Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sembilan

Sembilan

Alvian segera menerima belati tersebut. Sedari tadi ia hanya diam untuk dapat menimbang dari masalah yang terjadi. Ia tidak ingin salah membuat keputusan. Melihat sekilas belati di tangannya itu, ia segera tahu bahwa benar yang dikatakan Chrissa, belati tersebut memang adalah milik Cindy. Akan tetapi, gadis itu masih tidak sadarkan diri. Ia akan menanyakan kejelasan saat Cindy telah sadar.

"Yang Mulia, percayalah, ini semua hanya fitnah," ucap Bibi An yang terus berlutut memohon.

"Aku akan memutuskan masalah ini setelah Cindy bangun. Hari telah larut, orang-orang harus beristirahat, sebaiknya kita semua kembali ke tempat masing-masing," ucap Alvian yang kemudian beranjak pergi diikuti para pengawal.

Bibi An masih saja duduk bersimpuh di lantai sambil menyanggah tubuh Cindy. Beberapa pelayan dan pengawal kemudian membantu dia berdiri dan membawa tubuh Cindy pergi dari sana, sementara Chrissa sendiri juga telah masuk kembali ke kamar.

***

Alvian tidak kembali ke kamar. Ia justru pergi ke ruang baca. Penasehat sekaligus orang kepercayaan dia segera mengikuti.

Di dalam ruang baca, Alvian hanya duduk merenung. Lembar-lembar buku terbuka di hadapannya, tetapi ia tampak tidak tengah membaca.

"Pangeran, apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya sang penasehat yang berdiri di dekatnya.

"Paman, apakah menurut Paman, Permaisuri Vania telah dibunuh?" tanya Alvian pelan.

"Bagaimana bisa? Bukankah kata tabib kerajaan, Permaisuri sakit parah dan karena itu ...."

"Aku tahu," potong Alvian cepat.

"Tapi yang dikatakan Chrissa juga ada benarnya."

Alvian kemudian menceritakan semua pada penasehatnya tersebut. Lelaki paruh baya tersebut mendengar dengan seksama. Ia kemudian mengangguk.

"Kecurigaan itu mungkin saja. Pangeran, kita harus mencari tahu lebih dulu. Jangan sampai salah menuduh dan menyinggung orang lain," ucap sang penasehat. Alvian hanya mengangguk.

"Pangeran, ini sungguh mengejutkan, ternyata Tuan Putri Chrissa adalah orang yang pintar," tukas sang penasehat lagi.

"Aku juga baru tahu hal itu," jawab Alvian sambil melipat tangannya di meja.

***

"Nona, bagaimana bisa Anda menebak hal itu? Semua yang Anda katakan ternyata benar. Anda bahkan tahu kalau tuan putri Cindy berniat jahat," ucap Lily dengan penuh kagum. Nonanya tersebut kini seolah benar-benar berubah menjadi orang lain.

"Cindy, dia itu naif dan hanya bertindak menurut emosinya saja. Itulah yang membuat dia menjadi mudah ditebak tindakan yang akan diambil."

Chrissa diam sejenak.

"Orang yang sulit untuk ditebak adalah orang di dekat kita. Mereka yang berpura-pura baik, tapi sebenarnya berniat jahat dan ingin melukai kita. Mereka ingin mencelakakan kita dengan menusuk dari belakang. Mereka orang munafik yang adalah musuh dalam selimut," ucapnya kemudian.

"Nona," tukas Lily yang panik saat melihat raut wajah Chrissa.

"Saya bukan orang seperti itu. Saya akan selalu setia dan tidak akan mengkhianati Nona."

Chrissa tersenyum kecil pada gadis yang berdiri di dekatnya itu.

"Aku tahu."

***

Saat Cindy membuka mata, ia sadar bahwa dirinya sedang berbaring di atas tempat tidurnya.

"Tuan Putri, Anda sudah sadar," tukas bibi An yang duduk dengan setia di samping tempat tidur gadis itu.

Cindy hanya mengangguk. Bibi An kemudian mengambil segelas air hangat untuk gadis itu.

"Ini, Anda sebaiknya minum dulu," ucapnya. Ia kemudian segera membantu gadis itu untuk duduk dan meminum sedikit demi sedikit.

"Bagaimana aku bisa berada di sini? Bukankah kemarin kita berniat untuk menyingkirkan Chrissa?" tanya Cindy kemudian.

Bibi An yang meletakkan gelas di meja menggeleng.

"Apa Anda tidak mengingatnya? Kita telah gagal karena hantu permaisuri Vania."

Cindy tertegun. Ingatan tentang malam sebelumnya kemudian mulai kembali perlahan. Hantu Vania memang sungguh telah membuat ia ketakutan dan kemudian ia tidak tahu yang terjadi selanjutnya. Semua menjadi gelap saat ia berniat melarikan diri dari hantu itu.

"Bagaimana kita bisa selamat dan kembali ke sini? Aku berpikir hantu itu sungguh akan membunuhku."

"Semua karena Yang Mulia Pangeran. Dia datang ke sana dan hantu itu pergi."

"Benarkah?" tanya Cindy dengan antusias dan mata berbinar.

"Dia datang ke sana, artinya sungguh peduli padaku. Ia juga yang membawaku kembali, bukan?"

Bibi An hanya mengangguk. Ia tidak tega untuk menceritakan yang sebenarnya dan membuat tuan putrinya tersebut kecewa.

Salah seorang pelayan gadis itu kemudian dan melaporkan kedatangan Alvian.

"Bagaimana? Bagaimana penampilanku? Apa aku terlihat cantik?" tanya Cindy pada mereka. Ia kemudian meminta cermin. Saat pelayan membawakan, gadis tersebut sontak menggeleng.

"Aku tidak bisa berpenampilan seperti ini. Aku tidak bisa membiarkan pangeran melihatku seperti ini," tukasnya. Ia kemudian segera menyuruh orang untuk mengambil pakaian indah yang berada di lemari.

"Tuan Putri," tukas Bibi An sambil menggeleng.

"Anda tidak perlu mengganti pakaian Anda. Lebih baik jika seperti ini. Pangeran pasti tidak akan keberatan Anda bersikap manja. Dia mungkin juga akan menemani Anda."

"Kau benar. Kau ini memang sungguh pintar," ucap Cindy sambil tersenyum gembira. Ia kemudian bersiap dan menunggu Alvian untuk masuk.

***

"Apakah dia berdandan dulu? Apa aku harus menunggu di luar seperti ini?" tanya Alvian pada pengawal yang berjaga di luar kediaman Cindy. Pria muda tersebut hanya diam dengan kepala menunduk. Ia bekerja di istana untuk bisa hidup dengan layak, bukan menjadi sasaran kemarahan atas yang dilakukan junjungannya. Meski begitu, ia tetap saja diam.

"Yang Mulia Pangeran, Tuan Putri mempersilakan Anda untuk masuk," ucap seorang pelayan yang baru keluar dari kamar.

"Katakan padanya, aku sudah tidak berminat lagi untuk menjenguk dia," ucap Alvian sambil bergegas pergi diikuti oleh para pengawalnya. Pelayan tersebut hanya diam dan kembali ke dalam.

"Dia membatalkannya? Apa? Apa yang kaukatakan padanya? Kenapa ia tiba-tiba membatalkan?" tanya Cindy. Gadis muda di depannya tersebut hanya diam dengan wajah menunduk. Cindy tidak tinggal diam. Ia kemudian mengambil cambuk dan memukul tubuh gadis tersebut berulangkali. Tidak lama, pelayan muda tersebut ambruk ke lantai dengan tubuh penuh luka. Darah merembes keluar dari luka-lukanya tersebut.

Cindy yang tengah berdiri menatap tanpa iba. Darah si pelayan tampak juga menetes-netes dari ujung cambuknya.

"Bibi An, bawa dia pergi dari sini sekarang. Singkirkan dia, aku tidak mau melihatnya lagi!" perintah Cindy. Bibi An segera menurut dan membawa gadis pelayan itu pergi. Namun gadis tersebut tetap saja memohon, bahkan sambil menangis, meminta agar Cindy memaafkan dia dan memberi kesempatan sekali lagi, ia tidak akan lagi berbuat kesalahan. Akan tetapi, Cindy tetap memerintahkan membawa gadis itu pergi.

"Pengawal!" panggil Cindy kemudian dan para pengawal bergegas masuk. Cindy menunjuk pada gadis pelayan yang masih berlutut, menangis, dan memohon padanya tersebut.

"Bawa dia pergi!" perintahnya.

"Dia milik kalian sekarang. Terserah apa yang mau kalian lakukan padanya."

"Tuan Putri, Tuan Putri, jangan, hamba mohon, Tuan Putri, Tuan Putri, tolong maafkan hamba!" pinta gadis pelayan tersebut saat para pengawal menyeret dia keluar. Cindy tetap saja tidak terlihat peduli, bahkan memalingkan wajah sambil berdecak kesal karena keributan yang terjadi. Ia kemudian menyuruh pelayan lain untuk membersihkan jejak darah pada ruangan tersebut.

"Tuan Putri!" teriak sang gadis pelayan dari luar.

"Kau telah membuat hidupku seperti ini. Kau tidak akan pernah bahagia. Keinginanmu tidak akan pernah tercapai!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel