu."
***
"Pangeran, kenapa Anda tidak mengabulkan saja permintaan dia?" tanya Cindy saat berjalan kembali menjajari Alvian.
"Itu bukan urusanmu. Tutup mulutmu dan jangan ikut campur urusan yang bukan urusanmu. Itu adalah keputusanku. Pikirmu kau berhak mencampuri urusanku? Ingat saja bahwa dirimu hanya seorang selir di istana ini," sahut Alvian ssmbil bergegas masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu di belakangnya.