Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 08

Setelah menyantap sepotong kue sebagai kudapan. Morgan mengajak Hazel untuk bermain. Dia berusaha untuk membuat Hazel merasa nyaman dengan keberadaannya.

Morgan berusaha untuk masuk ke dunia Hazel. Bermain bersama boneka tuan teddy dan meminum teh udara. Suara tawa dan seruan Morgan terdengar begitu lepas, sama seperti tawa Hazel yang terdengar riang.

Ditambah dengan Autumn yang bergabung bersama Morgan dan menggoda kakaknya yang berusaha mengikuti permainan sesuai kemauan Hazel.

Sementara Eliora dan Chase hanya tertawa memerhatikan kegiatan mereka. Chase menceritakan apa yang dilakukan ketiganya kepada Eliora.

Seolah menjadi mata bagi Eliora yang setidaknya bisa merasakan kebahagiaan sang anak yang bisa tertawa dan bermain setelah kejadian beberapa hari tersebut sempat membuat anak itu murung.

Perhatian Morgan sempat teralihkan saat Chase sedang menceritakan kegiatan Hazel kepada Eliora.

Cih… bagaimana bisa dia tersenyum semanis itu hanya karena cerita yang dikatakan oleh Chase, batin Morgan menggerutu.

Hazel memerhatikan pandangan Morgan yang tertuju kepada Eliora dan Chase. Lantas Hazel mengajak ibu dan pamannya untuk ikut bergabung.

"Mom… dan uncle Chase… ayo bergabung kemari dan ikutlah jamuan minum teh dari tuan teddy bear," panggil Hazel.

Eliora tersenyum begitu juga dengan Chase. Lalu mereka berdiri. Chase membantu Eliora duduk memutari meja kecil. Kedapatan duduk di sebelah Morgan sukses membuatnya mendapat perhatian penuh dari pria tersebut walau Eliora tak dapat melihatnya.

"Uncle Morgan… apa kau ingin tambah tehnya?" tanya Hazel untuk kedua kalinya. Karena Morgan tak fokus mendengar celotehan Hazel.

Fokusnya teralihkan sepenuhnya untuk menatap Eliora yang tampak tenang.

Diakui Morgan… Wanita yang tak bisa melihat apapun itu sangat pandai menyembunyikan ekspresinya saat ini.

Eliora memang pandai mengendalikan emosi, hingga sering kali membuat Chase harus menebak-nebak apa yang dikhawatirkan kakak iparnya tersebut.

"Oh… tentu Hazel. Maaf… Aku tak mendengarmu, baby," ujar Morgan datar.

Hazel terkikik menyadari bahwa Morgan tak mengalihkan tatapannya dari Eliora. Membuat anak itu kembali menyeletukkan sebuah kalimat yang akan membuat Morgan merasa malu.

"Apa Ibuku sangat cantik?" tanya Hazel. Sambil terkikik bersama Autumn.

Bocah itu mendapat bisikan pertanyaan dari Autumn yang duduk didekat Hazel.

"Iya… Ibumu sangat cantik," jawab Morgan.

Lalu seketika tawa Autumn terdengar bersama Hazel yang mengikuti.

"Haha… ya ampun Morgan. Wajahmu lucu saat mengatakan itu!" ejek Autumn.

"Apa?" tanya Morgan bingung.

"Hei… hentikan tatapan bodohmu itu, Morgan!" ejek Chase.

Seketika Morgan menyadari kebodohannya. Dan tersenyum kikuk menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Eliora hanya tersenyum mengetahui kebodohan Morgan yang mencuri pandang terhadapnya. Sementara Chase… menggelengkan kepalanya tak senang.

Hazel terlihat mulai menguap dan menggosok kedua mata dengan tangannya.

"Apa kau sudah mengantuk, Hazel?" tanya Chase.

Hazeliora menganggukkan kepalanya dan beranjak dari duduknya menuju ke pangkuan Chase. Seakan sudah menjadi kebiasaan anak itu untuk bergelayut manja dengan pamannya. Dan hal tersebut tak luput dari pengamatan Morgan.

"Ayo… Uncle akan membacakan cerita baru untukmu," ajak Chase.

"Sungguh?" tanya Hazel.

"Ya… aunty membelinya kemarin, kau membawanya 'kan, Autumn?" tanya Chase pada Autumn.

Autumn mengangguk antusias dan keluar mengambil tasnya lalu mengeluarkan buku cerita baru untuk Hazel.

"Baiklah Hazel… setelah dibacakan cerita… tidurlah. Mom di luar menemani uncle Morgan," ujar Eliora.

Dia keluar dari kamarnya setelah mencium anak itu. Kamar Hazel masih tak digunakan karena tak ingin membuat anak tersebut mengingat kejadian buruk beberapa hari lalu.

Dan barusan Morgan pamit keluar untuk melihat keadaan kamar Hazel yang mengalami kerusakan cukup parah.

Eliora menyusul, berniat menawarkan kopi untuk pria itu.

"Morgan… kau ingin kopi?" tanya Eliora.

Morgan sedang bersandar di dekat balkon memerhatikan ketinggian dari tempatnya berdiri.

Morgan menoleh ke ambang pintu. Menatap eliora yang berdiri kaku menawarkannya secangkir kopi.

"Ya boleh… Jika tidak merepotkanmu," jawab Morgan.

"Tidak sama sekali," jawab Eliora.

Lalu dia beranjak dari hadapan Morgan. Membuat pria itu mengikutinya dalam hening.

Eliora terlihat sudah terbiasa membuat kopi. Membuat Morgan terdiam kagum memerhatikan Eliora yang tampak seperti bisa melihat.

Morgan hendak mendekat saat sebuah pekikan terdengar. Eliora memekik kepanasan saat hendak mengangkat gelas kopi tersebut, sedikit cairannya berceceran mengenai tangannya.

Namun melihat Eliora masih bisa mengatasinya, Morgan memilih tetap diam mengamati pergerakkan Eliora.

Morgan berjalan menuju ke kamar Hazel, kembali ke tempat semula saat dia ditawari segelas kopi.

"Morgan… kau masih di sana?" tanya Eliora.

"Ya," jawab Morgan. Bersandar seolah dirinya tetap di sana sejak tadi.

Eliora menyodorkan kopi yang dibawanya menggunakan nampan. Morgan menyambutnya lalu memerhatikan tangan Eliora yang tampak memerah.

Morgan meraih tangan Eliora yang memerah karena kepanasan. Walau hanya terkena sedikit tumpahan kopi.

"Tanganmu merah… apa terkena air panas?" tanya Morgan berbasa basi.

"Ya… ini sudah biasa," jawab Eliora.

"Hati-hati, El," ucap Morgan tulus.

"Aku… memikirkan Hazel. Dia satu-satunya yang kucintai. Satu-satunya peninggalan mendiang suamiku. Aku… Tak bisa melihatnya menderita, aku takut dia—"

"Tenanglah… aku berjanji akan membebaskan kalian dari tuduhan," ujar Morgan.

Meraih tangan Eliora yang berada di sandaran besi. Menggenggamnya seolah memberi keyakinan kepada Eliora bahwa semua akan baik-baik saja.

"Bukankah itu memang tugasmu, Morgan?" sarkas Eliora menarik tangannya. Tersadar sudah menerima simpati dari Morgan. Dia menarik diri menjauh.

"Nikmati kopimu…," timpal Eliora. Dan hendak berbalik meninggalkan Morgan.

Morgan meraih lengan Eliora. Menahan kepergian wanita itu. "Terima kasih," balas Morgan.

Walau dalam hatinya sempat kembali mengumpat karena ucapan sarkas Eliora yang mengingatkan ia dengan tugasnya.

Eliora berjalan menuju sofa, dan Morgan mengikuti. Dia duduk di hadapan wanita itu sambil terus memandangi Eliora.

"Apa ada hal lain yang ingin kau tanyakan?" tanya Eliora dingin.

"Ehm… sebenarnya ada. Tapi… aku ingin bertanya kepada Hazel. Namun kurasa… belum tepat saat baru pertama kali dia bertemu denganku. Aku takut dia merasa tak nyaman denganku," jelas Morgan.

"Kalau begitu… Tunggulah dia terbangun. Atau nanti malam kau bisa kembali saat makan malam tiba. Kurasa dia menyukaimu, sejauh ini… Hanya Chase yang berhasil mendekatinya setelah kepergian ayahnya. Namun… sampai saat ini Hazel tetap tak menceritakan kejadian kemarin kepada Chase. Itu semakin menyulitkan kami," ungkap Eliora.

Jari tangannya kembali saling bertautan menunjukkan kegelisahannya. Morgan kembali menangkap pergerakan Eliora, dan itu sungguh sangat mengganggu.

Morgan sangat ingin menggenggam tangan mungil dan dingin itu, dia sangat ingin memberikan ketenangan kepada Eliora. Namun Eliora begitu keras kepala dan angkuh.

Dan Morgan tak ingin direndahkan terus menerus dengan menerima penolakkan berkali-kali. Pikiran yang bergelut membuat Morgan rela menurunkan egonya. Dia akhirnya beranjak dari duduknya berpindah ke samping Eliora.

Persetan dengan penolakannya, aku sungguh tak tahan ingin menghilangkan kegelisahannya, batin Morgan.

"Aku akan berusaha dan membujuknya. Tenanglah El… sejauh ini aku tak pernah gagal. Aku tak akan membiarkan hasilnya kalah," ujar Morgan.

Meraih tangan Eliora lagi. Dan kali ini dia beruntung tak mendapat penolakkan.

Namun memang dasar setan di dalam diri Morgan tak bisa menahan diri agar bersikap menjadi malaikat untuk sejenak.

Morgan mendekati telinga Eliora hendak berbisik. Membuat Eliora mengendus bau maskulinnya yang mendadak begitu menyengat karena jarak yang begitu dekat.

Morgan berbisik, "aku akan memenangkannya El… karena aku sungguh ingin menikmati tubuhmu… lagi," desis Morgan.

Seketika genggaman tangannya terlepas dengan kasar. Walau Morgan sempat menahannya, hingga raut wajah marah Eliora tercetak jelas. Menciptakan seringaian iblis di wajah tampan Morgan.

"Kau tak perlu mengingatkanku akan hal itu! Lakukan saja tugasmu dengan benar, maka aku akan menepati perjanjian sialan itu!" sentak Eliora.

Dia berdiri dari duduknya dan hendak beranjak dari hadapan Morgan -pria berengsek yang begitu menyebalkan-. Namun… sang iblis tak membiarkannya pergi dengan mudah.

Dia sengaja meluruskan kakinya agar Eliora tersandung. Dan jatuh ke dalam pelukkannya.

Hingga kejadian yang dia pikiran terjadi. Bahkan dia mendapat jackpot sebuah tabrakan nikmat yang membuatnya tak bisa melepaskan kesempatan itu untuk melumat bibir Eliora.

Sial bagaimana bisa bibir ini menjadi candu untukku? batin Morgan.

Apa yang kau lakukan El… kenapa kau diam saat si berengsek ini berhasil menciummu lagi?! batin Eliora berkecamuk.

Walau dia menikmati lumatan lembut dari Morgan. Namun sesuatu dalam dirinya hendak ingin melepaskan walau tak rela.

Morgan merutuk kesal saat pintu kamar Eliora terdengar. Seketika dia melepaskan ciuman kilat itu dan berbisik, "thank you."

"You're really bastard!" desis Eliora berusaha bangun dari atas tubuh Morgan.

"Apa yang kau lakukan pada kakak iparku?!" tukas Chase.

Dia keluar setelah Hazel dan Autumn tertidur bersama. Dan matanya menangkap kejadian tak mengenakkan saat keluar dari kamar.

"Ahm… bukan salahnya, Chase. Aku terjatuh dan Morgan menangkapku. Namun kami malah terjatuh di sofa," jelas Eliora yang tentu sebuah dusta.

Morgan mengedikkan bahu dengan wajah tampannya yang terlihat begitu menyebalkan bagi Chase.

Chase mendekati Morgan dan Eliora. Menatap tajam Morgan lalu memerhatikan Eliora.

"Kau sungguh tak apa?" tanya Chase merapikan rambut Eliora.

Morgan menatap tajam tangan Chase. Seakan perlakuan itu terlihat aneh jika dilakukan kepada seorang kakak ipar bahkan kepada kakaknya sekalipun… itu sangat aneh di mata Morgan.

"Aku tak apa… hm… Aku ingin ke toilet sebentar," ujar Eliora berusaha menghindari keduanya.

Chase mendekati Morgan, berdiri tepat di hadapannya. Saling bertatap muka dan menyorotkan tatapan tajam.

"Aku tahu reputasimu sebagai pria bajingan yang meniduri banyak klienmu, Morgan! Jangan kau pikir aku bodoh! Mungkin kau bisa meniduri banyak wanita manapun yang kau inginkan! Tapi tidak dengan Eliora. Dia berbeda dari semua jalang yang kau tiduri!" desis Chase menekankan ucapannya. Sambil memicingkan matanya tajam.

"Heh… kau pikir aku berselera meniduri kakak iparmu?! Jangan terlalu banyak mencampuri urusannya. Lebih baik uruslah dirimu menjadi lebih baik. Ingatlah… gadis yang kau jadikan kekasih adalah keturunan Dexter. Jika kau tak memiliki apapun untuk mencukupi kehidupannya… si tua bangka Miller akan menjauhkanmu darinya!" ancaman Morgan tak kalah sengit. Membuat Chase membalasnya lagi.

"Heh… jangan mengancamku dengan nama belakangmu. Aku sungguh tak peduli, selama aku dan Autumn saling mencintai… aku tak akan melepaskannya!" balas Chase dengan yakin.

Morgan terkekeh mendengar omong kosong tersebut. Pasalnya… dia sangat mengenal bagaimana keluarga Dexter yang terlalu keras mendidik setiap keturunannya.

"Aku tak peduli seberapa banyak harta yang kau punya… Dan bagaimana sikap kedua orang tuaku terhadapmu saat kau berani mengencani putri kesayangannya. Namun… jika sekali saja kau menyakiti Autumn, kau akan berhadapan denganku!" hardik Morgan.

Chase terkekeh. "Bukankah harusnya aku yang mengatakan itu kepadamu? Jangan pernah menyakiti Eliora! Jika itu terjadi… ingatlah, bahwa adikmu begitu mencintaiku. Aku bisa membalasnya melalui dia." Chase membalas, tak kalah sengit.

"Jangan mengancamku bocah sialan! Jangan menganggapku tak melihat bagaimana sikapmu terhadap Eliora. Jika kau berani melukai perasaan Autumn, karena sikapmu yang berlebihan kepada Eliora. Aku tak akan berhenti menghajarmu sampai Autumn menyuruhku berhenti! Camkan itu!" sergah Morgan menunjuk dada Chase cukup kuat.

Seakan dirinya begitu kesal dengan setiap ucapan dari Chase yang berani menggunakan adiknya untuk mengancamnya.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel