Part 06
Eliora memilin ujung kemejanya. Dengan hati dan perasaan cemas. Dia nekat mengambil keputusan ini. Saat ini dia berusaha untuk tenang dengan memikirkan keadaan Hazel bersama Chase.
Membiarkan anaknya menginap di tempat Chase untuk hari ini adalah keputusan yang tepat. Dia tak ingin ditanyakan banyak hal oleh Hazel karena pulang terlalu larut atau mungkin tak pulang.
Karena saat ini… Dia sedang berada di apartemen Morgan. Dia kembali ke sini, setelah kemarin melakukan perjanjian dengan Morgan. Dan sekarang…. Morgan sedang menuangkan dua gelas minuman beralkohol.
Dia melihat kertas yang sudah di cap sidik jari Eliora atas perjanjian yang telah disepakati keduanya. Morgan membuat surat tersebut dengan tulisan braille agar mudah dipahami oleh Eliora.
Morgan tak ingin mendapat kasus. Dia selalu menggunakan cara aman untuk menikmati semua yang dilakukannya dengan para klien.
Morgan berjalan mendekati Eliora. Memberikan minuman yang barusan dia tuang, kepada Eliora.
“Minumlah ini… aku ingin kau sedikit tenang,” pinta Morgan.
Eliora meraih gelas minuman yang diberikan Morgan. Lalu meminumnya sedikit. Rasa pahit dan panas dirasakannya seketika mengalir ke dalam tenggorokannya.
Morgan sedikit terkekeh melihat Eliora, dia meminum bagiannya. Lalu bersandar pada sofa di hadapan Eliora.
“Kuberikan kau kesempatan sekali lagi… jika kau tak yakin, kau bisa pergi. Aku tak ingin ada penyesalan untukmu,” usul Morgan.
“Tidak. Aku sangat yakin dengan keputusanku. Jadi… Bisakah kita memulainya?” tanya Eliora.
Bukan karena dia tak sabar ingin bercinta dengan Morgan—seperti kebanyakan wanita yang memang sengaja ingin melakukannya.
Namun Eliora sangat ingin menyelesaikan perjanjian pertamanya. Lalu pulang dan tidur dengan tenang sebelum persidangan dimulai.
“Sebelum kita memulai… aku ingin kau memakai sesuatu. Hitung-hitung sebagai pemanasan untukku, karena aku belum merasa ingin melakukannya. Jadi… aku ingin kau terlihat menarik untukku bisa melakukannya,” ujar Morgan.
Dia beranjak dari duduknya. Lalu mengambil paper bag yang tadi siang diberikan Jasmine. Dia menyuruh Jasmine membeli sebuah lingerie berwarna merah menyala beserta topeng mata berwarna senada.
Dia akan sedikit bermain-main dengan Eliora, karena yakin Eliora tak bisa memuaskannya..., maka ia memilih memakai cara ini untuk memuaskan dirinya sendiri.
Bukankah Morgan sangat egois?
Morgan menenggak habis minumannya. Lalu membawa lingerie dan topeng mata dalam genggaman tangannya.
Lalu dia mendekati Eliora, hingga napasnya yang berbau alkohol tercium menyengat bagi Eliora.
Morgan meraih tangan dingin Eliora. Mengajaknya untuk berdiri. “Follow me…,” ajak Morgan.
Menuntun Eliora menuju ke kamarnya. Lalu meminta Eliora untuk berdiam diri di hadapannya saat sudah di kamar. Morgan duduk di pinggir ranjang. Mengosongkan tangannya untuk membuka pakaian Eliora.
“Aku ingin kau diam. Aku akan mulai menyentuhmu,” bisik Morgan.
Eliora mengangguk, walau kakinya terasa gemetar.
Kedua tangan Morgan mulai meraih kancing kemeja Eliora, membukanya satu persatu secara perlahan. Eliora menahan napasnya, karena tercium aroma maskulin dari Morgan yang begitu dekat dengannya.
Kemeja putih Eliora teronggok di lantai. Morgan memandangi bentuk dada dan tubuh Eliora. Terlihat mulus dan bersih serta memiliki ukuran yang sempurna. Tak terlalu besar ataupun kecil.
“Bernapaslah… Aku bahkan belum memulai apapun,” desis Morgan dengan suara beratnya.
Eliora menghembuskan napasnya. Morgan menyeringai… lalu dia membuka rok span yang digunakan Eliora untuk bekerja, hingga rok Eliora ikut teronggok di lantai.
Morgan kembali memandangi milik Eliora. Sungguh seperti sebuah patung manekin. Begitu mulus dan putih, dengan bentuk yang ideal.
Sial… bagaimana bisa tubuhnya sesempurna ini?! rutuk Morgan dalam hati.
Lalu dia kembali ke bagian atas tubuh Eliora. Melingkari tangannya ke belakang tubuh Eliora untuk membuka kait bra wanita yang berdiri kaku menahan napas. Aroma Morgan begitu menggoda indera penciumannya. Membuat jantung Eliora berdetak kencang.
Morgan kembali terpaku menatap dada berbentuk bulat sempurna, begitu indah dan memesona mata Morgan.
Morgan menuruni celana dalam Eliora. Kali ini dirinya sungguh tergoda untuk langsung menerkam wanita di hadapannya. Dia tak menyangka…. Hanya dengan melihat tubuh indah dan mulus itu terbuka di hadapannya, mampu membuatnya menegang.
Tahan sejenak hasrat sialanmu itu, Morgan! Kau harus menikmatinya dengan perlahan, batinnya memaki diri sendiri.
Udara dari pendingin ruangan menerpa kulit mulus Eliora. Wanita itu berdiri di hadapan Morgan dengan keadaan naked. Dan dia tetap diam tanpa bertanya apa yang akan dilakukan Morgan selanjutnya.
Morgan mengambil lingerie merah dan mulai memakaikannya kepada Eliora.
“Aku ingin kau menggunakan ini sebelum aku mulai mencumbumu,” ujar Morgan. Lalu memakaikan sebuah lingerie merah ketubuh Eliora.
Setelah selesai memakaikan Eliora lingerie. Morgan membuka baju dan celananya. Menyisakan celana boxernya. Lalu dia berbaring, bersandar di atas ranjang.
“Sekarang… aku ingin kau bergerak… meliukkan tubuhmu di sana, lakukan itu untuk menggodaku.”
“Apa ini harus dilakukan?” tanya Eliora. Dia ragu dan tak tahu harus bagaimana.
Dia tak pernah melakukan ini sebelumnya. Bahkan melihat orang meliukkan badan untuk menggoda seseorang-pun tak pernah dilihatnya.
“Jika kau tak mau tak apa… melangkah-lah ke depan,” perintah Morgan.
Akhirnya dia tak tahan menunggu Eliora untuk meliukkan tubuhnya agar terlihat menarik. Namun nyatanya… tanpa Eliora lakukan, Morgan merasa sudah sangat tertarik.
Dia mendekat ke ujung ranjang. Menunggu Eliora mencapai dirinya. Hingga sentuhan kulit mereka bertemu.
Morgan meraih kepala Eliora, mendekatkan wajahnya, “jika kau merasa tersakiti… hentikan aku. Jika tidak, aku ingin kau diam dan menikmati semua permainanku, mengerti?” bisik Morgan di telinga Eliora.
Eliora merasakan aroma mint dari napas Morgan yang berbisik dengan suara yang parau. Eliora mengangguk walau merasa takut. Namun dia sudah berjalan terlalu jauh, tak ada lagi kesempatan untuknya mundur.
Sentuhan sensual di bibirnya mulai terasa. Morgan memulainya cukup pelan menggodanya seakan ingin menikmati setiap sentuhan bibir manis Eliora.
Morgan mulai menyapukan lidahnya memaksa masuk ke dalam rongga mulut Eliora. Menciptakan gelenyar aneh dalam diri Eliora.
Lumatan yang hanya dilakukan Morgan membuat pria itu gerah. Dari ciuman lembut dan pelan hingga berangsur cepat bahkan tergesa.
Morgan meraup, melumat, menarik bibir Eliora dengan rakus. Merapatkan tubuh sempurna itu untuk menempel dengan tubuhnya. Menekan tengkuk Eliora. Dan mendekatkan pinggang wanita itu ke dalam rengkuhannya.
Eliora mulai merasakan sesuatu yang mengganjal menekan perutnya. Dia berusaha menyeimbangi permainan bibir Morgan yang seakan tak memberikannya cela untuk mengambil napas.
Bokongnya diremas keras oleh Morgan, seakan pria itu gemas dengan apa yang dilakukannya. Tak ingin terburu-buru namun sangat ingin menikmati sesuatu yang lebih dari ciuman itu.
Morgan memutar balik posisinya masih dalam keadaan mencumbu Eliora. Membawa wanita itu untuk berbaring secara perlahan di atas ranjang, dengan pagutan yang tetap dilakukannya.
Tangannya yang nakal berpindah meremas dada Eliora membuat Morgan gemas dan melakukannya seakan ingin menunjukan dirinya
yang mulai berhasrat.
Ciuman bibirnya turun, mulai menjelajahi leher Eliora, lalu ke dada dan perut. Hingga Morgan tak sanggup menahan hasratnya yang menggebu.
Dia membawa dirinya untuk menyatukan miliknya ke dalam Eliora.
Erangan mulai terdengar disusul desahannya. Tatapan mata berwarna hazel itu menatap lurus ke langit-langit. Sesekali terpejam lalu terbuka lagi. Seakan menunjukan sesuatu yang nikmat tengah dirasakan pemilik mata itu.
Keduanya terengah-engah. Keadaan ranjang yang tak lagi rapi, dan gerakan di atas ranjang yang begitu terlihat bahwa penghuninya sedang melakukan gerakan yang menggebu dan kasar.
Suara desahan terus lolos dari bibir keduanya, seakan mereka tak malu untuk mengungkapkan semua kenikmatan itu.
Hingga Morgan menangkap sebulir air yang mengalir dari ujung mata Eliora. Morgan tahu sesuatu terjadi di dalam batin Eliora. Dia yakin sebuah perdebatan terjadi saling menyalahkan di dalam hati Eliora.
Namun… Morgan sendiri merasa tak ingin menyelesaikannya begitu cepat, dia sangat ingin melakukannya lebih liar seperti biasa dia melakukan percintaan panas dengan wanita lainnya.
Hingga dirinya juga berperang batin, antara memberi ampun Eliora, atau terus membiarkannya menangis dalam nikmatnya.
Hingga bermenit kemudian. Morgan menyerah… entah ada apa dengan hatinya. Dia tak sanggup melihat airmata Eliora.
Dengan sengaja ia mempercepat permainannya. Lalu melepas miliknya hingga memuncratkannya ke tubuh Eliora.
Wanita itu terlihat lelah dan sekilas mengusap air matanya. Morgan membawanya, menggendong Eliora dan menurunkannya di dalam bathup.
“Bersihkan dirimu selama aku membuatkan makanan,” pinta Morgan.
Lalu dia keluar dari kamar mandi setelah menutup pintunya.
Dia bersandar di balik pintu, meremas rambut dengan kedua tangannya hingga turun mengusap wajahnya. Seakan menyesali perbuatannya barusan. Padahal tak ada yang perlu dia sesali. Selama ini dia bahkan melakukannya sangat kasar dengan wanita lain.
Sial! Kenapa aku merasa bersalah setelah melakukannya?! Bukankah dia yang menyetujuinya? batin Morgan.
Dia meninju udara dan keluar dari kamar setelah meletakkan pakaian baru yang Jasmine beli sekalian dengan lingerie tadi.
Morgan hanya mengenakan celana panjang berbahan kaos setelah dia menikmati Eliora. Tak seperti biasanya… Dia akan mandi setelah melakukan hubungan badan dengan setiap wanita. Namun kali ini dia malah menyuruh Eliora untuk membersihkan diri setelah dia menyetubuhinya.
Morgan yang secara tak langsung menganggap dirinya begitu kotor untuk Eliora. Hingga menyuruh wanita itu untuk membersihkan diri sedangkan dirinya hanya mencuci wajah agar lebih tenang.
Sementara itu… Di Dalam kamar mandi...
Eliora menangis memeluk kakinya, berdiam di dalam bathup dengan air shower yang sengaja dinyalakan.
Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Merasa bodoh dan menganggap dirinya begitu rendah dengan membiarkan laki-laki lain dalam hidupnya selain mendiang suaminya, menyentuh bahkan memasukinya tanpa ikatan apapun.
Maafkan aku Mark… aku pasti telah mengecewakanmu. Aku terpaksa melakukan ini… hanya demi memperjuangkan kebebasan anak kita, aku merendahkan diriku. Membiarkannya menyentuh dan memasukiku… sungguh, maafkan aku, rintihan hati Eliora terasa menyayat hati.
Dapat diyakini, Mark ikut menangis melihat Eliora tersiksa batinnya dan merasa rendah diri hanya untuk sebuah kebebasan buah cinta mereka.
Eliora selesai membersihkan dirinya. Dia beranjak dari kamar mandi dan memakai pakaian yang dikatakan Morgan sudah disiapkan dan diletakan di atas ranjang.
Eliora keluar dari kamar dengan keadaan yang cukup baik kelihatannya. Morgan menoleh dan tersenyum. Meletakkan piring berisi makanan ke atas meja. Lalu menghampiri Eliora yang bingung ingin kemana.
“Kau sudah selesai?” tanya Morgan.
Dia mencoba bersikap akrab demi menutupi rasa bersalahnya kepada Eliora.
Eliora mengangguk dan berusaha tersenyum.
“Kau lapar? Aku sudah membuatkan makanan,” ajak Morgan meraih tangan Eliora. Terasa mungil dan dingin.
“Hm… aku ingin pulang,” ujar Eliora.
Morgan menghentikan langkahnya. Dia menoleh, melihat Eliora yang tampak tenang tanpa ekspresi. Dengan mata berwarna hazel yang indah—walau tak berfungsi. Namun sepertinya Morgan menemukan fungsi lain dari melihat, yaitu… Membuatnya terpesona.
Sinar hazel yang memancarkan sebuah harapan, semakin membuat Morgan terselimuti rasa bersalah.
Bagaimana bisa dia memanfaatkan kesulitan Eliora untuk kesenangannya?
Pertanyaan itu terus berputar semenjak dia melihat air mata Eliora. Dia menyesali perbuatannya barusan. Kenapa bukan kemarin saat Eliora memohon memberinya keringanan biaya?
“Makanlah dulu… aku sudah membuatkanmu makanan,” bujuk Morgan.
Eliora melepaskan genggaman tangan Morgan. “Tidak. Aku tak lapar… aku hanya ingin pulang dan istirahat. Bukankah tugasku membayar jaminan jasamu sudah selesai? Jadi biarkan aku pulang. Atau perlu kuingatkan bahwa hubungan kita hanya sebatas klien dan pengacara?” tukas Eliora begitu sarkas dan dingin.
Morgan merasa terhina saat niat baiknya diabaikan Eliora. Bahkan ditolak mentah-mentah oleh wanita yang baru saja membuatnya tak karuan memikirkan rasa bersalahnya.
“Baiklah… tunggu sebentar, aku akan mengantarmu pulang,” ucap Morgan masih berusaha berniat baik demi mengurangi rasa bersalahnya.
“Tak perlu… aku tak ingin mendapat perlakuan spesial darimu. Aku pulang,” pamit Eliora.
Morgan memejamkan matanya sejenak demi menahan emosi menghadapi Eliora yang begitu angkuh dan keras kepala.
“Baiklah… terserah kau! Terima kasih untuk tubuhmu yang nikmat itu!” Morgan menukas begitu sarkas, hingga menghentikan langkah Eliora.
Pria itu kesal, mendapat penolakkan dari niat baiknya yang seolah tak dihargai oleh Eliora.
“Ya! Kuharap kau menepati janjimu untuk membebaskan tuduhan anakku! Sampai jumpa di pengadilan! Selamat malam, Mr.Dexter,” tukas Eliora.
Air matanya kembali menetes tanpa ingin dihapusnya. Dia tak ingin Morgan kembali melihat dirinya lemah. Eliora berjalan menuju pintu. Dua kali ke tempat Morgan membuatnya cukup hafal dimana pintu keluar dari apartemen itu.
Eliora menutup rapat pintu apartemen Morgan dan mengusap air matanya sebelum dia kembali melangkah.
______
Sementara Morgan memasuki kamarnya, berniat merebahkan dirinya yang lelah. Namun keadaan kamarnya yang masih berantakan membuatnya kembali mengingat percintaannya.
Membuat kepalanya semakin pusing. Lalu ia memilih untuk mandi demi menjernihkan pikirannya kembali.
Namun lagi-lagi niatnya itu terhalang karena sebuah lingerie yang diletakan di samping wastafel.
Morgan meraih lingerie merah bekas Eliora kenakan saat bercinta dengannya.
Lalu melemparkannya ke sembarang arah dengan erangan kekesalannya, sambil memukul kaca di dinding dekat wastafel hingga membuat genggaman tangannya berdarah.
“Argh...!! Hah...! Hah...! Ada apa denganku?! Kenapa aku begitu terpengaruh dengannya?!” rutuknya kesal.
Menatap dirinya dari pantulan kaca yang sudah retak.
“Tak ada yang pernah menolakku sebelumnya… hanya kau, Eliora! Dan aku tak akan membuatmu menolakku lagi! Ini pertama dan terakhir kalinya kau menolakku! Lihat saja El,” tekad Morgan.
**