Part 07
Semalaman Eliora mencoba untuk tidur dengan tenang. Namun mengingat setiap sentuhan yang diberikan Morgan, membuatnya tak bisa nyenyak. Dia gusar dan suara desahan serta erangan terngiang dalam benaknya.
Dia menangis semalaman merutuki kebodohannya merasa hina dengan keadaannya. Hingga dia lelah menangis dan terlelap.
Dia bahkan tak terbangun saat matahari menyeruak masuk ke dalam kamarnya. Hingga suara ponsel terdengar membangunkannya dan mulai merengangkan tubuh lelahnya.
Dia meraba ke arah nakas mengambil ponsel khusus pengguna tunanetra untuk berkomunikasi seperti layaknya orang yang bisa melihat.
Sambutan suara Hazel membuatnya tersenyum, suara riang putrinya seakan menyemangati paginya.
“Mommy… kau sudah pulang?” tanya Hazel riang.
“Ya sayang… kau sudah di sekolah?” tanya Eliora.
“Aku sudah pulang sekolah, mom.”
“Apa? Memangnya ini sudah jam berapa?”
“Ini sudah jam sebelas, El,” jawab Chase.
“Hah… ya ampun. Aku kesiangan, aku harus menelepon—”
“Aku sudah menghubungi bosmu. Dia mengerti… kau tenang saja. Sebentar lagi kami sampai, kau ingin menitip makanan?” tanya Chase.
“Huh… terima kasih Chase. Tidak… aku tak lapar, kau bawa saja Hazel makan,” ujar Eliora.
“Baiklah… aku tetap akan membawakanmu makanan, tunggu kami,” ujar Chase. Lalu mematikan sambungan telepon.
Eliora meletakkan ponsel kembali ke tempatnya. Memijit pelipisnya karena merasa pusing. Dia bahkan tak sadar bahwa hari sudah siang.
Eliora merasa tubuhnya terasa remuk, lantas dia meregangkan otot-ototnya.
“Hah… lebih baik aku mandi sebelum Hazel datang,” tekad Eliora.
Lalu dia berjalan perlahan untuk melaksanakan niatnya.
Hingga beberapa menit kemudian... Setelah merasa lebih segar, dia keluar dari kamar. Dengan bathrobe dan handuk di kepalanya.
Suara bel pintu menahannya yang hendak memakai baju. Eliora akhirnya membukakan pintu lebih dulu karena mengira itu adalah Chase dan anaknya yang datang.
“Sayang… kenapa cepat sekali? Apa kau sudah makan?” Eliora menyambut dengan riang.
Namun balasan dari sambutannya bukanlah suara anaknya. Melainkan suara berat yang semalaman mengganggu tidurnya.
“Eherm… selamat siang, El. Kau sudah makan?”
***
Morgan mengalami hal yang hampir sama dengan Eliora. Semalaman dia tak bisa tidur, membayangkan adegan percintaannya dengan Eliora dan suara desahan wanita itu seakan menghantuinya.
Mengganggu pendengarannya setiap kali dia memejamkan mata.
Morgan yang kesal karena hal tersebut melemparkan bantal dan meremas rambutnya kasar.
“Sial! Bagaimana bisa seorang wanita buta menghantuiku! Sungguh tak masuk akal!” desis Morgan. Dia kesal karena begitu terpengaruh dengan Eliora.
“Berhenti bersikap bodoh, Morgan! Lupakan kejadian tadi dan nikmati hidupmu seperti biasa!” perintahnya pada diri sendiri. Lalu memaksakan diri untuk tidur.
Namun keesokan harinya...
Dia mendatangi tempat Eliora. Sebelum hari persidangan dimulai. Dia berniat mencari tahu detail kejadian dari korban yang mengalaminya. Yaitu… Anak dari Eliora -Hazel-.
Sebuah bungkusan dijinjing di tangan kanannya, dengan pakaian santai dia memasuki apartemen dan menekan bel pintu unit Eliora.
Dalam hati, Morgan kembali merutuki kebodohannya yang menyempatkan diri membeli makanan.
Awalnya dia tak tahu harus bagaimana mengatakan alasannya untuk berkunjung. Yang sebenarnya bisa saja dia meminta Eliora dan anaknya untuk datang ke kantornya.
Karena semua itu memang perlu.
Namun… keinginannya untuk berkunjung lebih besar daripada menunggu kedatangan Eliora ke kantornya.
Suara lembut yang semalam mengganggu tidurnya menyapa, menyambutnya dengan panggilan sayang. Seketika jantung Morgan seakan berdetak lebih kencang dari biasanya. Walau jelas… panggilan sayang itu tidak ditujukan untuknya.
“Sayang… kenapa cepat sekali? Apa kau sudah makan?” Eliora menyambut dengan riang.
Dengan mengira bunyi bel yang baru Morgan tekan adalah kedatangan anaknya.
Morgan tersadar dari keterpanahannya. Lalu dia berdeham, “eherm… Selamat siang, El. Kau sudah makan?” sapanya.
“Siang… kenapa kau ke sini tanpa mengabari?” tanya Eliora.
“Aku akan mulai mencari data untuk pembelaan anakmu. Jadi kupikir tak ada salahnya aku sekalian mampir untuk mendekatkan diri dengan anakmu. Jangan berpikiran buruk… aku melakukan ini agar anakmu mau bicara untuk kejadian yang dia alami. Jadi bolehkah aku masuk?” jelas Morgan mengungkapkan niat kedatangannya.
“Ehm… ya. Tu-tunggu sebentar. Aku harus memakai pakaian,” jawab Eliora gugup.
“Huh… untuk apa kau takut dan malu. Semalam aku sudah melihat semuanya,” bisik Morgan.
Eliora memasang wajah kesal mengingat Morgan memang benar.
“Baikah… Silahkan masuk. Duduklah di sofa selama aku memakai baju.” Eliora membuka pintunya lebih lebar.
Morgan masuk dan dengan sengaja menyentuh lengan Eliora yang masih memegangi pintu. Wanita itu sempat tersentak akan sentuhannya. Walau Eliora pandai menyembunyikan ekspresi wajahnya.
Morgan sengaja tak melangkah terlalu dalam. Dia menunggu Eliora menutup pintu dan melangkah agar menabrak tubuhnya.
Dan… niatnya terwujud. Eliora berjalan dan menabrak tubuhnya. Hingga limbung dan dia menggunakan kesempatan itu untuk menangkap Eliora yang hampir terjatuh.
“Hati-hati…,” bisik Morgan.
Dapat dengan jelas dia memperhatikan wajah Eliora begitu dekat. Manik mata Hazel yang bening, hidung mungil dan bibir yang penuh hingga tatapannya turun ke dada Eliora yang terlihat mengintip dari balik bathrobe.
Apa ini semua yang sudah kunikmati semalam? Sial! Pantas saja aku tak bisa tidur! rutuk Morgan dalam hati.
Eliora bergerak untuk berdiri. Membuat Morgan terpaksa menghentikan tatapan mesumnya kepada wanita itu.
“Kau sengaja tak beranjak agar aku menabrakmu lalu kau melakukan hal tadi!” tuduh Eliora tepat.
“Aku tid—”
“Jangan pikir karena aku tak bisa melihat apapun, lantas kau mencurangiku dengan cara licik seperti itu. Heh! Sungguh cara yang murahan!” sergah Eliora.
Melewati Morgan lalu memasuki kamarnya. Morgan membulatkan mulutnya tak percaya. Ucapan pedas Eliora menghina harga dirinya… lagi!
“Huh… ya ampun! Aku memang tak bisa bermain-main dengan wanita ini!” gumamnya.
Lalu dia meletakan bungkusan makanan ke atas meja. Dan melihat ke sekeliling ruangan, lalu mendekati meja yang tersusun bingkai foto.
Terdapat foto Eliora bersama mantan suaminya. Ada juga foto saat Eliora hamil… terlihat wajah berseri bahagia yang dipancarkan Eliora di dalam foto itu.
Lalu foto Eliora bersama ayah dan suaminya, menggambarkan kesempurnaan hidupnya dulu. Berbeda dengan sekarang… wajah Eliora terlihat tak lagi bercahaya seperti dulu. Rasa bersalah kembali memasuki pikiran Morgan.
“Apa yang ingin kau tanyakan?” sebuah tanya terlontar dari mulut Eliora.
Wanita itu sudah memakai pakaiannya dengan benar. Namun otak dan pikiran mesum Morgan mengganggu konsentrasinya untuk menjawab pertanyaan sederhana Eliora.
“Morgan,” panggil Eliora.
“Ya. Hm… ngomong-ngomong… Dimana anakmu?” tanya Morgan.
“Dia sedang menuju ke sini… semalam aku menitipkannya kepada Chase -kekasih adikmu-,” jelas Eliora.
“Kau menitipkannya karena—”
“Tolong jangan bicarakan apapun tentang kontrak itu! Jika kau tak ingin rahasiamu terbongkar… Begitu juga denganku! Aku mengatakan kepada Chase bahwa kau dengan murah hati memberikanku harga murah dan dicicil enam kali pembayaran,” ujar Eliora sedikit berbisik. Takut jika saat sedang bicara, Chase datang dan mendengar semuanya.
Morgan berjalan mendekat ke arah Eliora, tersenyum mendengar penuturan Eliora. Kebohongan yang sempurna dan membuat dirinya terlihat sungguh seperti malaikat.
“Terima kasih…. Kau membuatku sungguh seperti malaikat,” bisik Morgan di dekat telinga Eliora.
Seketika Eliora menahan napasnya, bulu halus di sekitar lehernya berdiri. Seakan Morgan memang seperti makhluk halus yang mendekatinya.
Bunyi suara bel pintu menyelamatkannya dari endusan yang sedang dilakukan Morgan, seperti singa buas yang hendak memakan mangsanya.
“Bisa kau menyingkir, anakku sudah tiba!” tukas Eliora.
Morgan menyeringai. “Silahkan… aku bahkan tak menghalangi jalanmu,” ujar Morgan yang memang berada di samping Eliora.
Eliora lalu mendengus dan mulai melangkah. Melewati aroma maskulin dari Morgan. Tangan Morgan yang jahil menyentuh helaian rambut Eliora yang melintas di hadapannya, sambil menghirup aroma vanila dari wanita itu.
Morgan memejamkan sejenak matanya mencoba menyimpan harum dari wanita yang membuatnya seperti orang gila.
Sial… wanginya sama seperti semalam. Bagaimana aku bisa mengendalikan diri saat berada di dekatnya? batin Morgan.
“Mommy!!” seruan suara gadis mungil terdengar.
Eliora memeluk Hazel begitu juga dengan Hazel. Morgan menyaksikan kehangatan tercipta hanya dengan melihat Eliora dan Hazel yang saling merindukan.
Chase menatap Morgan dengan kening berkerut, seolah menanyakan apa yang dilakukan Morgan di sana?
“Kakak ipar!! Maaf membuat anak dan adikmu terlambat tiba. Mereka menjemputku dulu tadi,” ungkap Autumn yang muncul dari balik tubuh Chase.
“Autumn?” panggil Morgan.
“Morgan? Kau di sini? Kau tak ke kantormu?” tanya Autumn. Mewakili pertanyaan Chase.
“Aku juga baru tiba…,” jawab Morgan. Dia mendekati Eliora dan Hazel yang sudah menuju sofa ruang tamu.
“Aku kesini untuk menemui gadis kecil cantik bernama Hazel,” timpal Morgan. Menatap Hazel dan tersenyum.
Namun bocah perempuan itu terlihat malu dan bersembunyi di belakang Eliora.
“Hei… Girl. Jangan takut… apa kau tak ingin berkenalan dengan uncle tampan? Lihatlah apa yang uncle bawa untukmu,” bujuk Morgan hendak mendekat. Dengan membawa bungkusan yang tadi dia bawa.
Namun Hazel malah semakin bersembunyi di balik tubuh Eliora.
“Hazel… sayang. Bersikap sopanlah dengan uncle Morgan,” bujuk Eliora.
Hazel mengintip dari balik tubuh Eliora.
“It’s okay… Hazel, come here…,” bujuk Morgan. Dia berjongkok di depan Eliora untuk menyambut hangat Hazel yang malu-malu.
Morgan mengulurkan tangannya kepada Hazel, suatu usaha pendekatan yang harus dilakukan Morgan untuk mendapatkan cerita sebenarnya yang terjadi atas kasus anak tersebut.
Autumn menyenggol lengan Chase saat melihat Hazel yang mulai keluar dari balik tubuh Eliora. Dan memberanikan diri untuk melangkah ke arah Morgan.
Selama ini Hazel begitu pemalu dan takut jika bertemu dengan orang asing yang baru dilihatnya. Sama seperti saat baru bertemu Chase dan Autumn. Mereka berusaha membujuk Hazel saat baru bertemu.
Dan setelah kejadian mengerikan yang menimpa Hazel. Anak itu semakin takut saat bertemu orang lain bahkan akan menangis jika orang tersebut memaksanya.
Namun entah kenapa… saat ini, Hazel berani mendekat kepada Morgan. Dia bahkan tak takut dan menerima pemberian Morgan dengan senyum menghiasi wajahnya.
“Good girl… Well… kenalkan, aku Maximilliam Morgan. You Hazel, right?” tanya Morgan.
Hazel mengangguk dan tersenyum, “Hazeliora Mattson Garnel,” kata Hazel melengkapi namanya.
Morgan tersenyum. “Ini… aku bawakan sesuatu untukmu,” ujar Morgan, “kau suka chocolate cake?” tanya Morgan menimpali.
Hazel mengangguk walau masih malu. Namun gadis itu sudah berada di dekat Morgan. Pria itu menggendongnya sambil mengajak bicara.
Pemandangan yang tak pernah dilihat oleh Chase setelah kakaknya meninggal. Eliora bahkan tersenyum walau dia tak melihat kedekatan Morgan dan Hazel yang baru saja terjalin dipertemuan pertama.
Wanita buta itu tersenyum mendengar Morgan mengajak Hazel bicara, membujuk anak itu untuk mengakrabkan diri.
“Nah… sudah selesai,” ujar Morgan.
Dia mengajak Hazel untuk mengambil piring dan sendok kecil, lalu membagi kue coklat ke beberapa piring.
Hazel hendak menyuapkan sepotong kue itu ke dalam mulutnya. Namun Morgan menahannya.
“Tunggu princess… kau tak ingin mengajak ibu dan paman serta bibimu untuk bergabung dengan kita?” tanya Morgan.
Hazel menepuk jidatnya, seakan lupa karena tak sabar ingin memakan kue coklat yang mengugah seleranya.
Lantas Hazel beranjak dari duduknya, dia mengajak Eliora dan Chase serta Autumn untuk ikut bergabung bersama Morgan.
Meja makan sederhana yang hanya memiliki empat kursi, membuat Hazel bingung ingin duduk di mana, setelah dia menyuruh ibunya duduk di sebelah Morgan.
Morgan tersenyum dan mengajak bocah perempuan itu untuk duduk di atas pangkuannya. Lalu mereka mulai memakan kudapan tersebut.
Morgan melihat Hazel yang dengan senang memakan kue pemberiannya, lalu tatapannya teralihkan ke arah Eliora yang duduk di sebelahnya. Memancarkan sebuah senyum seperti yang ada di dalam foto masa lalunya.
Sesederhana ini-kah kebahagiaanmu, El? Cukup mendengar putrimu senang? Pantas saja kau rela memberikan dirimu demi membebaskannya dari tuduhan. Lalu aku..., dengan bodohnya mempersulitmu, bahkan telah menyakiti harga dirimu semalam, batin Morgan menyesal.
**