Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sepuluh

Sepuluh

"Dia memang orang yang kejam," ucap Chrissa setelah mendengar apa yang diberitahukan Lily tentang pelayan di kediaman Cindy.

"Kita tidak bisa terus menyerah padanya. Mungkin nanti nasib kita akan sama seperti pelayan itu," lanjut Chrissa lagi. Lily hanya mengangguk.

"Tapi, Nona, dia begitu jahat, apa Anda tidak takut?" tanya gadis itu kemudian dengan nada cemas.

"Dia memang kejam, tapi tidak terlalu pintar. Kau tenang saja, aku pasti bisa mengalahkan dia," ucap Chrissa sambil menyantap jajanan yang tersaji di depannya.

"Aku malah lebih khawatir padamu," ucap seorang pria yang berjalan masuk dan duduk di depan Chrissa.

"Siapa kau?" tanya Chrissa.

"Aku? Aku bukan siapa-siapa, hanya orang yang ingin bertemu denganmu," jawab pria tersebut sambil tersenyum pada Chrissa.

"Baiklah, Bukan Siapa-siapa, kau sudah bertemu denganku. Kau bisa pergi sekarang!"

"Mana bisa seperti itu? Kau telah membuat aku penasaran. Kau harus menjawab penasaranku itu," jawab pria tidak dikenal itu sambil tetap tersenyum.

***

"Pangeran," tegur sang penasehat pada Alvian. Alvian memang sedari tadi membuka buku, tetapi ia tidak tampak sedang membaca. Alvian menghela napas. Ia kemudian segera menutup buku tersebut.

"Pangeran, jika Anda cemas, kita bisa kembali ke tempat Tuan Putri Cindy," ucap lelaki berjanggut tebal tersebut lagi. Alvian tetap tidak menjawab, tetapi dia kemudian segera berdiri dari duduknya.

"Ayo kita pergi," ucapnya. Dalam perjalanan, lelaki tersebut kembali bingung karena arah yang dituju Alvian adalah tempat permaisuri Vania. Meski begitu, ia tetap hanya mengikuti saja.

Alvian berjalan masuk dan bergegas menghampiri saat melihat Chrissa tengah berbicara dengan seorang pria.

"Kalian sedang apa? Jangan coba-coba berniat macam-macam pada selirku!" tegur Alvian dengan keras. Chrissa dan tamunya tersebut terkejut dan segera menoleh. Alvian segera berjalan mendekat dan menarik tangan Chrissa hingga gadis itu berdiri dari duduknya. Pria yang menjadi tamu Chrissa juga ikut berdiri.

"Dia ini selirku, kakak iparmu, jangan mengganggu dia!" gertak Alvian.

"Bagaimana ini, Kakak? Aku juga merasa tertarik pada selirmu ini," jawab pria tersebut. Tatapan matanya hanya tertuju pada Chrissa dengan senyum pada wajahnya nan rupawan.

Chrissa sendiri tertegun.

'Kakak adik? Jadi mereka adalah saudara?'

***

Cindy yang masih berdiam di kamar merasa kesal. Alvian bahkan tidak datang lagi untuk menemui dia, padahal ia telah menyuruh Bibi An untuk menyampaikan pada pelayan Alvian bahwa ia tengah sakit karena peristiwa semalam. Untuk memastikan kabar disampaikan, ia bahkan menyuruh Bibi An untuk membayar pada pelayan Alvian tersebut. Akan tetapi, pria itu tetap saja tidak datang.

"Tuan Putri, Tuan Putri, masalah besar telah terjadi," lapor Bibi An yang dengan tergesa masuk ke dalam kamar.

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu pada pangeran hingga ia tidak bisa menjengukku?" tanya Cindy dengan raut khawatir.

"Pangeran baik-baik saja, tapi ... tapi ...." Bibi An ragu untuk melanjutkan bicara. Ia takut Cindy akan menjadi marah.

"Ada apa? Cepat beritahu aku!" desak Cindy. Bibi An diam dan menggigit bibir bawah dengan ragu. Cindy terus saja mendesak.

"Pangeran berada di kediaman permaisuri Vania. Ia ke sana untuk menemui Tuan Putri Chrissa," ucap Bibi An kemudian dengan suara pelan.

"Apa katamu?" tukas Cindy dengan penuh amarah. Ia segera bangkit berdiri dan menyuruh untuk bersiap ke tempat permaisuri Vania. Namun, belum sempat ia pergi, seorang pelayan datang dan melaporkan kedatangan Selir Rachel dan Selir Ryana padanya.

"Untuk apa mereka kemari? Apa mereka tidak tahu tentang yang terjadi?" ucap Cindy kesal. Meski begitu, ia tetap hanya bisa bersedia untuk menemui mereka. Tidak mungkin baginya untuk mengusir kedua selir tersebut.

***

"Beraninya kau bersikap tidak sopan. Kau harusnya ingat bahwa dia adalah kakak iparmu. Dia adalah selirku. Kau harus tahu batasanmu!" gertak Alvian sambil meraih kerah baju adiknya itu.

"Kakak, kau begitu serakah. Kau telah memiliki tiga orang selir selain dia, mereka semua cantik dan memiliki penampilan menawan, tapi kau masih tidak mau melepaskan dia?"

"Dia adalah milikku. Selamanya tetap akan menjadi milikku!"

"Apa maksudmu? Aku bukan milikmu. Kita akan segera berpisah. Aku tidak mau untuk menjadi milikmu, apalagi selamanya!" gertak Chrissa tidak terima.

'Nona, kenapa malah memperkeruh suasana?' tanya Lily sambil menepuk keningnya. Bukan melerai, ia malah merasa ucapan nonanya itu membuat pangeran Alvian makin marah.

Dugaan Lily ternyata tidak salah. Alvian kemudian berbalik dan menatap Chrissa dengan pandangan mata menusuk tajam.

"Kau adalah milikku. Kau tidak akan bisa pergi kemanapun tanpa aku," tukasnya.

"Tidak, aku ...."

Ucapan Chrissa terputus saat Alvian mendaratkan ciuman pada bibirnya. Chrissa berusaha melepaskan diri dan mendorong pria menjauh, tetapi Alvian justru mengetatkan pelukan dan melumat bibir gadis itu dengan penuh hasrat.

Senyum sombong dan mengejek seketika lenyap dari wajah adik Alvian. Lily dan para pengawal juga hanya tertegun melihat itu. Lily bahkan kemudian membekap mulutnya.

Tangan Chrissa yang semula mendorong Alvian kini melemah, bahkan kemudian turun dengan pasrah. Membiarkan dirinya termanjakan oleh ciuman panas dari bibir Alvian yang begitu ahli. Alvian sendiri merasa terkejut. Ia hanya ingin mencium Chrissa untuk membungkam perkataan gadis itu. Akan tetapi, kini hasrat yang berbeda telah muncul. Ia ingin untuk memiliki gadis itu sepenuhnya.

***

"Bagaimana keadaanmu, Adikku?" tanya Rachel. Dia adalah selir pertama dari Alvian. Putri dari seorang perdana menteri yang memegang begitu banyak kekuasaan. Untuk mempertahankan kedudukan, tentu Alvian telah diatur untuk menikah dengannya. Cindy tetap saja selalu bersikap berhati-hati pada gadis yang lebih tua darinya itu.

"Aku baik-baik saja," ucap Cindy pelan. Rachel tersenyum kecil.

"Baguslah, kalau seperti itu. Aku telah begitu mencemaskanmu."

Cindy hanya diam. Ryana, selir Alvian yang satu lagi berdehem sejenak. Ia kemudian memberikan kue dan makanan yang telah ia siapkan. Ia juga membawakan obat untuk Cindy.

"Aku berharap kau benar-benar menjadi sehat kembali," ucapnya. Cindy mengangguk dan Ryana tersenyum padanya. Dilihat sekilas, Ryana tampak begitu lembut dan anggun. Gadis keturunan bangsawan tersebut juga begitu baik. Akan tetapi, Cindy tidak mau bersikap lunak padanya. Mungkin Ryana memang lembut karena bersiasat. Gadis itu bersikap seperti itu untuk meniru Vania.

"Ia pasti juga ingin Alvian menyukai dirinya, sama seperti menyukai Vania. Tidak ada yang tidak ingin menjadi putri mahkota dan calon ratu kerajaan di masa mendatang,' gumam Cindy dalam hati.

"Oh, ke mana si bungsu? Apa dia tidak datang menjenguk? Sungguh berani dia, tapi kudengar belakangan dia telah berubah, ia bahkan berani melawanmu," ucap Rachel yang menyadarkan Cindy akan kehadiran dua tamunya itu.

"Berubah seperti apa pun, aku akan tetap membuat dia tunduk padaku," desis Cindy dengan penuh tekad.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel